Obituari

Kepingan-kepingan Kenangan Bersama Kak Niko

Editor: Rosalina Woso
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Kenangan pada momen syukuran Wisuda Viktus Murin, 1 September 1995 di kontrakan Sekretariat GMNI Cabang Kupang, belakang Margasiswa PMKRI Kupang. Viktus diapit oleh Niko Frans (Alm), Frans Lebu Raya (Alm), Selly Tokan Kamilus dan Ambrosius Kodo.

Oleh: Viktus Murin

POS-KUPANG.COM - Tidak seperti hari-hari sebelumnya, Senin 3 Juni 2024, pagi-pagi benar, suasana hati saya berubah muram, setelah memperoleh kabar duka perihal berpulangnya Nikolaus Frans, Ketua GMNI Cabang Kupang periode 1993-1996. Saya pribadi selalu menyapa almarhum Niko Frans dengan sapaan "Kak Niko". Beliau lebih tua tujuh tahun dari saya.

Saat berita lelayu atau kabar duka itu mendarat di layar ponsel, serta-merta saya ingin menelpon sahabat saya Dion DB Putra, Pemimpin Redaksi POS KUPANG.

Namun, sesaat sesudahnya saya mengurungkan keinginan itu, sebab saya sungguh yakin bila Dion menjawab panggilan telpon saya, pasti saya kesulitan untuk berkata-kata. Sangat mungkin hanya akan terdengar suara tangis dari saya, karena ketidakmampuan saya berkata-kata.

Kami bertiga; almarhum Kak Niko, Dion, dan saya memang memiliki relasi persahabatan yang unik, yang tidak terjelaskan sebatas dan atau dengan kata-kata. Sisi-sisi kecil keunikan persahabatan kami bertiga telah ditulis dengan apik oleh Dion, dalam catatan kenangan bertajuk "Selamat Jalan Lawo" di Pos Kupang online @kupangmyribunnews.com, Senin,3 Juni 2024

Baca juga: Selamat Jalan Lawo

Serta-merta saya mengurungkan keinginan untuk menelpon Dion. "Sonde apa-apa, nanti beta chating WA sa dengan Osi," begitu hati saya berbisik. Saya biasa menyapa Dion dengan "No Osi", merujuk pada nama inisialnya di redaksi Pos Kupang, saat dahulu kami masih sama-sama berkutat di dapur redaksi Pos Kupang semenjak mula Desember 1992.

Sapaan "No" merujuk pada ungkapan khas bahasa Nagi Larantuka, sebuah sapaan terhalus untuk orang laki-laki. Dion berasal dari Ende, saya dari Lembata, tetapi kami menemukan harmoni rasa saat sama-sama saling menyapa dengan panggilan "No". Dion sering menyapa saya dengan "No Vik", pun merujuk pada inisial saya di redaksi Pos Kupang.

Senin pagi itu, dua pesan WA masuk, satu dari adik rasa sekandung saya Christo Korohama di Nagi Larantuka. Satu pesan lainnya muncul dari Pendeta Paul Bolla, yang juga teman seprofesi, sesama wartawan Pos Kupang dahulu. Saya pun menelpon balik Christo maupun Om Pendeta, selain untuk memastikan kebenaran informasi yang telah ramai beredar di medsos, juga untuk saling menguatkan dalam doa sebab kita telah kehilangan lagi seorang tokoh politik NTT yang berkarakter.

Sesudahnya, saya menelpon senior GMNI di Jakarta, Silvester Mbete (Bung Sil). Beliau adalah tokoh kunci terbitnya SK Presidium GMNI untuk pembentukan Caretaker GMNI Kupang tahun 1989 silam. Bung Sil adalah putra NTT pertama yang menjadi Presidium GMNI dari basis cabang Jakarta. SK Caretaker yang menunjuk Bung Frans Lebu Raya sebagai Ketua CT GMNI Kupang terbit pada era kepemimpinan Ketua Pesidium GMNI, Kristya Kartika.

"Pagi Kae Sil. Kae sudah dengar berita duka,"? tanya saya agak tergesa-gesa. Dari balik ponsel, nada suara Bung Sil terdengar pelan melemah dan terasa memuat beban kesedihan. "Iya ade, sahabat juang kita Bung Niko sudah pergi. Meninggal dunia di Rumah Sakit Islam Jakarta. Sedang dibahas persiapan untuk pemberangkatan jenazah ke Kupang," jawab Kae Sil. Kami pun saling menguatkan, saling menopang spirit, saling berbagi rasa mengenang stasi-stasi perjuangan di masa sulit dahulu. Tak berapa lama sesudahnya, saya terisak sesenggukan di telpon, sebab sedih yang sangat datang melanda. "Maaf Kae, saya sedih sekali Kak Niko pergi, padahal belum lama juga Kak Frans meninggalkan kita. Saya juga sedih ingat Kae Sil yang sekarang sudah sendirian setelah kepergian Kaka Nona beberapa waktu lalu."  Bung Sil menjawab lekas. "Iya Ade, sudah begitu adanya rencana TUHAN. Terima kasih, kita bisa saling menguatkan dan mendoakan," kali ini suara Bung Sil terdengar lebih tegar.

Tak lupa saya pun menelpon adik Isto Haukilo, yunior di GMNI Kupang, yang saat ini sedang mengemban tugas formal organisatorisnya sebagai Ketua DPD GMNI NTT. Kepada Isto, saya sarankan agar nanti setelah lepas masa duka GMNI di NTT pasca kepergian Kak Niko, agar menginisiasi suatu pertemuan menyeluruh komunitas GMNI.

Perlu saling bertemu dan bertutur dari hati ke hati, mengenai agenda kolektif yang bisa ditempuh  untuk kebaikan NTT, sebagai apresiasi kolektif atas "legacy ideologi" yang ditinggalkan duo Frans (Frans Lebu Raya dan Nikolaus Frans).

Dari 1992, ke 2022

Terlalu banyak hal dan atau pengalaman yang patut dikenang mengenai Kak Niko, namun tentu saja itu tak bisa ditulis semuanya dalam catatan kenangan ini. Saya hanya memagari beberapa momen untuk diungkapkan di sini, dengan cara membawa ingatan saya bergerak dalam alur mundur ke tahun 1992 sampai dengan tahun 1996, tahun 1999 sampai dengan tahun 2002, tahun 2011, tahun 2015, tahun 2018, dan tahun 2022.

Di tahun 1992, tiga tahun setelah GMNI Kupang eksis secara formal, sejak SK Caretaker terbit tahun 1989, GMNI Kupang mencatat "prestasi" perdana di pentas nasional yakni dengan menjadi cabang peserta Kongres GMNI di Batu-Malang, Jawa Timur.

Halaman
123

Berita Terkini