Berita NTT

LBH APIK Gugah UU TKPS, Kasus Kekerasan Seksual Naik 500 Persen

Penulis: novemy
Editor: Rosalina Woso
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Direktris LBH APIK NTT, Ansi Rihi Dara dan staf menjelaskan Catatan Akhir Tahun LBH APIK NTT kepada wartawan di Kupang, Senin 22 Januari 2024.

Simetris dengan data yang diperoleh dalam riset media, demikian Ansi, kasus KS seperti  perkosaan dan percabulan mendominasi kasus yang dilaporkan ke LBH APIK NTT.

Persentasi kasus kekerasan seksual mencapai 27.persen dari total kasus yang ditangani oleh LBH APIK NTT. Selain kasus KS, kasus perceraian juga marak ditangani oleh LBH APIK NTT, angkanya mencapai 20 persen dari total kasus yang ditangani. 

Baca juga: BMKG Mencatat Gempa Bumi Hari Ini Baru Saja Guncang Lembata NTT, Cek Kekuatan dan Pusat Gempa

Kasus lain yang mendominasi adalah kasus KDRT 15 persem dari total kasus yang ditangani, kasus KGBO 7 persen, dan kasus Ingkar Janji Menikah 6 persen.

Dari segi kuantitas, kasus yang ditangani oleh LBH APIK NTT mengalami penurunan jika dibandingkan dengan jumlah kasus yang ditangani pada tahun 2022. 

Data memperlihatkan, Tahun 2022, LBH APIK NTT menangani 118 kasus. Ini menurun pada tahun 2023 menjadi 73 kasus. 

Pada kasus KS, korban masih didominasi oleh anak, di mana dari total  19 kasus KS, 16 kasus 86 persen korban adalah anak-anak.

Pada penerapan pasal, sebagaimana data dari Polda NTT, kasus KS masih belum sepenuhnya menggunakan pasal dalam UU TPKS. Tercatat 1 kasus yang menggunakan UU TPKS, yakni kasus pelecehan seksual.

Ansi menilai, tidak digunakannya UU TPKS pada kasus kekerasan seksual disebabkan oleh kepolisian masih menunggu petunjuk lebih lanjut dalam penerapan pasal UU TPKS. 

"Kondisi ini membuat penerapan UU TPKS belum dapat berjalan dengan maksimal. Selain penggunaan pasal dalam UU TPKS, hukum acara yang diatur dalam UU TPKS belum sepenuhnya dipergunakan oleh APH pada kasus-kasus KS yang deliknya diatur pada UU yang lain," jelas Ansi. 

Jika merujuk pada pasal 2 ayat (2) UU TPKS yang mengadopsi konsep listing dan menjangkau UU lain yang memuat KS (blanco strafbepaling), maka UU TPKS ini berlaku secara lex specialis systematis.

Artinya secara sistematis semua kasus KS, mekanisme acaranya akan merujuk pada hukum acara dalam UU TPKS.

Jadi, apakah UU TPKS masih dibutuhkan? Pasti. "Problemanya bukan pada UU TPKS ini, tetapi kemauan baik dan kapasitas APH dalam menggunakan UU TPKS ini. Semoga kita terhindar dari berbagai bahaya KS," harap Ansi.

Lebih lanjut Ansi mengatakan, dalam upaya meningkatkan efektivitas Layanan LBH APIK NTT di wilayah dampingannya, perlu dilakukan penguatan peran paralegal sebagai perpanjangan LBH APIK NTT. Hal ini dapat dicapai dengan memperkuat system pelaporan yang melibatkan peran aktif para paralegal.

Diperlukan peningkatan kapasitas paralegal dalam menghimpun informasi dan memberikan pendampingan hukum kepada masyarakat.

"Selain itu, perlu diupayakan kebijakan yang bersifat pro gender dan pro minoritas melalui kajian-kajian mendalam. Para paralegal dapat berperan aktif dalam melakukan analisis dan riset terkait isu-isu hukum yang berkaitan dengan gender dan minoritas," ungkapnya.

Baca juga: Bawaslu Kota Kupang Nilai Sosialisasi Stunting Generasi Penerus NTT Langgar Aturan

Halaman
123

Berita Terkini