Opini

Opini Peter Tan: Asketisme Intelektual

Editor: Alfons Nedabang
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Seminar nasional ini menghadirkan tiga narasumber, antara lain, Dr. Bonifasius Hargens, Dr. Budi Munawar Rachman, dan Dr. Norbertus Jegalus. Seminar itu dimoderatori oleh Pater Peter Tan, SVD, MFi (kiri), Dosen Fakultas Filsafat Unwira Kupang dan digelar di ballroom Santo Hendrikus, Gedung Rektorat, Kampus Penfui.

POS-KUPANG.COM - Baru-baru ini, kita terkejut dengan hasil investigasi Kompas yang menyebutkan bahwa sejumlah calon guru besar melakukan joki karya ilmiah agar naskah mereka dipublikasikan di jurnal internasional berindeks Scopus.

Praktik kecurangan akademik tersebut tentu hanyalah puncak gunung es dari masifnya praktek serupa baik di kalangan dosen maupun mahasiswa di berbagai universitas di Indonesia.

Awdry dan Ives (2022) menemukan bahwa sejak 2014 di antara mahasiswa di berbagai perguruan tinggi, praktik joki karya ilmiah, plagiarisme, menyontek dan berbagai bentuk kejahatan akademik lainnya meningkat menjadi 15,7 persen.

Menurut Hamid Awaludin (Kompas, 17/2), praktik joki karya ilmiah dan bentuk-bentuk kecurangan akademik lainnya berakar pada tuna-akhlak akademisi yaitu pencopotan prinsip-prinsip moral dan etika seperti kejujuran dan kebenaran demi meraih gelar akademik bergengsi dan berlimpah insentif.

Whinda Yustisia (Kompas, 20/2) berpendapat bahwa bukan hanya krisis moral melainkan juga rendahnya minat riset dan kemampuan akademisi untuk mendesign penelitian adalah akar kecurangan akademik.

Dapat disimpulkan bahwa kecurangan akademik berakar pada krisis integritas moral dan kapabilitas intelektual akademisi atau mahasiswa.

Baca juga: Opini Peter Tan: Politik Identitas dan Populisme Islam di Indonesia

Asketisme dan Kerja-kerja Intelektual

Ada faktor fundamental lain yang luput dari perhatian namun sangat berpengaruh pada peningkatan kecurangan akademik di perguruan tinggi dan rendahnya mutu ilmu pengetahuan di Indonesia yaitu krisis asketisme intelektual.

Kerja-kerja intelektual, prestasi akademik, dan karya-karya besar yang menginspirasi umat manusia sepanjang zaman membutuhkan asketisme intelektual yang militan.

Asketisme artinya menunda kenikmatan dan membatalkan kesenangan diri untuk membangun fokus dan ketenangan dalam mengejar target-target penting, signifikan dan positif dalam hidup.

Sikap asketis semula adalah gaya hidup para pertapa dalam mengejar tujuan-tujuan spiritual, namun dewasa ini, semakin disadari bahwa sikap asketis adalah fondasi mental yang harus dilatih dan dimiliki jika seseorang ingin sukses dan berprestasi dalam hidup.

Prestasi akademik, karya-karya intelektual, kesenian dan temuan-temuan sains hanya bisa dicapai melalui aksese yang matang yaitu sikap menunda kenikmatan dan rasa malas, pengendalian diri, disiplin diri yang tinggi, tahan uji, ketekunan akademik, kerja keras dalam studi,dan ketenangan.

Ada beberapa contoh yang menunjukkan betapa asketisme intelektual sangat penting bagi kemajuan ilmu pengetahuan. Yuval Noah Harari, penulis beberapa buku terkenal dan best seller internasional seperti Homo Sapiens, Homo Deus, dan 21 Lessons for the 21 Century, adalah seorang yang benar-benar asketis dalam menulis, meneliti hingga menghasilkan karya akademik cemerlang di tingkat internasional.

Baca juga: Opini Ismail Sulaiman: Bersama BRIN Menenun Pengetahuan Lokal

Untuk menulis bukunya, Harari menghabiskan waktu 8-9 jam sehari untuk duduk di depan laptop, dalam kesendirian di kamar pribadi atau ruang kerjanya, tanpa ponsel cerdas. Hingga Mei 2021, Harari tidak memiliki HP.

Harari berlatih meditasi Vipassana yaitu teknik meditasi untuk membangun fokus, ketenangan dan tahan uji. Harari mengaku bahwa berkat Vipassana dia memperoleh fokus, kedamaian, wawasan dan ketenangan dalam menulis. Melalui askese intelektualnya, Harari menghasilkan karya-karya genial yang menginspirasi dunia saat ini.

Dalam filsafat, terdapat sejumlah filsuf yang menghasilkan karya-karya cemerlang dari pergumulan intelektual dengan semangat asketis dan disiplin diri yang tinggi.

Dari askese intelektual yang keras, Heidegger, seorang filsuf Jerman tersohor, menghasilkan Being and Time, suatu karya cemerlang yang memengaruhi seluruh sistem filsafat setelahnya dan dibaca bukan saja oleh para filsuf tetapi juga ilmuwan.

Di pondok Todnauberg, Jerman, tahun 1923, Heidegger hidup menyendiri ditemani istrinya. Namanya tak tercatat pada buku telepon. Tukang pos juga tak diizinkan mengebel pondoknya.

Setelah sarapan jam 7 pagi, dia masuk kamar untuk membaca, menulis, membalas surat-surat, dan baru istirahat pada jam 17.00. Jam 18.00 sampai 20.00, dia membaca puisi karya penyair-penyair klasik.

Baca juga: Opini Emanuel Kolfidus: Politik dan Demokrasi

Dari askese intelektualnya, dia melahirkan pemikiran-pemikiran baru yang merevolusi teori-teori filsafat dan ilmu pengetahuan.

Immanuel Kant, juga seorang filsuf Jerman tersohor, selama 13 tahun hidup dalam masa hening, di mana dia tidak menghasilkan karya apapun. Namun, 13 tahun itu adalah waktu keheningan kreatif.

Selama 13 tahun, dia membaca, mereview, memeriksa dan menguji semua teori filsafat dari seluruh sistem filsafat sebelumnya dengan disiplin diri dan fokus yang tinggi.

Dia berhasil menemukan celah teori dan mulai menyusun sistem filsafat baru. Alhasil, setelah 13 tahun, lahir sebuah karya besar yang menggemparkan tidak hanya dunia filsafat tetapi juga sains dan ilmu pengetahuan pada umumnya yaitu Critics of Pure Reason (Kritik atas Budi Murni).

Dari dunia seni, askese intelektual kita bisa temukan misalnya dalam catatan tentang komponis Messiah, Goerge F. Handel. Dikisahkan bahwa Handel menciptakan lagu tersebut selama tiga minggu, dari 22 Agustus-14 September 1741.

Selama tiga minggu itu, Handel mengeram dalam kamarnya untuk menangkap insiprasi, membangun imajinasi, menyusun notasi dan membubuhkan syair-syair yang hidup.

Makanan dan minuman dibawa masuk ke dalam kamar. Alhasil, pada 13 April 1742, Messiah atau lazim kita sebut, Halleluya Handel, yang dinyanyikan oleh koor raksasa menggemparkan seluruh kota Dublin.

Baca juga: Opini Maksimus Ramses Lalongkoe: Mencari Kontestan Kontes Gagasan

Messiah tetap merajai musik klasik hingga hari ini (Dhakidae, 2013). Tentu masih banyak contoh serupa dari dunia seni. Begitu juga dari dunia sains yang menghasilkan penemuan-penemuan terkenal dan mengubah dunia. Semua karya intelektual tersebut terjadi melalui asketisme intelektual yang militan.

Bangun Asketisme Intelektual

Beberapa contoh tersebut sengaja disebutkan untuk memperlihatkan bahwa tidak ada kegemilangan intelektual dan prestasi akademik yang diperoleh secara instan, tanpa askese, puasa, disiplin diri, tahan uji, dan kerja keras, kecuali bila Anda dengan tidak tahu malu melakukan manipulasi, kecurangan dan plagiarisme.

Semua karya kreatif, genius dan prestisius diperoleh melalui kisah-kisah perjuangan dan penderitaan, disiplin diri, dan puasa dari segala kesenangan dan kemalasan.

Di balik sebuah tulisan yang bagus, ada seorang penulis yang tekun, mencintai ketenangan dan keheningan, tahan banting, memiliki daya tahan mental dan fisik untuk membaca, mengkaji berbagai literatur, melihat gap teori dan menenun teks.

Karya-karya intelektual dan sains yang mengubah dunia pada umumnya tidak hanya mengandalkan kecerdasan dan bakat, tetapi juga yang jauh lebih besar pengaruhnya adalah askese intelektual.

Tanyakan kepada para penulis yang melahirkan karya yang bagus, bagaimana dia menghasilkan karyanya dan berapa jam sehari dia habiskan untuk membaca, mereview literatur dan duduk menulis di depan laptop.

Baca juga: Opini Reinard L Meo: Peristiwa Abu Dhabi dan Dialog dari Hati ke Hati

Tanyakan kepada orang-orang berprestasi, bagaimana susah payah dia meraih prestasinya. Tanyakan kepada orang-orang sukses dalam berbagai bidang ilmu dan bidang kehidupan, bagaimana mereka bisa sukses.

Saya yakin, jawabannya ialah karena mereka memiliki semangat askese yang tinggi: sikap menahan diri, hidup hemat, disiplin diri, tahan banting, bergumul dalam penderitaan, dan berjuang selagi masih bisa.

Krisis asketisme intelektual telah menjadi perhatian dunia pendidikan saat ini. Plagiarisme dan budaya kecurangan akademik lainnya merupakan produk dari mental instan: ingin menghasilkan karya yang bagus tapi dengan jalan cepat yaitu jalan curang.

Dalam skala nasional, krisis asketisme intelektual telah menyebabkan merosotnya mutu akademisi dan mandegnya kemajuan pendidikan dan ilmu pengetahuan di Indonesia.

Menurut Moh. Isom Yusqi (Media Indonesia, 20/4/2023), pudarnya asketisme intelektual menjadi salah satu alasan mengapa ilmuwan dan akademisi di Indonesia jarang atau bahkan tak pernah menghasilkan ilmu-ilmu dan teori-teori baru yang diakui secara internasional.

Sebaliknya, kita adalah konsumen setia ilmu dan pengimpor ide atau teori-teori dari bangsa lain. Kita belum menjadi produsen dan pencipta teori-teori dan inovasi baru.

Mengapa kita tidak kreatif dan hanya mengekor? Jawabannya ialah karena bukan asketisme intelektual yang menjadi sikap dan the way of life para akademisi dan mahasiswa kita, melainkan budaya kecurangan dan penipuan: joki karya ilmiah, plagiarisme, menyontek, malas dan rendahnya disiplin akademik.

Berhadapan dengan situasi yang memprihatinkan ini, adalah tugas semua stakeholder pendidikan untuk membentuk karakter dan semangat aksetisme intelektual di sekolah dan perguruan tinggi. (Penulis adalah Pengajar Fakultas Filafat Unwira Kupang)

Ikuti berita POS-KUPANG.COM di GOOGLE NEWS

 

 

 

Berita Terkini