“Dipilih sebelum penciptaan dunia”
Rasul Paulus membuka sebuah cakrawala yang luar biasa di hadapan kita bahwa di dalam Kristus, Allah Bapa, “telah memilih kita sebelum dunia dijadikan, supaya kita kudus dan tak bercacat di hadapan-Nya. Dalam kasih Ia telah menentukan kita dari semula melalui Yesus Kristus untuk menjadi anak-anak-Nya, sesuai dengan kerelaan kehendak-Nya” (Ef. 1:4-5).
Kata-kata ini memungkinkan kita untuk melihat kehidupan sepenuhnya: Allah telah “mengandung” kita menurut gambar dan rupa-Nya serta menghendaki kita menjadi putra dan putri-Nya. Kita diciptakan melalui cinta, demi cinta dan dengan cinta, serta kita dibuat untuk mencintai.
Dalam perjalanan kehidupan kita, panggilan ini, yang merupakan bagian jalinan keberadaan dan rahasia kebahagiaan kita, datang kepada kita melalui karya Roh Kudus dengan cara yang selalu baru.
Karya Roh Kudus menerangi pikiran kita, memperkuat keinginan kita, membuat kita takjub dan menjadikan hati kita berkobar-kobar.
Terkadang, Roh Kudus datang kepada kita dengan cara yang sama sekali tidak terduga. Demikian pula dengan saya, pada tanggal 21 September 1953, ketika sedang dalam perjalanan menuju perayaan tahunan sekolah, saya dituntun untuk mampir ke sebuah gereja dan mengaku dosa. Hari itu mengubah hidup saya dan meninggalkan bekas yang bertahan hingga hari ini.
Panggilan Allah untuk pemberian diri cenderung diketahui secara bertahap: dalam perjumpaan kita dengan berbagai situasi kemiskinan, pada saat-saat doa, ketika kita melihat sebuah kesaksian yang jelas tentang Injil, atau membaca sesuatu yang membuka pikiran kita.
Ketika kita mendengar sabda Allah dan merasakannya diucapkan langsung kepada kita, dalam nasihat yang diberikan oleh saudara-saudari seiman kita, di saat sakit atau sedih […] Dalam segenap cara Ia memanggil kita, Allah menunjukkan daya cipta yang tak terbatas.
Prakarsa Tuhan dan karunia-Nya yang murah hati menuntut tanggapan kita. Panggilan adalah “interaksi antara pilihan ilahi dan kebebasan manusiawi”[1], hubungan yang dinamis dan menggairahkan antara Allah dan hati manusia.
Karunia panggilan laksana benih ilahi yang tumbuh di tanah keberadaan kita, membuka hati kita terhadap Allah dan sesama kita, sehingga kita dapat membagikan kepada mereka harta yang telah kita temukan.
Ini adalah tatanan dasar dari apa yang kita maksudkan panggilan: Allah memanggil kita dalam kasih dan kita, dengan rasa syukur, menanggapinya dengan kasih.
Kita menyadari bahwa kita adalah putra-putri terkasih dari satu Bapa, dan kita melihat diri kita sebagai saudara-saudari satu sama lain.
Santa Theresia dari Kanak-Kanak Yesus, ketika akhirnya ia “melihat” hal ini dengan jelas, berseru, “Akhirnya aku menemukan panggilanku: panggilanku adalah kasih. Sungguh, aku telah menemukan tempatku yang layak di dalam Gereja […] Dalam hati Gereja, Bundaku, aku akan menjadi kasih”. [2]
“Aku adalah sebuah perutusan di bumi ini”
Panggilan Allah mencakup “perutusan”. Tidak ada panggilan tanpa perutusan. Tidak ada kebahagiaan dan pernyataan diri sepenuhnya jika kita tidak menawarkan kepada sesama kita kehidupan baru yang telah kita temukan.