Karena itu, munculnya resistensi publik terhadap kebijakan KBMB, jangan-jangan bukan karena kebijakan itu tidak ada gunanya. Namun, hal ini bisa jadi karena pemerintah tak menjalankan komunikasi publik.
Ada masalah serius dalam hal ini. Sistem akses informasi belum menjadi bagian integral dari praktik penyelenggaraan pemerintah hingga saat ini.
Kondisi ini diperparah kultur birokrasi yang feodal dan eksklusif. Padahal, berdasarkan prinsip “kontrak sosial” dalam negara demokratis, para pejabat publik adalah pelayan masyarakat.
Baca juga: Opini Prof Feliks Tans: Surat Terbuka Kepada Gubernur NTT, Menciptakan Sekolah Unggul
Demokrasi pendidikan
Tak ada yang berubah dari kebijakan publik di bidang pendidikan. Selalu sarat kontroversi. Sebuah sinyal yang harus dibaca mendua.
Pertama, publik yang semakin kritis terhadap pelbagai kebijakan pendidikan yang menyangkut nasib satu generasi daerah ini. Kedua, sebuah pemerintahan yang semakin kentara persoalan-persoalannya di bidang pendidikan.
Kata pendidikan berasal dari kata Latin educare yang secara harafiah berarti “menarik ke luar dari.” Dalam ruang pemaknaan itu, pendidikan adalah sebuah aksi membawa orang pais (anak/peserta didik) keluar dari kondisi tidak merdeka, tidak dewasa, dan tidak tergantung, ke suatu situasi merdeka, dewasa, dapat menentukan diri sendiri, dan bertanggung jawab.
Pendidikan yang demokratis tidak bertujuan menciptakan manusia siap kerja, (sekolah bukan pabrik robot ), tetapi membentuk manusia matang dan berwatak.
Maka pendidikan adalah sebuah proses pedagogis, di mana seorang pais dibebaskan dari ketidakmatangan dan kebodohan menjadi nilai pribadi yang baik secara moral dan nilai cerdas secara intelektual.
Pemahaman atas hakikat pendidikan menjadi penting karena tanpa itu kita terjebak perdebatan dalam apa yang disebut high rate of return di masa depan.
Karena itu, sekolah secara metodik-didaktik hanya berfungsi subsider (terhadap keluarga) dalam hal pendidikan nilai, namun sebagai salah satu agen sosialisasi nilai, sekolah harus tampil ke depan sebagai lembaga pendidikan suara hati.
Baca juga: Opini Januar J Tell: Mengkritisi Kebijakan Masuk Sekolah Jam 5 Pagi
Itu berarti, proses pendidikan tidak dapat dipisahkan keberadaannya dari kultur yang melingkupinya. Disatu sisi, kualitas pendidikan akan menciptakan kultur baru di masyarakat dan sebaliknya, kultur dalam masyarakat akan semakin memberi orientasi baru suatu karya pendidikan.
Sehingga, aspek paling paradoksal situasi saat ini adalah sulitnya mendamaikan dua pendekatan yang berbeda, yaitu pendekatan teknis demi kepentingan praktis sesaat dan pendekatan estetis-etis demi kepentingan formatif yang sifatnya tidak terlalu praktis.
Legitimasi etis
Perangkat aturan restorasi pendidikan yang mengatur KBMB yang tidak memiliki sandaran nilai kebenaran dan keadilan akan menimbulkan kekusutan moral (moral hazard) dan mematikan akal sehat.
Dengan kata lain, KBMB ini sesungguhnya dilandasi suatu kerangka hukum dan juga dilaksanakan berdasarkan suatu hukum juga.