POS-KUPANG.COM - Selama ini, sebagian masyarakat di tanah air, lebih mengenal pembelajaran yang dilakukan secara tatap muka. Mereka merasa nyaman bahwa dalam interaksi dengan menghadirkan pengajar dan pebelajar dalam satu momen yang sama. Harus diakui, sederet kelebihan interaksi ini memang dapat dirasakan.
Dialog secara tatap muka dalam pembelajaran adalah utama. Materi-materi sesulit apa pun, jika disampaikan dengan cara yang ‘istimewa’ tentu mudah dicerna oleh pebelajar.
Artinya, dari berbagai sudut pandang, model pembelajaran tatap muka adalah kesepakatan yang paling layak dipilih dalam sistem pendidikan di Indonesia.
Sejalan dengan perkembangan teknologi informasi dan komunikasi (TIK), alternatif model pendidikan secara non-tatap muka, kini mulai dikenal masyarakat, termasuk dalam dunia pendidikan tinggi. Jika semula masyarakat familiar dengan perguruan tinggi tatap muka, kini pemahaman mereka menjadi semakin baik.
Pengenalan ini lebih masif tatkala Indonesia dan seluruh dunia mengalami pandemi Covid-19. Saat musibah itu melanda, ternyata ada sisi lain yang menjadi berkah dalam dunia pendidikan, yakni lebih dikenalnya pembelajaran non-tatap muka.
Baca juga: Opini Theresia Wariani: Belajar Etos dan Ilmu Mendidik dari Negeri Sakura
Dalam institusi pendidikan tinggi di Indonesia, model pembelajaran secara jarak jauh sudah diadopsi beberapa PTN/PTS yang ada. Pembelajaran yang dilakukan berbasis TIK dan umumnya program yang diselenggarakan adalah fully online.
Jadi, pengidentifikasian yang poluler adalah kuliah online. Hal yang berbeda dimiliki penyelenggara pendidikan tinggi yang berkonsep “terbuka dan jarak jauh”.
Apa itu Pendidikan Tinggi Terbuka dan Jarak Jauh
Dalam konteks pendidikan tinggi terbuka dan jarak jauh ( PTTJJ ), terdapat dua nomenklatur besar yang itu mengandung lebih banyak fleksilibilitas. Terbuka, misalnya, mengandung makna bahwa usia berapa pun boleh menjadi mahasiswa. Artinya, lulusan tahun ijazah berapa pun boleh. Yang penting dari SLTA/sederajat.
Selain itu, mahasiswa dapat menentukan sendiri jumlah mata kuliah yang diregistrasikan untuk setiap semester. Mereka boleh menentukan sendiri lama studi yang diinginkan sesuai dengan kesibukan keseharian. Tidak ada sangsi drop out (DO) bagi mahasiswa.
Mereka yang akan menempuh derajat diploma atau sarjana juga tidak diberi persyaratan tes masuk. Sifat keterbukaan ini mengandung maksud juga bahwa siapa pun boleh menjadi mahasiswa, termasuk mereka yang tinggal di kepulauan, yang secara geografis sulit dijangkau.
Sementara itu, jarak jauh memiliki pemaknaan bahwa ada jarak antara pengajar dan pebelajar. Namun, jarak tersebut disatukan oleh bahan ajar (cetak/digital) yang sama di seluruh Indonesia.
Keterpisahan itu juga dirangkaikan dengan layanan bantuan belajar yang dapat dipilih mahasiswa, baik berupa tutorial online maupun tutorial tatap muka.
Baca juga: Opini Albertus Muda S.Ag: Pendidikan, Pengajaran dan Kekerasan
Oleh karena itu, sejatinya institusi PTTJJ tidak terbatas penyebutannnya sebagai kuliah online belaka karena layanan bantuan belajar online hanyalah salah satu model yang ditawarkan.
Tetap ada layanan secara tatap muka yang membantu memudahkan mahasiswa dalam pembelajarannya. Semua bergantung pada pilihan mahasiswa.
Dalam menjalankan proses bisnisnya, institusi penyelenggara PTTJJ memiliki beragam fleksibilitas, misalnya yang dilakukan Universitas Terbuka (UT).
Setiap mahasiswa di perguruan tinggi negeri tersebut dapat melaksanakan ujian di lokasi yang berbeda jika pada saat hari ujian ternyata ada kegiatan dan harus berpindah kota.
Misalnya, mahasiswa di UT Kupang terdaftar berdomisili di Kupang, tetapi saat ujian akhir semester ternyata harus ada kegiatan di Jakarta, maka si mahasiswa dapat tetap melaksanakan ujian di Kota Jakarta.
Kemudahan ini penting karena tanggal pelaksanaan ujian telah ditetapkan satu semester sebelumnya dan itu tidak akan berubah.
Kendala yang menghantui para pebelajar mandiri, terbuka, dan jarak jauh, hanya satu frasa saja, yakni rasa malas. Musuh utama belajar non-tatap muka hanya itu.
Ketika mahasiswa melakukan registrasi dan kemudian diberikan kalender akademik dan bekal menjadi mahasiswa yang penuh dengan kemandirian, mahasiswa harus mengubah pola pikirnya.
Baca juga: Opini Frans X Skera: Era Vuca
Jika semula menjadi pribadi yang selalu “disuapin”, maka ketika menjadi bergabung, prinsip disuapin itu berganti dengan mencari suapan sendiri. Aktif melakukan penggalian informasi secara mandiri. Tantangan terbesar mahasiswa hanya pola pikir yang harus berubah.
Bahan Ajar sebagai Instrumen Kualitas Pembelajaran
Satu-satunya sumber belajar dalam PTTJJ adalah bahan ajar (cetak atau digital). Jika mahasiswa memiliki disiplin yang tinggi dalam belajar. Mampu membagi waktu antara berkuliah dan bekerja, maka hasil studi tentu tidak akan mengecewakan. Soal dalam ujian akhir semester sepenuhnya diambil dari bahan ajar tersebut.
Jadi, siapapun yang kuat membaca dan sekaligus menempatkan hasil bacaan dalam ingatan yang tajam, pelaksanaan ujian akan mudah dilakukan.
Tentu ujian bukan tiba-tiba waktunya karena sebelumnya mahasiswa juga dapat memilih layanan bantuan belajar berupa tutorial tatap muka atau online sebagaimana yang diulas di awal.
Dengan kata lain, belajar non-tatap muka memiliki kelebihan dalam hal melatih kemandirian. Kemandirian ini penting dalam mendukung aktivitas keseharian, tetap sukses dalam beraktivitas dan selalu lancar juga dalam berkuliahan.
Selain itu, motivasi kuat juga menjadi instrumen yang sangat penting kesuksesan ini. Saluran komunikasi Ketika mahasiswa mengalami kendala juga dapat dengan mudah diakses.
Baca juga: Opini Bernadus Badj: Konsep Pembangun dalam Perspektif Peter L Berger
Konektivitas sebagai Pintu Utama
Dalam konteks Provinsi Nusa Tenggara Timur ( NTT ) yang tipografi daerahnya terdiri atas daratan dan kepulauan, model pembelajaran seperti yang dijelaskan ini adalah sebuah keniscayaan.
Pemerataan akses pendidikan tinggi ke seluruh pelosok daerah tentu menjadi tantangan tersendiri.
Keterhubungan dan keterjangkauan menjadi sangat penting dan itu dapat dilalui jika setiap insan pendidikan tinggi di NTT dapat bersama-sama bersinergi dalam membangun sumber daya manusia yang andal. Model PTTJJ adalah pilihan.
Kini, gelora tentang belajar non-tatap muka tumbuh semakin besar. Masyarakat mulai terbiasa dengan istilah kampus yang mendatangi mahasiswa. Kampus hadir di sekeliling kita.
Belajar tidak lagi berkutat di gedung-gedung tinggi. Belajar dapat dilakukan di mana saja dan kapan saja. Belajar juga tidak lagi mengenal batas usia. Terima kasih. (Penulis adalah Dosen FKIP - Universitas Terbuka)
Ikuti berita POS-KUPANG.COM di GOOGLE NEWS