Tak Ada Ruang Restoratif Justice untuk Kasus Kekerasan Seksual di Alor

AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Pendeta Emmy Sahertian

POS-KUPANG.COM, KUPANG - Jaringan Anti Kekerasan Terhadap Perempuan dan Anak menegaskan tak ada ruang untuk pendekatan Restoratif Justice dalam penyelesaian kasus kekerasan seksual di Kabupaten Alor yang dilakukan oleh tersangka Vicaris Yanto Snae.

Hal ini terungkap dalam pernyataan sikap dari Jaringan Anti Kekerasan Terhadap Perempuan dan Anak yang diterima Pos Kupang beberapa waktu lalu.

Jaringan Anti Kekerasan Terhadap Perempuan dan Anak itu terdiri dari Komunitas Rumah Penjarum, Mitra Perempuan dan Anak Sumba Timur, Suara Perempuan Alor, LOWEWINI, Rumah Mentari Maulafa, Komunitas Laki-Laki Baru Kupang, Komunitas Balenta, Sabana Sumba, Komunitas Hanaf, Pdt Emmy Sahertien, Pdt. Ester M. Rihi Ga, Pdt. Herlina Ratu Kenya, Linda Tagie, Aryz Lauwing Bara, Therlince Loisa Mau, Alfes Lopo, No Ayu, Rumah Hokkay Mahensah, Pdt. Rillen Poyk, Selviana Yolanda (aktivis perempuan dan keberagaman), Martha Bire, Haris Oematan, Zarniel Woleka, Rambu Dai Mami, Agustin Zacharias, Melly Luwu, Yuli Benu, Tenggara Youth Community, Maria Goreti Ana Kaka, Rima Melani Bilaut dan Monica Bengu.

Menurut Jaringan Anti Kekerasan Terhadap Perempuan dan Anak, kekerasan seksual merupakan pelanggaran HAM berat yang menimbulkan kerugian dan akibat yang serius bagi para korban, baik fisik maupun psikis yang permanen dan berjangka panjang.

Baca juga: Pendeta Emmy Sahertian Sebut Darurat Migrasi Kerja di NTT Masih Tinggi 

Kekerasan seksual berupa pemerkosaan, eksploitasi seksual, dan kontrol seksual yang dilakukan oleh Yanto Snae (Calon Pendeta Gereja Masehi Injili di Timor) terhadap sejumlah remaja perempuan (untuk sementara 6 orang) di Alor merupakan kejahatan luar biasa.

Karena itu, Jaringan Anti Kekerasan Terhadap Perempuan dan Anak menyatakan 18 pernyataan sikap.

Jaringan Anti Kekerasan Terhadap Perempuan dan Anak mengutuk keras perbuatan bejat Sepriyanto Ayub Snae, tersangka pelaku kekerasan seksual terhadap anak-anak perempuan di Alor.

"Kasus kekerasan seksual merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan yang menjadi tanggungjawab bersama dan tidak terbatas pada kelompok atau lembaga tertentu. Kontrol publik atas penanganan kasus kekerasan seksual merupakan bagian dari upaya pengungkapan kebenaran, penegakan keadilan, dan gerak bersama menjamin ketidakberulangan di masa depan," tulis Jaringan Anti Kekerasan Terhadap Perempuan dan Anak.

Tidak ada ruang untuk pendekatan Restoratif Justice dalam penyelesaian kasus kekerasan seksual. Hal ini didasarkan pada UU Penghapusan Tindak Kekerasan Seksual Pasal 60 poin (h), dan Bab IV, Bagian Satu, Pasal 23 UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual.

Jaringan Anti Kekerasan Terhadap Perempuan dan Anak mendesak GMIT untuk mengambil tindakan tegas dengan TIDAK HANYA MENANGGUHKAN status vikaris pelaku, melainkan mencoret pelaku dari daftar calon pendeta GMIT yang akan ditahbiskan.

Mendesak GMIT menginvestigasi dugaan kekerasan seksual yang dilakukan pendeta, vikaris dan staf gereja di lingkungan gereja dengan tetap memperhatikan asas praduga tak bersalah serta aktif melaporkan kepada polisi sesuai hukum yang berlaku

"Mendesak GMIT untuk menyediakan layanan pengaduan bagi korban kekerasan seksual yang pelakunya adalah pendeta, vikaris, pelayan, dan staf GMIT," tulis Jaringan Anti Kekerasan Terhadap Perempuan dan Anak.

Baca juga: Pdt. Emmy Sahertian: Aktivis Kemanusiaan Nilai Modus Baru Dalam Trafficking di NTT

Mendesak GMIT membuat protokol pencegahan kekerasan seksual terhadap anak, perempuan dan kelompok rentan dalam lingkup gereja GMIT.

Mendesak GMIT memastikan agar para pelaku kekerasan terutama kekerasan seksual terhadap anak, perempuan, dan kelompok rentan agar diproses sesuai hukum yang berlaku di Indonesia, serta mencegah upaya penyelesaian di luar proses hukum seperti mediasi, meja adat, dan kekeluargaan, karena hal tersebut akan mencederai hak korban dan keluarga serta memperkuat rantai impunitas pelaku kekerasan seksual.

Jaringan Anti Kekerasan Terhadap Perempuan dan Anak juga mendesak Polres Alor untuk mengusut tuntas kasus ini dengan berpihak pada korban sebagaimana diatur dlm UUTPKS, UU Perlindungan Anak No 31/ 2014, serta memperhatikan rasa aman dan kerahasiaan anak sebagaimana diatur dalam UU no 11/2012, tentang sistem peradilan pidana anak dan menyertakan aspek restitusi korban dalam tuntutan hukum.

Halaman
12

Berita Terkini