Opini Pos Kupang

Ancaman Narkoba di Tengah Pandemi

Editor: Kanis Jehola
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Logo Pos Kupang

Oleh: Mario Djegho (Anggota Komunitas Secangkir Kopi (KSK) Kupang)

POS-KUPANG.COM - Pandemi Covid-19 telah mengubah tatanan dunia menjadi sebuah era normal baru ( new normal era). Semua lini kehidupan berubah drastis dalam sebuah standar baru yang turut mempengaruhi rutinitas masyarakat pada umumnya.

Kegiatan dan aktivitas tatap muka dibatasi dan bahkan terkonvergensi ke dalam ruang virtual. Imbasnya, perekonomian menjadi terganggu, mata pencaharian terusik, pendapatan menurun, hingga kebutuhan masyarakat yang semakin meningkat di tengah pasokan komiditi yang terbatas.

Keadaan ini tentunya memberikan dampak yang signifikan bagi kesehatan mental setiap individu. Hal tersebut semakin memupuk rasa kecemasan dan kepanikan publik ketika narasi-narasi pesimistik terus membuat kegaduhan di seluruh koridor perubahan.

Maka dari itu, tidak heran apabila tingkat stres dan depresi masyarakat semakin naik, serta mempengaruhi sisi psikologis individual maupun sosial.

Baca juga: Berkas P21, Satresnarkoba Polres Manggarai Limpahkan Tersangka Kasus Narkotika Ke Kejaksaan

 

Keadaan masyarakat di tengah pandemi Covid-19 tersebut tentunya dimanfaatkan secara baik oleh beberapa "penjahat kemanusiaan", termasuk dalam kasus peredaran narkoba.

Tingkat stres, depresi, dan guncangan mental menjadi domain utama yang dijadikan sasaran empuk bagi para "penjahat kemanusiaan" (baca: bandar narkoba) tersebut.

Berdasarkan hasil penelitian yang dikeluarkan oleh Pusat Penelitian Masyarakat dan Budaya (LIPI), tercatat adanya prevalensi penyalahgunaan narkoba di Indonesia yang mencapai presentase 1.80%.

Artinya, terdapat 3.419.188 jiwa penduduk Indonesia yang terjerumus ke dalam penyalahgunan narkoba, dimana 180 orang dari 10.000 penduduk Indonesia berusia 15-64 tahun terpapar kasus narkoba di tahun 2019 (masa awal pandemi) (bnn.go.id).

Baca juga: Terdakwa Kasus Narkoba Asal Timor Leste Ditetapkan Sebagai DPO

Namun, angka tersebut terus meningkat di masa pandemi Covid-19. Dalam pemaparannya, Deputi Pemberantasan BNN, Irjen (Purn) Aman Depari menunjukan bahwa pihaknya telah menggagalkan penyelundupan narkoba jenis sabu sebanyak lebih dari 1 ton beserta ganja yang dijual secara masif.

Hal tersebut menunjukan bahwa tren peredaran narkotika di masa pandemi Covid-19 justru mengalami peningkatan (detik.com).

Selain itu, berdasarkan data Pusat Laboratorium BNN, sampai akhir tahun 2020 terdapat sebanyak 83 narkotika sintesis jenis baru (NPS) yang telah terdeteksi dan 73 di antaranya masuk di dalam Permenkes No. 22 Tahun 2020.

Secara umum, pencegahan dan penanggulangan peredaran narkotika di dalam negeri telah diatur di dalam UU No. 35 Tahun 2009.

Baca juga: Bawa Narkoba, Warga NTB Diamankan di Labuan Bajo Manggarai Barat

Hal tersebut tentunya menjadi komitmen pemerintah dalam "memerangi" narkoba (war on drugs) secara konsisten dan kolaboratif bersama BNN, Kepolisian, dan Bea Cukai.

Narkoba dan Kebutaan Sosial

Salah satu alasan utama mengapa peredaran narkoba secara ilegal harus dihentikan adalah demi menyelamatkan generasi masa depan bangsa, terutama dalam menjaga dan mencapai bonus demografi bangsa ini.

Narkoba dalam jenis apapun akan berujung pada kematian, apabila tidak ditangani. Faktor sosial dan ekonomi menjadi modus operandi para bandar narkoba untuk berbisnis barang haram tersebut.

Kebutuhan hidup yang tidak sebanding dengan pendapatan menjerumuskan banyak orang untuk terlibat dalam proses pengedaran narkoba. Tentunya, keadaan sosial yang tidak menunjang bisa menjerumuskan banyak pihak, terutama kaum muda untuk ikut terlibat dalam penggunaan narkoba.

Baca juga: Gelar Pesta Asusila Pakai Narkoba di Masa Pandemi, Dokter dan Rekan-rekannya Diciduk Polisi

Uang masuk, kebutuhan dijamin. Kebutuhan lunas, jiwa pun melayang. Tak heran jikalau narkoba dianggap sebagai senjata pencabut nyawa.

Narkoba dan "kematian" merupakan dua hal yang tidak bisa dipisahkan. Kenikmatan narkoba merupakan bentuk awal dari kematian universal atau kematian partikular-post fenomenologis.

Kematian partikular merupakan suatu bentuk terputusnya simetrisitas sosial, yakni; relasi antara manusia dengan dirinya (intra subyektif) dan dengan orang lain (antar subyektif).

Seorang bandar, pengedar, dan pengguna narkoba sebenarnya sedang terserang sindrom kebutaan sosial (social blind). Kebutaan sosial tersebut mengakibatkan seseorang berperilaku tanpa asas kolektivitas (bonum commune), baik karena faktor ekonomis maupun euphoria semata.

Selain itu, kebutaan sosial tersebut akan bermuara pada tindak kejahatan kemanusiaan. Hanna Arendt, seorang filosof wanita, dalam bukunya Einhmann in Jerusalem, A Report of the Banality of Evil, mengemukakan bahwa manusia memiliki "banalitas kejahatan", yakni suatu situasi dimana kejahatan tidak lagi dirasakan sebagai kejahatan, tetapi sebagai sesuatu yang lumrah.

Artinya, kejahatan tidak selamanya berakar pada kebencian dan pikiran yang kejam, tetapi lebih merujuk pada matinya sikap kirtis maupun reflektif, sehingga menutup mata pada sistem dan aturan.

Sama halnya dengan kasus peredaran narkoba secara ilegal sebagai sebuah kejahatan, dangkalnya moralitas dan empati menjadikannya sebagai sebuah kelaziman yang normal bagi segelintir pihak.

Peredaran narkoba menjadi bukti nyata matinya simetrisitas sosial. Matinya kesadaran sosial menyebabkan banyak pihak berani berbisnis maut dengan takaran materi semata.

Parahnya lagi, pengguna narkoba sudah melupakan martabatnya sebagai manusia dengan memutuskan relasi intra subyektifnya. Semuanya itu dengan mudah terjadi karena manusia kehilangan suatu karakteristik diri, yakni; hati nurani.

Keadaan ini tidak hanya menjadikan manusia sebagai serigala untuk manusia lain, tetapi juga menjadi serigala bagi dirinya sendiri. Dengan kematian partikular ini, manusia dengan gampang membuka gerbang menuju kematian universalnya.

Pentingnya Penanaman Nilai dan Karakter

Proses pencegahan dan sosialisasi bahaya penggunaan narkoba bisa dimulai dan diterapkan dari lingkungan keluarga. Keluarga menjadi wadah komunikasi pertama yang dilalui oleh setiap individu sebelum ia masuk ke dalam kehidupan bermasyarakat.

Secara sosiologis, keluarga adalah lembaga sosial terkecil dalam sebuah kelompok masyarakat. Keluarga juga menjadi lingkungan edukatif pertama yang membentuk pribadi baru secara holistik, terutama dalam proses penanaman nilai-nilai sosial-budaya.

Oleh karena itu, proses komunikasi yang terjadi di dalam sebuah keluarga lebih merujuk pada pembentukan karakter sebagai penciptaan efek secara kognitif, afektif, konatif, dan sosial.

Intensitas komunikasi antara orang tua dan anak dalam sebuah keluarga akan menampilan sebuah pola sikap dan perilaku yang secara tidak langsung dilihat dan diamati oleh anak (observation).

Sebagai lembaga edukasi pertama, pola A yang ditampilkan oleh orang tua akan diamati sebagai A oleh anak.

Hasil pengamatan itu akan bermuara pada proses peniruan (imitation) oleh anak terhadap perilaku orang tua.

Di sini, seorang anak akan menganggap orang tua sebagai role model dalam proses penyajian contoh perilaku (modeling). Oleh sebab itu, bagi seorang anak, orang tua adalah model hidup (live model) yang menjadi acuan pembelajaran dalam menumbuhkan nilai dan sikap sosial yang baik di dalam dirinya.

Proses pengamatan dan peniruan tersebut akan berhujung pada proses pembiasaan respon (conditioning).

Dengan demikian, yang menjadi penekanan adalah mental dan kepribadian anak pada dasarnya terbentuk dan dibentuk di dalam proses interaksinya dengan lingkungan, sehingga esensi dan eksistensi sebuah lingkungan akan berdampak pada proses penanaman nilai seorang anak.

Proses pemberantasan narkoba sebenarnya harus dilaksanakan melalui persepsi etis dan bukan persepsi medis. Peredaran narkoba sebagai bentuk kematian partikular haruslah diberantas melalui suatu bentuk komunikasi yang persuasif.

Tindakan preventif lebih berguna ketimbang "membunuh" untuk mencegah kematian. Hilangnya simetrisitas antar subyek membuat sebagian individu kehilangan arah, sehingga terjerumus ke dalam suatu kematian partikular.

Dengan demikian, aktivasi dan konsolidasi fungsi agen sosial perlu diimplementasikan demi terwujudnya efektivitas proses sosialisasi.

Sosialisasi tersebut mampu mengkapling persepsi positif individu sebagai mahkluk sosial (ens sosiale), sehingga mampu mencegah terpaparnya sindrom kebutaan sosial, kematian partikular, dan kasus peredaran narkoba. *

Baca Opini Pos Kupang Lainnya

Berita Terkini