Pakar Geografi, Hamza Wulakada : Website Jual Pulau di NTT, Strategi Tingkatkan Wisata di NTT
POS-KUPANG.COM | KUPANG-- Mensinyalir adanya berita tentang ‘website penjualan pulau’ di salah salah satu daerah di NTT itu dengan posisif saja, kemungkinan itu strategi meningkatkan daya tarik kepariwisataan, terlebih dengan berbagai pemberitaan yang mempesonakan betapa eksotisnya alam NTT atau cara lain untuk menarik simpati Pemerintah Pusat untuk segera memperhatikan batas teritorial dan kepemilikan asset bangsa Indonesia.
Demikian disampaikan Dr. Hamza H Wulakada, Pengajar di Prodi Pendidikan Geografis Undana Kupang kepada POS-KUPANG.COM, Selasa (9/2)
Dikatakan Hamza, dalam menyikapi perihal kepemilikan Pulau di wilayah teritorial NTT dan Indonesia secara umum kini tengah menjadi agenda prioritas Kemenko Kemaritiman dalam satu tim bersama 'Tim Nasional Pembakuan Nama Rupabumi’ yang terdiri dari Kemendagri, KKP dan Badan Informasi Geospasial.
"Tim ini sudah dan sedang bekerja sejak 2005. Terdata pada tahun 2012, pulau di Indonesia bernama dan berkoordinat dilaporkan ke PBB sebanyak 13.466 pulau, lanjut 2017 terdata16.056 pulau dan terakhir Mei 2019 sebanyak 16.671, termasuk 111 pulau kecil dan terluar.
Hal ini bukan masalah baru, menurutnya sekian lama sudah menjadi rahasia umum soal penguasaan dan kepemilikan pulau dan bahkan ruang tertentu oleh individu atau corporasi, baik dalam negeri oleh pribumi maupun oleh WNA.
"Saya pernah alami satu kejadian, ketika kami diusir dari salah satu pulau di Komodo itu, mereka kontrak 30-an tahun, tapi persoalan kepemilikan saat itu beda dengan persoalan saat ini," ungkapnya
Ia menyampaikan bahwa, Persoalan terkait dengan hal ini adalah kewenangan untuk pembakuan Nama Rupabumi ini adalah kewenangan Pemerintah Pusat yang sangat tergantung pada anggaran serta prosesnya harus dilakukan serentak karena melalui perjenjangan yang panjang dan membutuhkan kekuatan diplomasi politik internasional hingga ke level PBB.
"Untuk NTT yang merupakan wilayah kepulauan terdiri dari 1.192 pulau, 432 pulau diantaranya sudah mempunyai nama dan sisanya sampai saat ini belum mempunyai nama, Sebanyak 42 pulau dihuni dan 1.150 pulau tidak dihuni,"
Persoalan saat ini untuk eksekusi nama jelas atas pulau-pulau di NTT menjadi tanggungjawab atau kewenangannya pemerintah pusat berdasarkan Perpres No 112 tahun 2006. Namun apabila komunitas daerah (Tuan tanah) dapat mendorong agar Pemerintah pusat dapat melakukan pembakuan nama-nama pulau di wilayah NTT.
Yang pasti, kata Hamza bukanlah hal mudah bagi individu, terlebih warga asing untuk memiliki ruang kewilayahan berbentuk pulau di wilayah teritorial Indonesia, kecuali Republik ini gagal dalam menjaga batas territorial Negara. Jikalaupun terburuk itu terjadi maka bukan sembaran pihak yang terlibat dalam proses penguasaan hingga kepemilikan pulau dimaksud.
Lanjutnya, berkaitan pulau yang belum dinamai atau kaitan dengan kepemilikan, hal ini harus dilakukan Kemendagri bersama dengan KKP dan badan informasi Geospasial negara yang berwenang untuk melakukan itu.
Menurut Hamza, untuk pribadi yang dapat menjual beli pulau itu bukan hal yang mudah. Persoalannya, hal ini sudah mendapat pembakuan soal kepemilikan. Tapi soal kepemilikan, saat ini dibatasi keadaan geografis. Jadi apabila masuk dalam geografis indonesia jelas dari lintang bujurnya tidak mudah untuk dilakukan penyerobotan.
"Kita tidak dapat mengingkari bahwa ada aturan-aturan diatas yang bersifat skala internasional seperti, kita pernah kehilangan beberapa pulau diluar. Tapi jika kita lihat dari batasnya beberapa pulau dari teritorinya di wilayah NTT, jadi kita masih jauh dari batas garis geografis. Saya kira kita gunakan berbagai regulasi, berarti masih aman pulau-pulau ini menjadi milik NTT.
Soal pembakuan penamaan, hal ini yang menjadi persoalan sekaligus menjadi ancaman, apabila pengakuan nama-nama pulau tersebut tidak segera dilakukan.
Ada dua kemungkinan, ada akusisi yang dapat dilakukan oleh kepemilikan lokal yang tidak terjangkau oleh regulasi. Karena masyarakat lokal merasa memiliki daripada Negara.
Jadi, kaum elit atau yang berkuasa bisa melakukan jangkauan pada level bawah. Karena negara tidak dapat menjangkau pada level tersebut.
Apabila kasus ini terbukti benar, maka hampir sama dengan kasus di Manggarai Barat. Artinya kasus di Mabar, Pemkab tidak punya kuasa, karena itu bukan otoritas mereka atau mengkalim lahan itu, karena itu otiritasnya dari pusat. Sementara komunitas lokal (tuan tanah) yang sudah lama menempati pulau tersebut dan mengelolanya, dapat mengklaim bahwa itu milik mereka.
Selain itu, bagian pemerintahan di pertanahan tidak dapat melakukan verifikasi, karena persoalan penamaan belum ada. Maka semuanya harus berawal dari sumber penamaan.
"Satu-satunya cara agar pulau-pulau ini dapat dipertahankan dan diakui, maka harus dinamai," tegasnya
Hal penting yang perlu diantisipasi bersama adalah komitmen Negara bersama warganya untuk tetap menjadikan segala sesuatu di batas teritori Indonesia adalah milik Indonesia, soal penguasaan dan pengelolaan oleh siapa dan bagaimana itu kita akan diskusikan soal distribusi fungsi yang lebih bermanfaat dan bertanggung jawab.
Pemerintah Daerah juga tidak boleh lepas tangan, meskipun itu diluar kuasa penuhnya tapi karena merupakan bagian dari Negara maka harus serius berkoordinasi dengan pemerintah pusat untuk menyegerakan dilaksanakan proses Pembakuan Nama Rupabumi dan dilanjutkan dengan penertiban kebijakan keagrariaan.
Sementara masyarakat lokal juga harus diadvokasi untuk menjaga kepemilikikan asset bangsa ini menjadi asset bersama, bahwa penguasaan dan pengelolaannya dapat dilakukan oleh komunitas adat namun harus disamakan persepsinya bahwa kita berada dalam teritorial NKRI sehingga ini menjadi hak kepemilikan Negara yang dititipkan kepada warganya.
Memang kasusistik yang terjadi selama ini adalah; masyarakat lokal dengan berbagai kepentingan dan iming-iming materi dan kekuasaan akhirnya harus berkuasa atas diri dan komunitasnya sebagai penguasa di pulau dimaksud lalu melakukan transaksi diluar batas kuasanya.
• Curhat Agnez Mo Sempat Gagal Go International, Difitnah hingga Merasa Sendiri, Ada Apa?
• Ketua DPRD dan Bupati Terpilih Ngada Hadiri Ritual Adat Ghoro Wae Nau Reza
• Pemprov NTT Kembali Refocusing Anggaran Penanganan Covid-19 NTT, Ini Kata Anggota DPRD NTT
• JADI Saksi Kunci Hubungan Terlarang, KEMATIAN Misterius Biarawati ini Terungkap Setelah 29 Tahun ?
"Kita masih bisa berharap banyak dari TNI/Polri, khususnya TNI yang bertugas menjaga batas dan kepemilikan asset vital Negara. Kita mendorong lebih cepat Pemerintah Provinsi, Pem Kab/Kota untuk melakukan tugas-tugasnya, mengkoordinasikan dan mengusulkan proses pembakuan nama rupabumi dengan kegiatan inventarisasi, pendataan, pengukuran dan selanjutnya kepada Pemerintah Pusat untuk disegerakan proses lanjutan," pungkasnya.(Lapora Reporter POS-KUPANG.COM, Ray Rebon)