"Tidak hanya dari kelompok residensial, pelaku usaha komersial dan UMKM juga melihat penggunaan PLTS atap dari sisi efisiensi kegiatan operasional mereka. Banyak dari mereka yang belum paham tentang rincian kebutuhan PLTS atap untuk bangunan mereka dan persentase penghematan yang bisa mereka dapatkan," katanya.
Lebih lanjut dikatakan, dengan berselancar di SolarHub Indonesia, calon pelanggan dapat menghitung rincian kebutuhan PLTS atap untuk bangunan mereka dan persentase penghematan listrik yang bisa mereka dapatkan.
"Tidak hanya itu, calon pelanggan juga dapat mengakumulasi besar anggaran yang mereka investasikan dari pemasangan PLTS atap di rumah mereka dengan aplikasi kalkulator canggih di platform SolarHub Indonesia," ujarnya.
Untuk diketahui, hasil survei IESR di Jawa Tengah menunjukkan potensi pasar hingga 9,6 persen untuk kelompok residensial, 9,8 persen untuk bisnis/komersial, dan 10,8 persen untuk UMKM.
Potensi pasar ini adalah mereka yang disebut sebagai early adopters dan early followers, kelompok yang sudah memiliki ketertarikan untuk menggunakan PLTS atap dan tidak terlalu sensitif pada harga sistem.
Yang mereka perlukan adalah informasi yang jelas dan lugas tentang regulasi, prosedur, manfaat yang bisa dirasakan, dan product knowledge yang lengkap - termasuk skema pembelian dan layanan purna jual.
Untuk kelompok residensial saja, potensi pasar ini setara dengan 533.000 rumah tangga. Bila masing-masing memasang minimal 2 kWp, akan tercapai kapasitas kumulatif terpasang hingga 1,06 GW - hanya untuk kelompok residensial saja.
Ketua Perkumpulan Pengguna Listrik Surya Atap, Bambang Sumaryo, merasakan selama enam tahun ini memasang PLTS atap, juga terdapat tantangan dalam pemasangan PLTS atap.
"Tantangan selanjutnya, masih kurang pengetahuan karena bersifat teknikal. Masih adanya keraguan dari pengelola jaringan untuk memasang. Hal ini berkaitan dengan sulitnya ketersediaan KWH exim, terutama di daerah. Ini akan membuat pengguna PLTS ke jaringan on grid sehingga lebih hemat," kata Bambang.
Selain itu, lanjutnya, peraturan tentang net metering 6,5 cukup menghambat seharusnya 1:1 saja. Sebaiknya rekening pembayaran minimum untuk pelanggan PLTS atap juga dihapuskan.
Namun ia mengakui pula bahwa telah terjadi perubahan signifikan terkait kesadaran masyarakat dalam memasang PLTS atap.
"Saat ini pasar PLTS atap semakin terbuka lebar karena sudah tersedia secara online dan juga terjadi penurunan harga," katanya.
Dikatakan, potensi ini juga menunjukkan bahwa target energi surya di Indonesia dapat dicapai dengan mudah melalui pemanfaatan PLTS atap saja.
"Tentu dengan adanya kombinasi kebijakan dan regulasi yang mendukung, serta tersedianya informasi yang lengkap dan merata tentang PLTS atap, prosedur pemasangan, penyedia produk dan layanan pemasangan, hingga pilihan skema pembiayaan," katanya.
Dikatakan, survei pasar IESR juga menunjukkan bahwa mayoritas masyarakat menginginkan periode balik modal kurang dari 5 tahun, yang sulit dicapai bila tarif net-metering yang dipakai masih 1:0,65 seperti aturan Permen ESDM No. 49/2018.
Selain itu, kejelasan prosedur pemasangan di wilayah yang berbeda juga perlu diseragamkan sehingga pengguna PLTS atap tidak perlu menunggu hingga berbulan-bulan untuk mendapatkan kWh exim (export-import).
"Pemerintah perlu memperhatikan aspirasi masyarakat seperti ini sehingga ketertarikan mereka dapat didorong menjadi adopsi dan praktik," ujarnya. (Laporan Reporter POS-KUPANG.COM, Oby Lewanmeru)