POS-KUPANG.COM | WAINGAPU - Dalam tiga tahun terakhir, pelanggan PLN yang menggunakan PLTS atap meningkat, dari 268 pada tahun 2017 menjadi lebih dari 2.500 pelanggan hingga Oktober 2020.
Kenaikan ini dipicu oleh berbagai faktor, adanya regulasi yang dikeluarkan oleh pemerintah ( Permen ESDM No. 49/2018 yang direvisi dengan Permen ESDM No. 13/2019 dan Permen ESDM No. 16/2019), semakin banyaknya perusahaan penyedia layanan pemasangan PLTS atap, dan juga meningkatnya ketertarikan masyarakat untuk menggunakan PLTS atap sebagai bagian dari gaya hidup.
Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) saat acara launching SolarHub yang berlangsung secara Zoom Conference, Rabu (15/12/2020).
Baca juga: Program Berobat Gratis Langsung Dieksekusi Tahun Pertama Kepemimpinan Sehati
Menurut Fabby, meski adanya kenaikan, namun masih belum cukup untuk mengejar target energi surya sesuai dengan Rencana Umum Energi Nasional (6,5 GW pada 2025), dan juga mencapai target Gerakan Nasional Sejuta Surya Atap yaitu 1 GW kumulatif PLTS atap pada 2020.
Di luar mandatory penggunaan PLTS atap pada bangunan pemerintah, keterlibatan sektor residensial, bisnis/komersial, industri, dan UMKM memegang peran penting dan dominan untuk mempercepat laju pemanfaatan PLTS atap di Indonesia.
Baca juga: Kolonel Widi Meninggal Akibat Covid
"Persepsi kelompok masyarakat serta pelaku usaha di sektor bisnis dan UMKM terhadap PLTS atap sebenarnya sangat positif, mereka juga tertarik untuk menggunakannya. Survei pasar kami di Jabodetabek menunjukkan 7 dari 10 orang pemilik rumah tertarik dengan PLTS atap, namun hanya 8% yang merasa ini relevan karena masih belum paham dengan teknologi, harganya yang masih dianggap mahal, dan masih memiliki banyak pertanyaan terkait produk dan manfaat penghematan listrik yang didapat. Di Jawa Tengah juga sama, kelompok residensial masih memiliki keraguan terhadap kualitas produk, termasuk harganya," kata Fabby Tumiwa.
Dijelaskan, kebimbangan para pelanggan untuk memasang PLTS atap ini dilatari oleh minimnya informasi yang terpercaya dan rendahnya sosialisasi aturan mengenai penggunaan PLTS atap.
Selain itu, jelasnya, informasi mengenai prosedur pemasangan PLTS atap tersambung jaringan (on-grid), manfaat yang bisa dirasakan pengguna, hingga di mana mereka bisa membeli produknya pun masih terbatas dan masih terkonsentrasi di kota-kota besar di Pulau Jawa.
"Dari 2.566 pelanggan PLN yang menggunakan PLTS atap, lebih dari 2.300 berada di Jakarta, Jawa Barat, Banten, Jawa Tengah, dan Jawa Timur. Umumnya mereka telah terpapar informasi kebijakan PLTS atap dari berbagai kegiatan yang diselenggarakan oleh instansi pemerintah pusat, melihat iklan di media massa dan media sosial, dan terhubung dengan penyedia jasa pemasangan PLTS atap yang jumlahnya cukup banyak di Jabodetabek," katanya.
Manajer Program Akses Berkelanjutan IESR, Marlistya Citraningrum, mengatakan, ketimpangan lokasi ini berpengaruh pada tingkat adopsi PLTS atap.
"Mereka yang tinggal di kota besar cenderung lebih diuntungkan karena ketertarikan mereka pada PLTS atap langsung terjawab dengan ketersediaan informasi yang cukup lengkap dan mereka juga terbantu dengan kantor regional PLN yang lebih paham dan cepat tanggap pada pengajuan pemasangan PLTS atap tersambung jaringan. Banyak perusahaan penyedia jasa pemasangan PLTS atap berlokasi di Jakarta atau Tangerang, yang juga mempermudah calon pengguna untuk mencari informasi yang lebih rinci terkait desain, manfaat penghematan, hingga layanan purna jual," kata Marlistya.
Untuk menjawab tantangan kesenjangan akses informasi inilah, menurut Marlistya, IESR membangun sebuah portal daring (online) SolarHub Indonesia (solarhub.id) yang bertujuan untuk memberikan informasi seputar energi surya bagi calon pengguna PLTS atap dan menghubungkan mereka dengan perusahaan penyedia produk dan pemasangan PLTS atap.
Sementara itu, VP Distribution and Residential ATW Solar, Chairiman mengatakan, saat ini banyak pelanggan yang sudah memasang, tapi kurang bernarasi, sehingga dengan adanya SolatHub Indonesia ini dapat menyediakan informasi kepada masyarakat luas.
"Jadi dengan adanya SolarHub Indonesia ini, kita bisa menyediakan informasi yang benar kepada masyarakat luas," kata Chairiman.
Dikatakan, penghematan biaya listrik merupakan salah satu faktor dominan yang disebutkan responden survei pasar IESR di Jabodetabek, Surabaya, 7 kota di Jawa Tengah, dan 3 kota di Bali.
"Tidak hanya dari kelompok residensial, pelaku usaha komersial dan UMKM juga melihat penggunaan PLTS atap dari sisi efisiensi kegiatan operasional mereka. Banyak dari mereka yang belum paham tentang rincian kebutuhan PLTS atap untuk bangunan mereka dan persentase penghematan yang bisa mereka dapatkan," katanya.
Lebih lanjut dikatakan, dengan berselancar di SolarHub Indonesia, calon pelanggan dapat menghitung rincian kebutuhan PLTS atap untuk bangunan mereka dan persentase penghematan listrik yang bisa mereka dapatkan.
"Tidak hanya itu, calon pelanggan juga dapat mengakumulasi besar anggaran yang mereka investasikan dari pemasangan PLTS atap di rumah mereka dengan aplikasi kalkulator canggih di platform SolarHub Indonesia," ujarnya.
Untuk diketahui, hasil survei IESR di Jawa Tengah menunjukkan potensi pasar hingga 9,6 persen untuk kelompok residensial, 9,8 persen untuk bisnis/komersial, dan 10,8 persen untuk UMKM.
Potensi pasar ini adalah mereka yang disebut sebagai early adopters dan early followers, kelompok yang sudah memiliki ketertarikan untuk menggunakan PLTS atap dan tidak terlalu sensitif pada harga sistem.
Yang mereka perlukan adalah informasi yang jelas dan lugas tentang regulasi, prosedur, manfaat yang bisa dirasakan, dan product knowledge yang lengkap - termasuk skema pembelian dan layanan purna jual.
Untuk kelompok residensial saja, potensi pasar ini setara dengan 533.000 rumah tangga. Bila masing-masing memasang minimal 2 kWp, akan tercapai kapasitas kumulatif terpasang hingga 1,06 GW - hanya untuk kelompok residensial saja.
Ketua Perkumpulan Pengguna Listrik Surya Atap, Bambang Sumaryo, merasakan selama enam tahun ini memasang PLTS atap, juga terdapat tantangan dalam pemasangan PLTS atap.
"Tantangan selanjutnya, masih kurang pengetahuan karena bersifat teknikal. Masih adanya keraguan dari pengelola jaringan untuk memasang. Hal ini berkaitan dengan sulitnya ketersediaan KWH exim, terutama di daerah. Ini akan membuat pengguna PLTS ke jaringan on grid sehingga lebih hemat," kata Bambang.
Selain itu, lanjutnya, peraturan tentang net metering 6,5 cukup menghambat seharusnya 1:1 saja. Sebaiknya rekening pembayaran minimum untuk pelanggan PLTS atap juga dihapuskan.
Namun ia mengakui pula bahwa telah terjadi perubahan signifikan terkait kesadaran masyarakat dalam memasang PLTS atap.
"Saat ini pasar PLTS atap semakin terbuka lebar karena sudah tersedia secara online dan juga terjadi penurunan harga," katanya.
Dikatakan, potensi ini juga menunjukkan bahwa target energi surya di Indonesia dapat dicapai dengan mudah melalui pemanfaatan PLTS atap saja.
"Tentu dengan adanya kombinasi kebijakan dan regulasi yang mendukung, serta tersedianya informasi yang lengkap dan merata tentang PLTS atap, prosedur pemasangan, penyedia produk dan layanan pemasangan, hingga pilihan skema pembiayaan," katanya.
Dikatakan, survei pasar IESR juga menunjukkan bahwa mayoritas masyarakat menginginkan periode balik modal kurang dari 5 tahun, yang sulit dicapai bila tarif net-metering yang dipakai masih 1:0,65 seperti aturan Permen ESDM No. 49/2018.
Selain itu, kejelasan prosedur pemasangan di wilayah yang berbeda juga perlu diseragamkan sehingga pengguna PLTS atap tidak perlu menunggu hingga berbulan-bulan untuk mendapatkan kWh exim (export-import).
"Pemerintah perlu memperhatikan aspirasi masyarakat seperti ini sehingga ketertarikan mereka dapat didorong menjadi adopsi dan praktik," ujarnya. (Laporan Reporter POS-KUPANG.COM, Oby Lewanmeru)