Tim itu diturunkan untuk menghitung nilai aset yang dikatakan telah dibangun Indonesia selama 24 tahun menjalankan wilayah Timor Leste.
Ini termasuk infrastruktur publik seperti jalan, gedung perkantoran, fasilitas listrik dan kabel telekomunikasi dan aset pribadi.
Baca juga: Lesty Kejora Alami Pelecehan Seksual, Rizky Billar Emosi Dengar Pengakuan Putri Endang Mulyana
Baca juga: Masih 42 Sampel Swab dari Sumba Timur Belum Diperiksa
Baca juga: Belajar di Sekolah Buka Awal 2021, Mendikbud Nadiem Peringatkan Soal Ini: Kantin Dilarang Beroperasi
Baca juga: INI Tiga Profil Kandidat Pengganti Jendral Idham Azis, Ramaikan Bursa Calon Kapolri, Prediksi IPW!
Menteri Luar Negeri Indonesia saat itu Hassan Wirajuda mengatakan masalah ini adalah masalah utama yang akan dinegosiasikan dengan Timor Leste.
Indonesia telah beberapa kali melakukan pembicaraan dengan Otoritas Transisi PBB di Timor Leste, tetapi sejauh ini belum ada hasil, katanya.
Tetapi beberapa di sini mengatakan klaim seperti itu tidak masuk akal.
Dengan alasan, bahwa Indonesia telah menciptakan lebih banyak kerusakan di Timor Leste, termasuk nyawa yang hilang dan masyarakatnya yang hancur, daripada memberikan aset kepada Timor Leste.
“Jika Indonesia harus membayar Belanda atas asetnya di negara tersebut, kita tidak akan punya banyak sisa sekarang,” kata Taufan, koordinator program Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI), sebuah LSM yang berbasis di Jakarta dengan catatan advokasi pelanggaran hak asasi manusia di Timor Timur.
“Ini upaya para politisi untuk menghindari pertanggungjawaban pertanyaan tentang pelanggaran HAM (di Timor Timur) dengan cara memutarbalikkan opini masyarakat ke isu yang kurang penting,” tandasnya. “Tuntutan seperti itu memalukan karena menunjukkan sikap kolonial di kalangan politisi Indonesia.”
Para aktivis mengatakan bahwa pembantaian tahun 1999 oleh milisi pro-Indonesia merugikan Timor Leste hingga empat juta dolar AS, menurut perkiraan media Indonesia.
Pembantaian itu terjadi pada hari-hari dan minggu-minggu setelah pemungutan suara kemerdekaan.
Sebagian besar prasarana dan fasilitas Timor Leste rusak atau menjadi tidak berguna setelah kekerasan terjadi.
Baca juga: Lesty Kejora Alami Pelecehan Seksual, Rizky Billar Emosi Dengar Pengakuan Putri Endang Mulyana
Baca juga: Masih 42 Sampel Swab dari Sumba Timur Belum Diperiksa
Biaya ini, kata para kritikus, bahkan tidak termasuk semua kerusakan dan ketertinggalan yang harus ditanggung Timor Leste selama 24 tahun terakhir di bawah pemerintahan Indonesia.
Meskipun Indonesia saat itu sedangn menggelar persidangan di Jakarta terkait dengan kekerasan 1999, pengamat internasional telah menyalahkan Indonesia karena kurangnya transparansi.
Aktivis HAM menginginkan pengadilan internasional sebagai alternatif jika pengadilan gagal menghadirkan keadilan.
Klaim Indonesia untuk meninggalkan aset di Timor Leste dapat dianggap oleh beberapa orang sebagai dengki.