Kisah Pemudi Asal Lembata: Berhenti Jadi Guru, Pulang Kampung dan Dirikan Rumah Belajar Waienga

Penulis: Ricardus Wawo
Editor: Kanis Jehola
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Potret kegiatan anak-anak di Rumah Belajar Waienga beberapa waktu lalu sebelum pandemi corona menyerang.

POS-KUPANG.COM | LEWOLEBA -Wanita bernama  Linda Lasar, 29 tahun, punya mimpi besar usai mendirikan Rumah Belajar di Desa Waienga, Kecamatan Lebatukan, Kabupaten Lembata. Dia ingin anak-anak di kampung halamannya itu tumbuh bersama alam, buku dan keceriaan masa kecil yang layak mereka dapatkan.

Resmi berdiri 11 Januari 2020 lalu, rumah belajar yang terletak di pekarangan rumah orangtua Linda ini sudah ramai didatangi anak-anak di kampung Waienga. Jumlahnya mencapai 50-an anak. Sebelum pandemi Covid-19, para bocah yang rata-rata duduk di bangku sekolah dasar itu rutin membaca buku dan mengikuti semua program yang ada di sana.

Ketua Pansus LKPJ Minta Pemda TTS Tutup RS Pratama Boking, Ini Alasannya

Rumah Belajar Waienga persis berada di samping rumah Linda, di Jalan Trans Lebatukan. Dibuat sedemikian rupa supaya anak-anak merasa betah belajar di sana.

Ada buku-buku yang tertata rapi di dalam lemari kayu, bangku dan meja dari balok-balok kayu, lukisan-lukisan yang dipajang pada dinding tembok rumah dan sebidang kebun kecil yang ditumbuhi subur sayur-sayuran segar.

Pilkada 2020 - Semua Tahapan Wajib Ikuti Protokol Kesehatan

Ditemui Pos Kupang, Minggu (30/5/2020), Linda Rumah Belajar Waienga didirikan bersama para anak muda Desa Waienga yang punya visi yang sama. Dia menyebut beberapa nama seperti Vicky Lein dan Fredy Lengari. Putri keempat dari pasangan Lorens Lewa Lasar dan Fin Tapun ini sebelumnya adalah seorang guru di sebuah sekolah swasta di Kota Maumere, Kabupaten Sikka.

Setelah enam tahun bekerja di Maumere, Linda pun memutuskan berhenti menjadi guru formal dan pulang kampung. "Orangtua sudah tua dan tinggal sendiri di rumah, jadi saya di kampung saja," ungkapnya.

Mimpinya merawat generasi muda di kampung halamannya tak pernah pupus. Dengan modal seadanya, didirikanlah sebuah Rumah Belajar Waienga. Dalam bahasa Lamaholot, rumah belajar ini dinamakan Moting Leramatan. Dalam bahasa setempat Moting artinya tempat berkumpul, bersantai, dan berdiskusi sehabis kerja.

Sedangkan Leramatan adalah nama lama dari Desa Waienga. "Saya buat di samping rumah supaya ramai juga di rumah sini. Dulunya memang ramai, sekarang sepi dan mukai ramai lagi dengan anak-anak," ujar Linda.

Setiap akhir pekan, Linda dan relawan mengundang para aktivis lingkungan, apoteker, fotografer, dokter, dan kalangan profesional lainnya untuk berbagi ilmu bersama anak-anak. Linda ingin anak-anak Waienga bermain dan belajar dengan apa yang mereka sukai.

Selain itu, di Rumah Belajar Waienga, anak-anak juga belajar berkebun. Ada tanaman sayur-sayuran seperti mentimun, kacang, terong, tomat, sawi, dan tanaman hortikulturan lainnya. "Sayur-sayuran ini lebih kepada dapur hidup dan juga tanaman obat-obatan," imbuhnya.

Selain anak-anak, Linda juga sebenarnya ingin memberdayakan orang muda di Desa Waienga. Bagi dia, banyak anak muda potensial di desanya. Mereka punya jiwa seni yang luar biasa tetapi tidak diberdayakan secara baik oleh pemerintah desa. Rumah Belajar Waienga adalah juga wadah bagi anak muda menyalurkan bakat mereka.

"Jasa anak muda Desa Waienga ini biasa dimanfaatkan pemerintah desa tetangga, tapi mereka tidak diberdayakan di Waienga," jelasnya.

Didirikannya Rumah Belajar Waienga ini, tambahnya, juga bagian dari bentuk perlawanan anak muda akan ketidakpuasan terhadap pemerintah desa yang belum memanfaatkan potensi mereka.

Beberapa waktu lalu, Wakil Bupati Lembata Thomas Ola Langoday mengunjungi rumah belajar itu dan mendonasikan sejumlah buku anak-anak.

Linda tak berminat bekerja di kota lagi. Dia ingin berbakti sepenuhnya bagi perkembangan anak-anak Desa Waienga melalui Rumah Belajar Waienga Moting Leramatan. "Anak-anak harus punya mimpi di sini dan mereka harus tumbuh dari tempat ini," pungkasnya. (Laporan Reporter POS-KUPANG.COM, Ricko Wawo)

Berita Terkini