“Jika seorang wanita tidur meninggalkan tempat tidur suaminya (yaitu tidak menemani suaminya) maka malaikat melaknatnya hingga pagi hari.” (HR Muslim no 1436)
Dalam riwayat yang lain حَتَّى تَرْجِعَ “malaikat melaknatnya hingga ia kembali (kepada suaminya).”
Ada beberapa perkara yang harus diperhatikan berkaitan dengan hadits ini :
Pertama : Maksud dari hadits ini adalah wanita terlaknat jika ia menolak tanpa udzur syarí, bukan semerta-merta menolak langsung dilaknat oleh para malaikat. Diantara udzur syarí :
Wanita dalam kondisi sakit, jika berhubungan intim dengan suaminya maka akan ia kesakitan atau semakin parah sakitnya
Wanita dalam kondisi haid, sehingga tidak boleh digauli di bagian kemaluannya. Akan tetapi haidnya sang wanita bukan udzur untuk melayani suami dari sisi yang lain, karena sang suami berhak untuk menikmati tubuh istrinya pada bagian yang lain.
Wanita dalam kondisi sangat sumpek atau stress yang dimana ia sama sekali tidak bisa melayani suaminya dalam kondisi demikian. Yang hal ini bisa saja memberikan kemudhorotan kepadanya jika dipaksa untuk berhubungan intim.
Jika ternyata sang suami tidak menunaikan kewajibannya, seperti tidak menafkahi istrinya (sebagaimana telah lalu pada fatwa no.
1) Jika suaminya ternyata tidak sholat atau terjerumus dalam dosa-dosa besar, maka boleh bagi sang wanita untuk mendiamkan suaminya, sebagaimana Nabi ﷺ memerintahkan istri Ka’ab bin Malik radhiallahu ‘anhu dan juga istri-istri kedua sahabat yang lain untuk menghajr (meninggalkan) bertiga tatkala Ka’ab bin Malik dan kedua sabahabtnya bersalah karena tidak ikut serta dalam perang Tabuk.
Ibnu Taimiyyah berkata :وَتَهْجُرُ الْمَرْأَةُ زَوْجَهَا فِي الْمَضْجَعِ لِحَقِّ اللَّهِ بِدَلِيلِ قِصَّةِ الَّذِينَ خُلِّفُوا وَيَنْبَغِي أَنْ تَمْلِكَ النَّفَقَةَ فِي هَذِهِ الْحَالِ أَنَّ الْمَنْعَ مِنْهُ كَمَا لَوْ امْتَنَعَ عَنْ أَدَاءِ الصَّدَاقِ
“Dan seorang wanita memboikot (mendiamkan) suaminya di tempat tidur karena hak Allah, dengan dalil kisah 3 orang yang tidak ikut perang Tabuk. Dan tetap saja seharusnya sang wanita mendapatkan nafkah (dari suaminya) dalam kondisi demikian karena kesalahan dari sang suami, sebagaimana jika sang suami tidak mau menyerahkan mahar” (Al-Fataawa al-Kubro 5/481 dan Al-Mustadrok ála Majmuu’ al-Fataawa 4/221)
Jika ternyata sang suami yang terlebih dahulu menghajr (memboikot) sang istri, setelah itu ia mengajak sang istri untuk berhubungan intim namun sang istri menolak.Ibnu Hajar berkata :وَلَا يَتَّجِهُ عَلَيْهَا اللَّوْمُ إِلَّا إِذَا بَدَأَتْ هِيَ بِالْهَجْرِ فَغَضِبَ هُوَ لِذَلِكَ أَوْ هَجَرَهَا وَهِيَ ظَالِمَةٌ فَلَمْ تَسْتَنْصِلْ مِنْ ذَنْبِهَا وَهَجَرَتْهُ أَمَّا لَوْ بَدَا هُوَ بِهَجْرِهَا ظَالِمًا لَهَا فَلَا
“Dan tidaklah celaan (laknat malaikat) tertuju kepada sang wanita kecuali jika sang wanitalah yang memulai mendiamkan sang suami sehingga suaminyapun marah karena itu. Atau kecuali jika sang suami menghajr (mendiamkan) sang istri karena istrinya yang dzalim/bersalah dan ia tidak berhenti dari kesalahannya tersebut lalu sang wanita mendiamkan suaminya.Adapun jika sang suami yang mulai mendiamkan sang istri padahal sang suami yang salah maka sang istri tidak tercela (tidak dilaknat malaikat)” (Fathul Baari 9/294)
Jika sang istri sedang menjalankan puasa Qodo’ terlebih lagi jika menjelang bulan Ramadhan berikutnya.
Adapun hanya sekedar alasan “lagi tidak berhasrat” maka ini bukanlah udzur syarí bagi sang wanita. Jika sang suami memintanya untuk berhubungan intim maka wajib baginya untuk mentaatinya. Tentunya suami yang baik berusaha untuk menimbulkan hasrat sang istri sebelum menjimaknya.
Kedua : Kewajiban untuk memenuhi ajakan berhubungan intim bukan hanya berlaku kepada istri, akan tetapi berlaku juga kepada suami. Ibnu Taimiyyah berkata ;
وَيَجِبُ عَلَى الزَّوْجِ وَطْءُ امْرَأَتِهِ بِقَدْرِ كِفَايَتِهَا مَا لَمْ يُنْهِكْ بَدَنَهُ أَوْ تَشْغَلْهُ عَنْ مَعِيشَتِهِ
“Dan wajib bagi seorang suami untuk menggauli istrinya sesuai kadar yang mencukupinya selama sang suami tidak memayahkan tubuhnya dan tidak menyibukan dia dari mencari nafkahnya (Al-Fataawaa al-Kubro 5/481)
Beliau juga menjelaskan bahwa ukuran kadar kapan seorang suami harus menjimak istrinya kembali kepada úrf (tradisi/kebiasaan yang berlaku di masyarakat), dan ini sama halnya dengan kadar nafkah. Hal ini berdasarkan firman Allah
وَلَهُنَّ مِثْلُ الَّذِي عَلَيْهِنَّ بِالْمَعْرُوفِ