Menurut temuan lembaga itu, sebanyak 5,9 persen pekerja mengatakan, mereka tidak mendapatkan libur setidaknya sehari dalam sepekan.
Hal ini merupakan sebuah pelanggaran dalam kontrak kerja standar di Hong Kong.
Sementara, lebih dari 20 persen pekerja juga mengatakan, mereka juga tak mendapatkan penuh jatah cuti 12 hari dalam setahun.
Studi ini menemukan rata-rata gaji pembantu rumah tangga di Hong Kong adalah 4.277 dollar Hong Kong atau sekitar Rp 7,6 juta sebulan pada 2017.
Menurut undang-undang, upah minimun pembantu rumah tangga saat itu untuk pekerja asing adalah 4.310 dollar Hong Kong atau sekitar Rp 7,7 juta per bulan.
Kini, kisaran gaji pembantu rumah tangga di kota itu adalah 4.410 dolar Hong Kong atau Rp 7,9 juta sebulan.
Namun, sebanyak 8 persen responden mengaku mereka mendapatkan upah yang lebih rendah dari ketentuan. Dan, 6 persen lainnya mengatakan, mendapatkan gaji di atas upah minimum.
"Menjadi PRT adalah pekerjaan dengan skill rendah. Orang-orang dengan pendidikan dasar seharusnya sudah bisa menjalankan perintah dengan baik," kata Profesor Tong.
Tong menambahkan, upah yang amat rendah di Filipina bisa mendorong mereka yang berpendidikan lebih tinggi mencari pekerjaan di Hong Kong.
Para peneliti mendesak pemerintah untuk memberikan perlindungan lebih baik untuk hak-hak para PRT dan memastikan mereka mendapat hari libur sesuai dengan haknya.
• Live Streaming Liga Champions, Ajax Amsterdam vs Real Madrid Jam 03.00 Dinihari WIB
Eman Vilanueva, juru bicara Badan Koordinasi Migran Asia, mengatakan, jam kerja yang panjang berdampak buruk untuk kesehatan.
Villanueva mengatakan, lebih dari 120 pekerja migran meninggal dunia di Hong Kong pada 2016. Sebagian besar diakibatkan penyakit terkait tekanan pekerjaan seperti hipertensi.
• Ini Dahsyatnya Puasa Senin Kamis, Manfaatnya Bagi Wanita Sungguh Luar Biasa, Buktikan!
Selain itu, kondisi hidup yang buruk juga menjadi penyebab lain menurunnya kesehatan mereka. Banyak PRT yang terpaksa tidur di lantai dapur bahkan kamar mandi.
"Mereka tak memiliki privasi dan sebagian besar pekerja perempuan merasa tak nyaman dengan kondisi ini," Villanueva menegaskan.