Fakta ini merupakan hasil dari sebuah jajak pendapat yang dilakukan terhadap lebih dari 2.000 orang pembantu rumah tangga di kota itu.
Jajak pendapat ini digelar Pusat Riset Migrasi dan Perpindahan Universitas China pda 2017.
Jajak pendapat ini dilakukan untuk mempelajari kondisi sehari-hari lebih dari 380.000 pembantu rumah tangga yang berasal dari luar negeri.
Formulir berisi pertanyaan dibagikan pada tiap hari Minggu di beberapa lokasi tempat para pembantu rumah tangga itu berkumpul.
Dan, lembaga itu kemudian menerima lebih dari 2.000 jawaban dari para pembantu rumah tangga asal Filipina dan Indonesia.
Salah seorang peneliti, Profesor Raees Begum Baig mengatakan, kondisi kerja yang mengharuskan para PRT ini tinggal di kediaman pemberi kerja menciptakan kesulitan untuk mendefinisikan jam kerja.
"Sulit mendefinisikan mana yang pekerjaan formal dan mana yang bukan," ujar Profesor Raees.
Dari 2.017 responden, sebanyak 61,7 persen menjawab mereka bekerja 13-16 jam sehari.
Sebanyak 8,9 persen mengatakan, mereka bekerja lebih dari 16 jam dan sisanya sebanyak 2,5 jam mengaku bekerja 9-12 jam sehari
Pada 2017, para perempuan pekerja di Hong Kong rata-rata menghabiskan waktu 43,3 jam sepekan di tempat kerja.
Angka ini jauh lebih rendah dari jam kerja yang dialami para pembantu rumah tangga ini.
Meski jam kerja mereka terbilang tinggi, hanya empat persen PRT yang mengaku mendapat kekerasan fisik.
Namun, Profesor Roger Chung Yat-nork, yang juga terlibat dalam studi ini, yakin angka sesungguhnya jauh lebih tinggi.
"Beberapa orang menganggap pertanyaan ini terlalu sensitif. Untuk amannya, kami katakan beberapa orang menahan diri untuk mengatakan hal sebenarnya," ujar Profesor Roger.
Peneliti lain, Profesor Tong Yuying menambahkan, para pekerja yang mendapatkan kekerasan fisik kemungkinan besar tidak bisa meninggalkan rumah majikannya di saat libur.