Namun walau ada pengalaman traumatik itu, Cornelis menegaskan bahwa pemisahan mutlak intelektual dan kekuasaan sama sekali itu tidaklah mungkin.
"Intelektual harus menyadari beragam kekuatan politik yang berkontribusi dalam membentuk kurikulum dan penelitian, penilaian kualitas akademik, dan relasinya dengan negara," kata Mas Connie, sapaan akrabnya.
Baginya, ujian terbesar seorang intelektual bukanlah pada kemampuan dan kesiapannya untuk dengan lantang memaki kekuasaan dan para pelakunya.
Tetapi justru ketika ia bisa bersahabat dan menjadi bagian dari kekuasaan sembari tetap mampu menjaga kewarasan dan karakter dasar intelektual.
• Keluarga Abdul Kadir Lakukan Syukuran atas Pengukuhan Professor Cornelis Lay
• Kondisi Cornelis Lay semakin Membaik di Singapura
Yakni berpikir bebas dan bertindak bijak bagi kepentingan kemanusiaan.
Cornelis menegaskan kembali, jalan ketiga yang ditawarkan adalah sebagai berikut.
"Masuk dan keluar kekuasaan secara fleksibel dengan menempatkan kemanusiaan sebagai motif pokok. Ini memang menuntut kematangan, kepekaan dan kapasitas dalam menilai politik. Sesuatu yang tidak bisa dihasilkan secara instan," ujar pria yang dikenal sebagai aktivis GMNI itu.
Dengan itu, maka tujuan-tujuan mulia yang melekat dalam kelahiran dan menjadi fondasi dari ilmu pengetahuan dan tujuan yang melekat dalam filsafat kekuasaan, bertumpu pada kehendak yang sama.
Yakni cita-cita pembebasan manusia dan pemuliaan kemanusiaan.
"Kesamaan kehendak inilah yang menjadi titik konvergensi di antara keduanya. Dengannya, sekalipun tampak hidup dalam dunia yang terpisah, pada dasarnya keduanya saling menghidupi: intelektual pasti hidup dalam kekuasaan, dan kekuasaan membutuhkan ilmu pengetahuan," kata dia.
Pidato Cornelis Lay pun mendapat sambutan luar biasa.
Cornelis Lay dilahirkan di Kupang, Nusa Tenggara Timur, 6 September 1959.
• Siapa Cornelis Lay, Penulis Pidato Presiden Jokowi?
• Keluarga Mahasiswa Katolik St.Thomas Aquinas FKM Undana Tanam Kelor di Maubesi TTU
Ia Meraih gelar sarjana (1987) dari Jurusan Ilmu Pemerintahan (sekarang Jurusan Politik dan Pemerintahan/JPP), Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada (Fisipol UGM), Yogyakarta.
Ia meraih gelar Master of Arts (1992) dari St. Mary's University, Halifax, Kanada.
Cornelis menjadi Staf pengajar di JPP (sejak 1987) dan peneliti pada Pusat Antar Universitas (PAU) Studi Sosial (1987- akhir tahun 1990-an).