Posisi yang dikemas dalam jargon seumpama netral, profesional, dan sederet pendakuan lainnya.
Ironisnya, bahkan setelah terlibat jauh menjadi instrumen teknokratis dari kekuasaan lewat berbagai proyek kajian teknis yang dimintakan oleh kekuasaan, sejumlah intelektual masih gegabah mendapuk diri sebagai netral dan profesional dan terus bersembunyi di balik argumen kabur bahwa kekuasaan adalah dunia menjijikkan yang tidak pantas dimasuki.
Hal ini, mengisolasi kaum intelektual dari kekuasaan dan menempatkannya dalam posisi rapuh, mudah dimanipulasi kekuasaan, atau mengikuti alur pemikiran Gramsci, mudah dihegemoni.
Secara objektif, persepsi yang sama mengakibatkan mayoritas intelektual gagal memahami fungsinya sebagai agen dalam memproduksi pengetahuan yang di dalamnya sekaligus merupakan proses produksi kekuasaan.
Ipsa scientia potestas est., knowledge itself is power, pengetahuan adalah kekuasaan, adagium yang pertama kali dideklarasikan Bacon filsuf, ilmuwan, dan politisi berkebangsaan Inggris, menggarisbawahi sifat dari kedekatan dan relasi simbiotik antara pengetahuan dan kekuasaan.
Di tengah-tengahnya berdiri kaum intelektual dan institusi-institusi pendidikan seperti UGM sebagai mata rantai utama yang menghubungkan keduanya, seperti tersirat dalam postulat filsafat Descartes, filsuf dan matematikawan Perancis: Aku berpikir maka Aku ada. cogito, ergo sum.
Hadirin yang saya hormati,
Bagi Indonesia, konstruksi biner tersebut punya akar empiris cukup panjang. Persentuhan dan proses awal pembentukan kelas intelektual Indonesia melalui sistem pendidikan kolonial sebagai bagian Politik Etis menggarisbawahi sifat instrumentalistis ilmu pengetahuan di hadapan kekuasaan.
Di fase formatif pembentukan negara bangsa, peran intelektual dan ilmu pengetahuan bahkan menyatu dengan gerak kekuasaan, menjadi instrumen sekaligus pelaku aktif proses nation and character building.
Sudjatmoko melabeli mereka sebagai activists-intelectual yang mendapatkan penerimaan luas karena kesediaannya mengambil risiko menghadapi kekuasaan kolonial.
Presiden pertama Republik Indonesia, Bung Karno, memberikan penekanan bentuk ideal interaksi ilmu pengetahuan dan kekuasaan yang menandai periode formatif ini.
Dalam pidato penerimaan gelar Doctor Honoris Causa Ilmu Hukum, yang berjudul Ilmu dan Amal (1986), enam puluh delapan tahun lalu, 19 September 1951, di ruang yang kita tempati hari ini, Balai Senat Universitas Gadjah Mada, Bung Karno berujar, Ilmu pengetahuan hanyalah berharga penuh jika ia dipergunakan untuk mengabdi kepada praktek hidupnya manusia, atau praktek hidupnya bangsa, atau praktek hidupnya kemanusiaan.
Itulah sebabnya saya selalu mencoba menghubungkan ilmu dengan amal menghubungkan pengetahuan dengan perbuatan, sehingga pengetahuan ialah untuk perbuatan dan perbuatan dipimpin oleh pengetahuan.
Bahwa pengetahuan, bahwa ilmu, bahwa kennis, bahwa wetenschap, bahwa teori adalah tiada guna, tiada wujud, doelloos, jika tidak dipergunakan untuk mengabdi kepada prakteknya hidup.
Buatlah ilmu berdwitunggal dengan amal!.
Hanya saja pengalaman romantik di atas berusia sangat singkat.
Pengalaman interaksi antara kekuasaan, kaum intelektual, dan ilmu pengetahuan, terutama ilmu sosial, selama 32 tahun rezim otoritarian Orde Baru (Orba) membangkitkan kembali pengalaman traumatik era kolonial yang menggiring tuntutan ke arah otonomi ilmu pengetahuan dan kaum intelektual dari kekuasaan semakin mengeras dan menjadi agenda politik ilmu pengetahuan.
Rekayasa dan pengendalian ilmu pengetahuan guna bisa berfungsi sebagai alat pembenaran pelaksanaan kekuasaan negara mengantar Hadiz dan Dhakidae pada kesimpulan bahwa tantangan pengembangan ilmu sosial pasca-Orba tidak sebatas pada persoalan melipatgandakan jumlah akademisi, tetapi justru pada penciptaan lingkungan politik, ekonomi, dan sosial yang memberikan otonomi bagi riset-riset ilmu sosial (Hadiz dan Dhakidae, 2005, hal. 26).
Ini sebanding dengan argumen Foucault dan Deleuze (1977) yang menekankan pentingnya mengubah rezim produksi kebenaran yang sifatnya politis, ekonomi, dan institusional sebagai tantangan pokok politik ilmu pengetahuan.
Dengannya, otonomi yang dibayangkan bukan saja bermakna terbebas dari belenggu dominasi kekuasaan negara dan perangkat-perangkat institusional yang bekerja dalam masyarakat, tetapi sekaligus dari tirani pasar.
Poin kedua menjadi krusial dalam perkembangan Indonesia kontemporer seiring dengan semakin meluasnya penggunaan secara manipulatif argumen-argumen ilmu pengetahuan sebagai instrumen konsolidasi identitas: suku dan agama.
Akibatnya, ilmu pengetahuan dan intelektual gagal berfungsi sebagai fasilitas dialog yang menjembatani perbedaan antaridentitas guna menemukan basis dan nilai yang merupakan alasan fundamental hadirnya kekuasaan dan ilmu pengetahuan, yaitu kemanusiaan.
Sebaliknya, ilmu pengetahuan dan intelektual justru semakin mengokohkan pembilahan menurut garis-garis identitas.
Akibat lebih lanjut, secara politik, intelektual dengan segala pengetahuannya, gagal menghasilkan voice, kecuali kebisingan yang semakin diperburuk oleh kealpaan saling mendengar (Lay, 2016) sebagai fondasi sebuah masyarakat yang baik.
Intelektual, dan pengetahuan yang dimilikinya, menghasilkan suara, berupa kata-kata dan jargon yang dangkal, gagal mencapai derajat keadaban yang dapat diletakkan dalam suatu dialektika berbasis ilmu pengetahuan.
Kata-kata yang diproduksi semakin memperuncing pembilahan berbasis identitas ini dan mengalami konsolidasi secara masif dan cepat dengan fasilitasi teknologi sebagaimana didemonstrasikan melalui media sosial akhir-akhir ini.
Kecenderungan ini membuat ilmu sosial dan ilmu politik bukan saja semakin menjauhi fungsi kemanusiaannya guna membebaskan masyarakat dari penjara praduga indentitas suku, agama dan gender yang membelenggu masyarakat pada fase kegelapan sejumlah peradaban di masa lalu.
Akan tetapi, juga mengonsolidasi dan menjustifikasi kemunculan post-truth sebagai corak baru masyarakat.
Sementara poin terakhir, yakni tirani pasar, bahkan menjadi tantangan global yang sedang dihadapkan pada proses komersialisasi ilmu pengetahuan dan institusi yang memproduksi ilmu pengetahuan yang sedang berlangsung sedahsyat-dahsyatnya (Washburn, 2005).
Sebuah persoalan komersialisasi pendidikan.yang menjadi tema percakapan sosial yang semakin membesar dari waktu ke waktu.
Para hadirin yang terhormat,
Tuntutan otonomi di atas berangkat dari kombinasi pemahaman mengenai fungsi atau peran ideal kaum intelektual, dilema-dilema yang dihadapi berikut bagaimana ilmu pengetahuan didefinisikan dan diperlakukan oleh kekuasaan, termasuk oleh institusi-institusi sosial dan pasar.
Pemahaman yang bisa dilacak dari aneka kajian yang memusatkan perhatian pada intelektual sebagai aktor (Sparingga, 1997; Dhakidae, 2003, 2015; Latif, 2003; Kusman, 2018) dan pemahaman yang memusatkan perhatian pada politik ilmu pengetahuan (Kleden, 1987; Hadiz dan Dhakidae, 2005).
Benda (1999) misalnya, menggarisbawahi peran intelektual sebagai pencerah masyarakat yang memiliki sifat altruistik dalam memburu kebenaran dan mengupayakan kemaslahatan bersama, serta keteguhan pada prinsip-prinsip kemanusiaan dan keadilan. Kerja intelektual, dengannya, adalah kerja mental.
Dan dosa terbesar kaum intelektual tidak diperhitungkan berdasarkan jumlah kesalahan yang dibuat, tetapi oleh kebohongan dan ketakutan dalam mengungkapkan kebenaran yang diketahuinya.
Seperti diindikasikan di atas, secara empiris, kerasnya tuntutan otonomi merupakan respons atas pengalaman relasi kekuasaan dan intelektual selama Orba yang bersifat instrumentalistis.
Orba berkepentingan memengaruhi dan bahkan, mendikte agenda-agenda ilmu pengetahuan, terutama ilmu-ilmu sosial, guna mendukung agenda pembangunan maupun ideologi negara.
Peran sebagai alat rekayasa di aneka sektor publik.pendidikan, kebudayaan, hukum serta moral ini, dalam pandangan Kleden (1987, hal. 6.7), menjadi lahan subur bagi berkembangnya budaya ilmu pengetahuan yang tidak reflektif dan ateoretis:
budaya yang tidak peduli dengan pengembangan teori sebagai bagian dari tanggung jawab intelektual dalam memproduksi pengetahuan global bagi kepentingan kemanusiaan; budaya yang cenderung birokratis.
Sayangnya, pergantian rezim politik menyusul tumbangnya Orba tidak dengan sendirinya melahirkan budaya ilmu pengetahuan baru untuk kerja-kerja intelektual menemukan lingkungan atau ekosistem sosial, ekonomi dan politik yang kondusif.
Dalam realitasnya, posisi instrumentalistis ilmu pengetahuan dan intelektual tidak mengalami perubahan berarti; bahkan mengalami pendangkalan sangat serius, yakni menjadi pelayan dari hasrat birokratisasi yang semakin tidak terkendali.
Kita sama-sama menyaksikan dengan putus asa.bahkan menjadi bagian darinya.bagaimana proses riset di perguruan tinggi dan pusat-pusat riset berakhir dengan memproduksi bukti-bukti administrasi yang dari waktu ke waktu bukan saja semakin menghina akal sehat, tetapi sekaligus berangkat dari praduga bahwa kaum intelektual pertama-tama adalah makhluk licik yang tidak bisa dipercayai yang menihilkan kejujuran sebagai fondasi etik paling utama yang melandasi kerja intelektual.
Kita sama-sama menyaksikan dengan sedih betapa kaum intelektual justru harus menghabiskan lebih banyak waktu dan energi guna melayani kekakuan rezim administratif ketimbang melakukan penelitian dalam kerangka produksi ilmu pengetahuan dan pemecahan masalah-masalah kemanusiaan.
Di tengah-tengah proses birokratisasi yang sangat melelahkan, ajaibnya, volume keterlibatan kaum intelektual Indonesia dalam memproduksi ilmu pengetahuan secara global semakin membesar akhir-akhir ini.
Meskipun demikian, posisi tradisional kaum intelektual Indonesia, terutama ilmuwan sosial, tetap tunduk pada logika klasik pembagian kerja global yakni menjadi konsumen dan sekaligus berfungsi terutama sebagai penyedia scientific evidence sebagai bahan mentah dalam proses produksi ilmu pengetahuan yang tetap dihegemoni oleh pusat-pusat produksi ilmu pengetahuan di negara-negara maju.
Hadirin yang saya muliakan,
Saya harus menggarisbawahi bahwa fenomena birokratisasi bukanlah monopoli dunia ilmu pengetahuan Indonesia.
Ia menjadi tantangan di banyak negara sebagaimana digambarkan Evans dalam bukunya Killing Thinking: The Death of the Universities (2004) melalui pengalaman di Inggris ketika birokratisasi menjadi monster yang membunuh daya kreativitas intelektual.
Dan justru karena wataknya yang semakin mengglobal, persoalan ini harus menjadi kepedulian kita bersama.
Pengabaian terhadapnya, bukan saja dapat membuat ilmu pengetahuan rawan terhadap manipulasi dan dengan mudah dijadikan alat pembenar dari tindakan represi dan aneka penyimpangan kekuasaan lainnya, tetapi sekaligus, dan terutama, bisa menjadi pembunuh kreativitas sebagai energi pokok bagi pembangunan peradaban dan kemanusiaan jangka panjang.
Terbunuhnya kreativitas kaum intelektual perlu mendapatkan perhatian khusus terutama di kalangan ilmuwan politik dan pemerintahan.
Saya melihat ada perkembangan yang bersifat paradoksal.
Di satu sisi, kita menyaksikan secara kuantitas tingkat kepadatan intelektual yang menggeluti ilmu-ilmu sosial, terutama politik dan pemerintahan semakin tinggi.
Label intelektual sering dihadirkan dengan penyebutan beragam seumpama ahli, pengamat, dan seterusnya juga semakin mudah disematkan pada sembarang orang.
Di sisi lain, dari sudut kualitas, kita menyaksikan berlangsungnya proses pendangkalan produksi ilmu pengetahuan dan metode pemecahan masalah-masalah kemanusiaan.
Dari waktu ke waktu kita menyaksikan pengetahuan yang dihasilkan semakin monolitik.
Sesuatu yang, menurut saya, mengungkapkan kealpaan pertarungan ide, perspektif, apalagi paradigma dalam proses produksi ilmu pengetahuan sosial Indonesia kontemporer.
Kita mencatat, pada fase-fase awal dan tengah Orba, produksi ilmu sosial ditandai oleh lebarnya spektrum perdebatan sekalipun dengan keresahan yang sama, yakni seberapa luas dan dalam kekuasaan menyebar.
Jawaban atas keresahan besar ini melahirkan aneka label tentang Orba yang bersifat stereotyping mulai dari negara yang homogen hingga yang lebih plural, sebagaimana diistilahkan oleh McVey (1982) sebagai beamstenstaat hingga bureaucratic pluralism ala Emerson (1983), sekaligus menghasilkan aneka rekomendasi tindakan yang sekalipun harus dibayar dengan harga mahal cukup fungsional dalam mengontrol kekuasaan.
Kini, sebaliknya, kita menyaksikan bagaimana ilmu sosial seakan dibangun di atas satu perspektif tunggal.
Telah bertahun-tahun kita tenggelam dalam mereproduksi satu perspektif secara terus-menerus.
Governance sebagai tema sentral yang diturunkan dari perspektif neo liberal dengan segala ramifikasinya, misalnya, tanpa memberikan ruang refleksi yang cukup terhadapnya.
Padahal bertumpuk-tumpuk dokumen abstraksi dan rekomendasi yang sama telah diproduksi dengan akibat yang sangat terbatas bagi pemuliaan kemanusiaan dan pembangunan peradaban.
Demikian pula, dalam beberapa tahun terakhir, ketika politik elektoral menjadi corak baru politik Indonesia, kita menyaksikan pergeseran pendulum di mana energi intelektual dan ilmu pengetahuan hampir sepenuhnya terkuras guna melayani dan memahami isu ini.
Luar biasanya, kaum intelektual seakan tidak memiliki daya untuk keluar dari jebakan elektoral dan menempatkannya dalam kerangka mengontrol dan mengkritik kekuasaan.
Di Indonesia, kita menyaksikan dengan sedih betapa ilmu politik dan pemerintahan mengalami proses pengerdilan, seolah menjadi penjabaran tunggal dari (frasa) Pemilu dengan segala pernak-perniknya, setelah sebelumnya di-setali-tiga-uang-kan dengan governance dengan segala pernak-perniknya.
Pada saat bersamaan, fungsi klasik ilmu pengetahuan dan intelektual yang diwarisi dari pengalaman di era Orba tetap menghantui alam pikir intelektual Indonesia yang tergambar dari pemusatan energi secara berlebihan pada usaha mengontrol kekuasaan negara lewat kontrol atas pemerintah atau rezim.
Sebuah tema klasik yang menandai pergulatan ilmu pengetahuan di era otoritarian.
Padahal, seperti yang akan didiskusikan lebih lanjut, kekuasaan telah, sedang dan, bisa dipastikan, akan mengalami transformasi ke fase ketika negara bukan lagi menjadi satu-satunya lokus kekuasaan yang harus dikontrol.
Perkembangan ini sangat mencemaskan karena Indonesia telah melewati tahun ke-20 Reformasi.
Dalam rentang waktu antara 1998-2019 awal ini, kekuasaan telah mengalami transformasi berlapis-lapis.
Telah terjadi migrasi sekaligus pemajemukan lokus kekuasaan yang mengubah secara mendasar sumber, skala, pola relasi, dan watak hingga agensi serta institusi yang berproses di dalamnya.
Kekuasaan bermigrasi dari Jakarta sebagai ruang satu-satunya selama Orba ke lapis-lapis governance yang berbeda mengikuti logika desentralisasi yang menghadirkan multi-layers governance.
Kekuasaan bermigrasi dari ruang tradisional.pusat-pusat kekuasaan di tingkat lokal ke ruang baru seiring dengan terjadinya pemekaran wilayah secara masif (Lay, 2019).
Kekuasaan juga bergeser dari penguasaan hampir mutlak di tangan segelintir agensi (institusi dan aktor, seperti presiden dan sejumlah terbatas elit militer, birokrasi teknokrat) di masa lalu ke agensi dan arena baru yang semakin beragam.
Arena negara dan politik, misalnya birokrasi, partai politik, dan parlemen tidak lagi menjadi lokus yang memonopoli kekuasaan.
Kekuasaan menyebar ke masyarakat sipil (CSO dan kelompok-kelompok terorganisasi lainnya, seperti masyarakat adat, kelompok relawan, kelompok keagamaan), berikut aneka lembaga sampiran negara.
Institusi perantara, seperti partai dan pemilu, elit, kelas menengah, hingga kelompok yang termarjinalkan di masa lalu, kini ikut sebagai bagian dari pemilik kekuasaan.
Singkat cerita, selama ini telah, sedang, dan akan terus terjadi ramifikasi kekuasaan.
Lebih jauh, perkembangan teknologi informasi tampaknya akan menggiring transformasi kekuasaan memasuki tingkatan masa baru yang tidak terbayangkan sebelumnya.
Fase ketika kekuasaan nir-rupa, nir-bentuk, menjadi amorf dan cair.
Kita telah menyaksikan cukup banyak kasus sebagai prolog ke arah sana: sebuah video testimonial pendek yang menjadi viral bisa menjadi agenda setter dan sekaligus instrumen mobilisasi politik mahadahsyat yang merombak secara mendasar baik lanskap maupun konfigurasi kekuasaan.
Kisah Agni yang baru saja mengguncang UGM adalah salah satu ekspresi dari watak amorf dan cair kekuasaan yang mudah bermigrasi secara cepat tanpa bisa diperkirakan.
Sayangnya, transformasi ini tidak diikuti kesiapan dan kapasitas ilmu politik dan pemerintahan berikut intelektualnya untuk merespons secara memadai, apalagi menemukan jalan keluar dari dilema yang dihasilkan proses ini.
Ketiganya seakan menjadi true believer dari cara berpikir tradisional mengenai negara sebagai sesuatu yang omnipoten dan, karenanya, menjadi satu-satunya representasi kekuasaan yang harus dipelototi.
Rangkaian fenomena di atas mengantarkan saya pada kesimpulan awal bahwa ilmu politik dan pemerintahan kini sedang membeku di satu titik waktu dengan Orba sebagai simpul referensi utamanya.
Ilmu politik dan pemerintahan mengalami stagnasi dan secara pasti mulai tunduk pada hukum spiral involusi terminologi yang diperkenalkan oleh Geertz (1963) yang membuatnya kehilangan relevansi dan orientasi dasarnya sebagai ilmu pengetahuan untuk kemanusiaan.
Akibatnya, ilmu-ilmu sosial, terutama ilmu politik dan pemerintahan, semakin kehilangan kredibilitas dan kapasitas objektif untuk bisa menuntun ilmu-ilmu yang secara disiplin betul-betul steril dari kemasyarakatan, tetapi memiliki dampak luas, mendalam, dan permanen ketika diproyeksikan ke dalam masyarakat.
Karenanya, ia membutuhkan kehadiran ilmu-ilmu sosial sebagai pelita kecil yang memberikan penerangan.
Hadirin yang saya muliakan,
Di samping refleksi seperti digambarkan secara panjang lebar, pidato pengukuhan ini berupaya untuk menemukan jalan ketiga di antara kedua oposisi biner di atas.
Seperti diindikasikan pada bagian-bagian sebelumnya, jalan pertama yang mendominasi wacana relasi antara intelektual dan kekuasaan dibangun di atas sikap pemujaan atas dan penaklukan diri pada kekuasaan yang menempatkan kekuasaan sebagai ruang yang nyaman bagi intelektual.
Sementara jalan kedua berangkat dari sikap kepura-puraan, pengabaian atau ketidaktahuan atas kekuasaan yang mengandaikan kaum intelektual memiliki kedigdayaan untuk hidup di luar dan terbebas dari jangkauan kekuasaan.
Kedua jalan di atas ibarat tiket satu arah, masuk atau keluar.
Jalan ketiga yang saya tawarkan, sebaliknya, bersifat timbal balik. Kaum intelektual bisa masuk dan keluar dari kekuasaan berdasarkan penilaian yang matang dan menyeluruh, bukan didikte oleh motif kecintaan atau kebencian terhadap kekuasaan.
Jalan ketiga ini berbeda dengan logika berumah di angin ala Rendra si Burung Merak, yang menekankan fungsi resi kaum intelektual yang hadir hanya dalam situasi darurat dalam kerangka memperbaiki, jalan ketiga yang saya tawarkan justru mengharuskan kehadiran intelektual dan ilmu pengetahuan dalam praksis rutin kekuasaan.
Jalan ketiga ini menekankan sentralitas voluntarism dalam politik. Jalan timbal balik ini diperlukan karena cukup banyak intelektual yang mengalami kesulitan menemukan jalan kembali begitu mereka berada di dalam lingkaran kekuasaan.
Mereka seakan tersesat di rimba raya politik yang tak bertepian. Atau sebaliknya, banyak intelektual sedemikian traumatisnya pada politik sehingga membunuh semua alasan untuk kembali memasukinya.
Sebagian lainnya, bahkan sejak dini mengharamkan dunia politik yang digambarkan secara stereotyping sebagai dunia kotor.; dunia para pendosa yang tidak layak dimasuki kaum intelektual sebagai simbol kebersihan dan kesucian.
Sifat homo homini lupus dari dunia politik diikuti watak bengis Leviathan dari kekuasaan (Hobbes, 1982), serta tujuan menghalalkan cara ala Kautilyan (1992) penyusun Arthashastra, sebuah risalah India kuno mengenai keterampilan kenegarawanan, kebijakan ekonomi, strategi militer dan intelijen, serta politik luar negeri atau Machiavellian (2003) yang nasihat-nasihatnya kepada Lorenzo dee Medici, penguasa Florence, Italia, periode 1516.1519
telah didokumentasikan ke dalam karya monumental The Prince menyisakan terlampau sedikit alasan bagi mereka untuk kembali memasuki dunia politik tempat kekuasaan bekerja secara rutin dan lebih kasat mata.
Usaha menemukan jalan ketiga ini berangkat dari optimisme saya bahwa gall good things can go together. Dalam hal ini, saya meyakini bahwa kekuasaan dan ilmu pengetahuan lahir dan bertumbuh di atas cita-cita pembebasan manusia dan pemuliaan kemanusiaan.
Keduanya bisa menemukan alasan moral yang kuat dan masuk akal untuk jalan bersisian di tengah-tengah pesimisme yang berkembang. Saya sepenuhnya menyadari bahwa jalan ketiga ini bukan jalan yang gampang.
Berlapis-lapis jebakan yang bersumber dari kombinasi antara daya merayu berkelanjutan dari kekuasaan yang sangat luar biasa dan sifat alamiah manusia, termasuk dan terutama kaum intelektual yang membutuhkan pengakuan dan penghargaan atas kontribusinya.
Pengakuan dan penghargaan yang ekspresi riilnya dapat berupa jabatan, kekayaan atau sebatas penghormatan sosial. Lebih lagi, setiap lapis jebakan menyediakan alasan pembenar yang secara moral tampak meyakinkan.
Hadirin yang saya muliakan,
Di sepanjang pergaulan dan interaksi panjang saya dengan banyak pelaku di dunia politik, saya telah cukup menyaksikan bagaimana sebagian mereka bahkan gagal pada jebakan yang paling sederhana ketika mendapatkan kekuasaan, yakni menempatkan kekuasaan sebagai sesuatu yang wajar, sesuatu yang normal.
Begitu banyak pelaku politik tergagap menerima kekuasaan dan berakhir dengan perilaku membelakangi akal sehat; menampakkan diri sebagai manusia kemaruk yang gila hormat.
Ada yang begitu mudah tersinggung ketika diundang dan tidak menempati tempat duduk yang dianggap mewakili derajatnya, ada yang kebingungan mengatur penampilan, ada yang merasa perlu mendeklarasikan kehadirannya secara rutin di jalanan lewat suara ngiung-ngiung voorijder,
ada yang membangun jarak sangat panjang, bahkan dengan sahabat masa lalu melalui penciptaan saluran protokoler yang rumit dan panjang, ada yang merasa perlu mendemonstrasikan kepemilikan kekuasaannya dengan kawin lagi atau memiliki peliharaan dan masih sederetan perangai lainnya.
Sejumlah pelaku politik yang mampu melewati fase awal ini kadang gagal melewati jebakan fase berikutnya: penyalahgunaan kekuasaan yang membuat imparsialitas, sebagai properti khas dari institusi dan jabatan publik, kehilangan jejaknya; bertukar wajah menjadi institusi dan jabatan partisan;
bahkan tidak jarang merosot menjadi properti keluarga atau individual pemegang kekuasaan. Hal ini seakan membangkitkan kembali klaim yang begitu luas dikritik, LEtat Cfest Moi (Negara adalah Aku) ala Louis XIV.
Sialnya, bertumpuk alasan yang bisa membenarkan godaan ke arah penyalahgunaan kekuasaan, mulai dari yang bersifat askriptif (identitas dan kekerabatan) hingga alasan kemanusiaan seumpama membantu orang yang membutuhkan.
Saya menyaksikan, cukup banyak pelaku politik yang gugur di fase ini. Bagi yang mampu melewati, di hadapannya telah menghadang jebakan lain: menjadikan kekuasaan bermanfaat bagi banyak orang.
Di fase ini sebagian pelaku politik gagal karena dua alasan yang berada pada aras yang berbeda: mentahnya penguasaan ideologi dan rendahnya penguasaan aspek teknokratik-manajerial yang menandai kebanyakan pelaku politik Indonesia.
Keasyikan intelektual Indonesia mengontrol, mengkritik, bahkan memaki dan menghina bekerjanya kekuasaan dan para pelakunya, membikin mayoritas mereka, terutama ilmuwan sosial, alpa dalam menjalankan fungsi empowering dan strengthening yang justru sangat diperlukan para pelaku politik guna menjadikan kekuasaan yang digenggam bermanfaat bagi publik, bangsa, negara, dan, di atas segalanya, bagi kemanusiaan.
Bagi pelaku politik yang melewati fase ini, tantangan berikutnya yang tidak mudah dilewati adalah menemukan alasan dan jalan turun dari kekuasaan secara elegan dan bermartabat. Secara subjektif banyak alasan untuk bertahan di kekuasaan, bahkan tidak jarang dengan cara-cara yang tidak masuk akal.
Secara objektif, saya menyaksikan terlampau banyak alasan di luar kontrol sang pelaku politik yang membikin penemuan alasan dan jalan mundur seakan menjadi pekerjaan yang mustahil.
Karena alasan tersebut, penting digarisbawahi bahwa jalan ketiga ini, mengandaikan setiap intelektual, terlepas dari disiplin ilmu yang digeluti, adalah sekaligus zoon politicon dalam pengertian Aristotelian makhluk politik yang bermasyarakat yang bukan saja mempersenjatai diri dengan pengetahuan dan kesadaran tentang politik, tapi sekaligus bersedia bertindak secara politik bagi kepentingan kolektivitas ketika diperlukan.
Bagi intelektual yang ingin memasuki atau keluar dari dunia politik, mereka dituntut senantiasa sadar dan waspada akan bahaya yang melekat dalam kekuasaan, baik yang terbentang di belantara dunia politik maupun di dunia ilmu pengetahuan sebagai ekosistem di mana proses memproduksi dan mereproduksi ilmu pengetahuan sekaligus merupakan proses produksi dan reproduksi kekuasaan dalam raut yang lain.
Kaum intelektual harus waspada bahwa hukum sederhana power changes people!. berlaku universal, termasuk bagi kaum intelektual. Kaum intelektual harus menyadari bahwa kekuasaan tidak mungkin dihilangkan dan exercise of power tidak melulu merupakan hal yang buruk (Wallace, 2015, hal. 111.113).
Seorang intelektual juga harus menyadari bahwa setiap keterlibatannya mempunyai suatu sifat politis seperti yang secara indikatif disampaikan Soedjatmoko (1980). Yang sama pentingnya, kaum intelektual harus menyadari bahwa idealisme sekalipun bukan merupakan jaminan memadai untuk menghindarkan diri dari jebakan kekuasaan dan sindrom superioritas.
Intelektual harus menyadari bahwa, sebagai agen utama untuk memproduksi dan mendesiminasi ilmu pengetahuan, intelektual dan institusi perguruan tinggi sangat terpengaruh oleh politik pengetahuan (Weiller, 2011). Karena itu, intelektual harus menyadari beragam kekuatan politik yang berkontribusi dalam membentuk kurikulum dan penelitian, penilaian kualitas akademik, dan relasinya dengan negara.
Bagi saya, ujian terbesar seorang intelektual bukanlah pada kemampuan dan kesiapannya untuk dengan lantang memaki kekuasaan dan para pelakunya, tetapi justru ketika ia bisa bersahabat dan menjadi bagian dari kekuasaan sembari tetap mampu menjaga kewarasan dan karakter dasar intelektual: berpikir bebas dan bertindak bijak bagi kepentingan kemanusiaan.
Hal terakhir ini perlu digarisbawahi karena saya menyaksikan cukup banyak intelektual yang terjangkiti sindrom superioritas yang secara keliru mengira dirinya unggul secara intelektual dan moral di hadapan kekuasaan.
Sindrom yang mengantarkan mereka pada sikap jemawa yang memosisikan pelaku politik sebatas sebagai robot pelaksana atau corong baginya.
Saya sudah cukup sering menyaksikan betapa intelektual berubah menjadi musuh paling gigih dari kekuasaan yang pernah didukungnya hanya karena alasan sangat sederhana: pemikiran atau usulannya tidak diakomodasi.
Dengan serangkaian alasan ini, saya perlu menggarisbawahi bahwa jalan ketiga yang ditawarkan. masuk dan keluar kekuasaan secara fleksibel dengan menempatkan kemanusiaan sebagai motif pokoknya.menuntut kematangan, kepekaan dan kapasitas dalam menilai politik. Sesuatu yang tidak bisa dihasilkan secara instan.
Hadirin yang saya muliakan,
Mengakhiri pidato ini, izinkan saya menggarisbawahi keyakinan saya bahwa tujuan-tujuan mulia yang melekat dalam kelahiran dan menjadi fondasi dari ilmu pengetahuan dan tujuan yang melekat dalam filsafat kekuasaan bertumpu pada kehendak yang sama: cita-cita pembebasan manusia dan pemuliaan kemanusiaan. Kesamaan kehendak inilah yang menjadi titik konvergensi di antara keduanya.
Dengannya, sekalipun tampak hidup dalam dunia yang terpisah, pada dasarnya keduanya saling menghidupi: intelektual pasti hidup dalam kekuasaan, dan kekuasaan membutuhkan ilmu pengetahuan.
Hadirin yang saya muliakan,
Jabatan Guru Besar ini telah melalui jalan panjang yang melibatkan begitu banyak individu dan kerja kolektif. Kepada mereka, ucapan terima kasih yang tak terhingga saya sampaikan.