Kedua menjauhi dan bahkan memusuhi kekuasaan.
Tidak tersedia jalan lain bagi intelektual dan kekuasaan untuk bisa hadir berdampingan.
Soedjatmoko (1980) intelektual, diplomat, dan politikus terkemuka Indonesia.menempatkan dua pilihan di atas sebagai dilema intelektual dalam berelasi dengan kekuasaan.
Pembilahan yang paralel dilakukan Dhakidae (2015) yang mengontraskan technical intellegentia dengan humanistic intellectual, meskipun ia memberikan 4 catatan penting bahwa keduanya tidak bisa dibaca hitam-putih.
Gramsci (1971) membedakan intelektual ke dalam dua kelompok, yaitu intelektual tradisional dan intelektual organik. Intelektual tradisional akan bertindak sebagai antek penguasa, bahkan ketika mereka bersikap kritis terhadap status quo penguasa.
Sedangkan intelektual organik adalah mereka yang berfungsi sebagai perumus dan artikulator ideologi dan kepentingan kelas. Hal yang sama terlihat dalam pembilahan Kleden (1987) mengenai relevansi sosial versus relevansi intelektual sebagai dua pilihan dilematis intelektual dalam memproduksi ilmu pengetahuan.
Pembilahan yang bersifat dikotomis di atas membuat kemampuan berpikir bebas sebagai karakter pokok intelektual tidak mendapat ruang ekspresi memadai.
Intelektual secara dangkal dinilai hampir sepenuhnya dari jarak yang diambilnya dari kekuasaan yang secara hampir absolut diwakili negara yang dalam kebanyakan kasus direduksi menjadi sebatas rezim atau pemerintah.
Mengontrol perangai kekuasaan negara lewat kontrol atas pemerintah, dengannya, menjadi satu-satunya pilihan. Pilihan ini, sudah tentu, adalah sahih karena memiliki justifikasi empiris sangat kuat.
Sejarah panjang peradaban manusia mendemonstrasikan keganasan tak terbayangkan yang berulang dipamerkan rezim politik di sembarang era; di sembarang peradaban atas nama negara dan keselamatan publik.
Namun, obsesi ini juga punya sisi gelap: ia dengan mudah mengantarkan imajinasi publik memberikan penekanan berlebihan pada sentralitas konflik sebagai sifat pokok relasi antara intelektual, ilmu pengetahuan, dan negara.
Sifat yang mengawetkan pemisahan ekstrem antara ilmu pengetahuan, intelektual dan negara menutup peluang bagi persinggungan apalagi kolaborasi. Karenanya, tidak mengherankan jika persinggungan atau kolaborasi antara intelektual dan kekuasaan, dalam banyak kasus, secara cepat dan enteng dihakimi sebagai pengkhianatan
Pada saat bersamaan, obsesi ini membuat sebagian intelektual kehilangan kepekaan untuk menangkap argumen sekaligus peringatan Russell (1938, hal.10) bahwa kekuasaan yang merupakan konsep fundamental dalam ilmu sosial, sebagaimana energi menjadi fundamental dalam ilmu fisika memiliki raut beragam.
Kekuasaan bisa memanifestasikan diri ke dalam wajah yang berbeda-beda (Lukes, 1974), tidak sebatas pengorganisasian dalam bentuk negara atau rezim/pemerintah; dan bahkan tidak memiliki wajah sama sekali (Hayward, 2000) meski tidak bisa menyembunyikan naluri dasarnya, meminjam perkataan Russell, untuk mensubordinasi yang lain.
Secara subjektif, kontruksi berpikir di atas berakibat pada munculnya sindrom antipolitik pada sebagian, bahkan mayoritas, intelektual yang secara bangga mempersepsikan diri dan, karenanya, mudah tunduk pada represi opini publik.sebagai makhluk apolitis.