Pertama: Daud memiliki iman dan selalu mencari Kehendak Tuhan. Ia senantiasa menaruh kehendak Tuhan dalam pikirannya dan tidak pernah mengeluarkan titahnya sendiri atau pergi berperang tanpa terlebih dahulu bertanya kepada Tuhan. Daud selalu meminta petunjuk Tuhan sebelum mengambil keputusan. Sebagai contoh, dia melakukannya di Nob (1Sam. 22:13-15), di Kehila (1Sam. 23:2,4,10-12), dan di Ziklag (1Sam. 30:7-8). Mengherankankah apabila "Saul mengalahkan beribu-ribu musuh, tetapi Daud berlaksa-laksa" (1Sam. 18:7)?
Kedua: Daud Percaya Penuh Kepada kuasa penyertaan Tuhan. Hati Daud yang dengan sederhana bersandar dan yakin pada Tuhan ini sudah terlihat jelas sejak masa mudanya. Kejadian paling terkenal adalah ketika ia berhadapan dengan Goliat. Tanpa menghiraukan ucapan-ucapan meremehkan dari kakak-kakaknya (1Sam. 17:28), keraguan Saul atas usia Daud yang masih muda dan ketiadaan pengalamannya (1Sam. 17:33), serta penghinaan kasar Goliat (1Sam. 17:43-44), Daud tetap yakin - bukan pada dirinya sendiri, tetapi pada Tuhan. Dia memberitahu Saul, "TUHAN yang melepaskan aku dari cakar singa dan dari cakar beruang, Dia juga akan melepaskan aku dari tangan orang Filistin itu" (1Sam. 17:37).
Ketiga: setiap kali Daud menyadari bahwa dirinya telah berdosa, Daud akan langsung berdoa memohon pengampunan Tuhan atau memperbaiki situasinya. Dia tidak pernah berusaha menutup-nutupinya, membenarkan diri sendiri, atau menyalahkan orang lain.
Sebaliknya, dengan rendah hati dan berani ia menerima akibat dari perbuatannya. Contoh paling nyata ketika Nabi Natan menegur Daud karena telah melakukan perzinahan dan pembunuhan, Daud langsung berkata, "Aku sudah berdosa terhadap Tuhan" (2 Sam. 12:13). Sungguh bertolak belakang dengan reaksi Saul ketika ditegur! Daud tidak mencari-cari alasan - tidak ada kata-kata seandainya, dan, atau tetapi. Daud sekadar mengakui bahwa ia telah berdosa, dan setelah itu, ia tidak pernah melakukan dosa yang sama lagi. Itulah pertobatan yang sesungguhnya.
Dari teks ini kita tidak hanya belajar bahwa Tuhan telah memilih orang lain (memilih Saul dan kemudian memilih Daud lewat nabi Samuel) untuk dipakai sebagai alatnya. Mungkin pula kita juga dipilih Tuhan dalam pelayananNya, dalam gereja, dalam masyarakat dan dalam keluarga kita masing-masing. Selain kita memilih orang lain, kita juga dipilih Tuhan melalui orang lain untuk berbagai tanggung jawab baik sebagai suami/istri, baik sebagai orang tua maupun anak-anak. Kita dipilih untuk melakukan tanggungjawab kita masing-masing dengan motivasi yang tulus berdasarkan iman, rasa hormat dan taat serta cinta kepada Tuhan.
Dengan penekanan pada Tuhan melihat hati dan bukan pada penampilan itu tidak berarti hal-hal yang bersifat "tampilan luar", tidak ada harga sama sekali. Kegantengan dan kegagahan Saul telah menjadi modal untuk dia telah dipilih sebagai raja Israel yang pertama. Tetapi jika modalnya hanya itu saja, tidaklah cukup, Tuhan menuntut kriteria, kualifikasi dan karakter lain dalam yang harus senantiasa ditanam dalam hati orang percaya yaitu Iman, rasa hormat dan taat padaNya serta cinta kepadaNya.
Gelar, ijazah, jabatan dan kedudukan memang penting, tetapi hati yang dekat pada Tuhan jauh lebih penting. Saya tertarik untuk mengutip kata-kata dari John Wooden: "Be more concerned with your character than your reputation because your character is what you really are and your reputation is merely what others think you are" (hendaknya kita lebih prihatin dengan karakter kita lebih dari pada reputasi kita karena karakter kita menunjuk siapa kita sebenarnya sedangkan reputasi hanyalah apa yang orang lain pikirkan tentang kita").
Walaupun "tampilan luar", reputasi, gelar dan kedudukan bukan utama tetapi itu juga bisa jadi modal awal, yang akan menjadi lebih baik dan sempurna kalau semuanya dipersembahkan bagi Tuhan.
Ini tidak bermaksud ibu-ibu dan nona-nona yang cantik tidak mau lagi berdandan, dan atau ambil arang ko gosok ke wajah bekin jelek muka. Malah saya anjurkan yang sudah punya modal muka manis tambah bekin manis lagi, yang postur tubuh ramping setengah pintu, pertahankan dan jaga sedapatnya supaya jangan jadi tiga pintu, hehehe. Karena dengan melihat yang baik dan manis orang mengucap syukur dan kagum akan karya Tuhan. Betapa agung dan mulianya karya Tuhan yang nampak dalam diri Istriku, anak perempuanku, tetanggaku dstnya.
Intermezo: saya kalau naik mobil dengan istri selalu dapat tegoran darinya. Katanya: "bapa kalau bawa mobil na lihat ke depan, jangan mata tuh "ili ala" atau lihat ke kiri kanan, terkhususnya hanya pada cewek-cewek manis". Jawab saya kalam saja: "Justru bapa harus perhatikan baik-baik, siapa tahu itu bagian dari anggota keluarga kita, nanti dikira sudah sombong, naik mobil tidak lihat-lihat kita lagi keluarganya". Hehehe.
Ini hanya intermezo untuk mengantar saya pada akhir dari renungan pagi ini, dimana saya mau mengutip lagi kata-kata si jenius Albert Einstein, katanya "Jangan mencoba menjadi orang sukses lebih baik, menjadi orang yang bernilai". Karena banyak orang bisa sukses buat apa saja yang baik dan jahat, sukses mencuri, sukses menipu, tetapi menjadi orang yang bernilai ditangan Allah hanyalah sedikit orang yang mau sungguh beriman, taat dan cinta padaNya.
Siapa pun kita, kaya atau miskin, berkedudukan atau bukan, bukanlah hal yan utama yang utama adalah hati kita. Ilustrasi gelas minuman dan hati: Kita bagaikan gelas minum, yang bisa terbuat dari apa saja, plastik, gelas, logam atau bahkan emas sekali pun, yang bernilai dari semua benda bukan kemasannya, casingnya, kulit luarnya, tetapi isinya. Tuhan telah memberikan hatinya bagi kita, karena itu hendaknya kita juga selalu punya hati bagi Tuhan dan sesama. (*)