Hemat saya, kita dapat mengatakan bahwa ada kearifan lokal tradisional dalam hal produksi moke di NTT. Dan karena mengandung sejumlah nilai yang baik, produksi ini dapat terus dipertahankan dalam masyarakat lokal kontemporer NTT.
Umumnya masyarakat tradisional NTT menggunakan tiga model pemasaran penjualan moke: di pasar, di rumah, dan oleh penjual yang mendatangi rumah para penduduk. Masyarakat lokal NTT tidak membuat pembatasan usia bagi pembeli miras.
Seorang anak kecil pun dapat membeli moke di ketiga tempat yang disebutkan di atas. Hal ini tidak berarti bahwa masyarakat tradisional mengizinkan anak-anak muda dan remaja untuk mengonsumsi miras. Tidak adanya pembatasan usia dalam pembelian miras dapat dipahami karena dalam masyarakat tradisional sudah dapat dipastikan bahwa seorang anak atau remaja tidak mempunyai uang atau bentuk kekayaan lain dalam kepemilikannya.
Ada asumsi umum dalam masyarakat tradisional bahwa jika seorang anak kecil atau remaja membeli moke, maka itu hanya dapat terjadi karena dia disuruh oleh orang dewasa atau orangtuanya. Anak atau remaja yang membeli moke justru dilihat sebagai anak rela membantu orang dewasa.
Tampaknya pengandaian masyarakat lokal tradisional ini tidak dapat dipertahankan lagi. Dewasa ini kepemilikan uang untuk membeli moke dan minuman keras lainnya tidak lagi dibatasi hanya pada orang dewasa. Sebab itu, adalah arif apabila masyarakat NTT membuat aturan tentang pembelian moke. Anak-anak dan remaja tidak diperkenankan membeli moke.
Kearifan lokal menjadi sangat krusial dalam hal konsumsi minuman keras. Masyarakat tradisional cukup membatasi konsumsi moke pada kesempatan ritual adat dan pesta. Karena itu, orang tidak mengonsumsinya secara diam-diam dan sendirian di tempat tertutup. Hal ini dapat dilihat sebagai satu bentuk kearifan masyarakat lokal tradisional. Kendati demikian, kearifan ini tidak menjadi jaminan untuk mencegah orang menenggak moke terlampau banyak hingga menimbulkan kemabukan.
Sering terjadi orang kembali dari sebuah pesta dalam keadaan mabuk. Masyarakat lokal tradisional memang tidak menerima begitu saja kemabukan karena konsumsi moke. Mabuk tidak menjadi alasan untuk membebaskan seseorang dari tanggung jawab terhadap tindak kejahatan yang dilakukannya dalam kondisi tersebut.
Namun, sanksi sosial bagi para pemabuk tampaknya tidak cukup berpengaruh. Sebab itu, perlakuan masyarakat tradisional terhadap para pemabuk tidak dapat dikatakan sebagai satu kearifan lokal. Masyarakat lokal tradisional masih perlu mengembangkan sanksi yang lebih jelas bagi para pemabuk.
Tampaknya aturan hukum yang berlaku dalam masyarakat kontemporer yang memberikan sanksi lebih kepada seseorang yang melakukan satu tindak kejahatan dalam kondisi mabuk sudah lebih baik daripada dalam masyarakat tradisional.
Berdasarkan pertimbangan di atas, apabila kita hendak mengaitkan miras dengan kearifan lokal, maka mesti dikatakan bahwa dalam hal produksi dan penjualan tradisional dapat ditemukan kearifan lokal. Penjualan dalam konteks kontemporer perlu diperketat untuk memperhatikan usia.
Dalam soal konsumsi perlu dikembangkan sanksi yang tegas bagi para pemabuk agar masyarakat lokal menjadi lebih arif. Diperlukan intervensi berupa perumusan hukum positif dan penegakan oleh aparat hukum untuk mengatur penjualan dan pembatasan konsumsi. Dalam soal ini kita tidak bisa hanya mengandalkan kearifan lokal.*