Miras dan Kearifan Lokal NTT

Editor: Dion DB Putra
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Paul Budi Kleden

Oleh Paul Budi Kleden, SVD
Rohaniwan Katolik, Tinggal di Roma

POS KUPANG.COM - Untuk menunjukkan konteks khas NTT, anggota DPR RI Herman Hery mengatakan bahwa minuman keras (miras) adalah kearifan lokal NTT. Apakah ungkapan ini dapat diterima sebagai pembenaran bagi sikapnya membela para pedagang miras tradisional, yang dagangannya disita pihak Polda NTT? Dalam arti apa miras dapat dikaitkan dengan kearifan lokal NTT?

Kearifan lokal dapat didefinisikan sebagai seperangkat falsafah yang tampak dalam struktur kekuasaan, relasi kekerabatan, hubungan dengan alam, pola kerja dan interaksi sosial yang dikembangkan oleh sebuah masyarakat yang mendiami wilayah tertentu untuk menghadapi tantangan kehidupan secara arif.

Yang arif adalah yang harmonis, yang tidak menimbulkan kegaduhan, yang dengan mudah diterima sebagai sesuatu yang baik oleh satu masyarakat karena bermanfaat bagi semua.

Dimensi arif menjadi pembeda antara kebudayaan dan kearifan lokal. Sesuatu dapat menjadi bagian dari satu kebudayaan tanpa harus menjadi arif. Tetapi sesuatu tidak bisa disebut kearifan apabila sama sekali tidak bersifat arif atau bijaksana. Tentu saja, semua kearifan lokal adalah bagian dari kebudayaan lokal.

Pernyataan bahwa miras adalah bagian dari kearifan lokal masyarakat NTT mesti dibedah secara saksama. Apa yang arif, yang dapat dikaitkan dengan miras? Di satu pihak, miras dalam bentuk moke (arak) adalah bagian dari kebudayaan tradisional NTT, digunakan dalam ritual adat sebagai tanda keterikatan dengan Tuhan langit dan bumi, dan dalam perayaan-perayaan keluarga dan kekerabatan. Produksi dan penjualan miras pun menjadi sumber mata pencarian yang menghidupi banyak keluarga.

Di sebagian kampung, produksi dan penjualan miras menjadi kekuatan ekonomi keluarga untuk menyekolahkan anak-anak. Pada pihak lain, saya menduga, masyarakat NTT tidak bersedia menerima anggapan bahwa mengonsumsi miras sampai mabuk dan menimbulkan kecelakaan bagi diri dan orang lain adalah sesuatu yang arif dan karena itu dapat diterima sebagai bagian dari kearifannya. Kalau demikian, bagaimana harus memetakan miras dalam peta kearifan lokal NTT?

Kearifan lokal dimiliki oleh sebuah masyarakat lokal, artinya masyarakat yang mendiami wilayah tertentu. Pengertian "lokal" tidak dapat disamakan begitu saja dengan pengertian "tradisional" yang merujuk pada satu rentang waktu yang relatif panjang dalam sejarah satu kebudayaan. Di beberapa tempat yang belum banyak dipengaruhi oleh mobilitas sosial dan pertukaran informasi melalui sarana komunikasi modern, masyarakat lokal dapat identik dengan masyarakat tradisional.

Apa yang secara umum dipikirkan dan dilakukan adalah yang diwariskan secara turun-temurun. Namun, di banyak tempat lain, khususnya di perkotaan, masyarakat lokal tidak lagi dapat disamakan dengan masyarakat tradisional. Apa yang dianggap sebagai tradisi satu wilayah, kini tidak dapat lagi dipertahankan karena komposisi masyarakat yang telah berubah.

Itu tidak berarti bahwa yang tradisional dinilai buruk dan karena itu harus ditinggalkan. Hanya, bahwa tidak ada lagi mayoritas dalam masyarakat yang menjadi pendukung tradisi tersebut. Namun, apabila sesuatu yang tradisional dinilai sungguh arif dan masih tetap bermanfaat bagi masyarakat kontemporer, hal itu dapat terus dipromosikan untuk memperkaya masyarakat lokal kontemporer. Sebab itu, jika orang mengatakan bahwa miras adalah bagian kearifan lokal NTT, harus ditanyakan, masyarakat lokal yang mana? Yang tradisional atau yang kontemporer?

Masyarakat lokal kontemporer di NTT tentu tidak hanya mengenal moke sebagai miras. Miras lain produksi luar dan dalam negeri mudah dijual, dibeli dan dikonsumsi di banyak tempat NTT. Namun, jika kita berbicara tentang miras masyarakat tradisional NTT, maka yang dimaksudkan adalah moke.

Masyarakat tradisional NTT adalah produsen, penjual dan konsumen miras moke. Ketika orang mengaitkan miras dengan kearifan lokal, maka harus dibuat pembedaan secara jelas ketiga momentum tersebut: pada saat miras diproduksi, dijual dan ketika dia dikonsumsi. Apakah ada, dan jika ada, apa persis yang disebut sebagai kearifan dalam hal pengadaan miras, dijual dan kemudian ketika orang mengonsumsinya?

Kearifan lokal tradisional dalam hal pengadaan miras di NTT dapat diamati dalam cara kerja yang memperhatikan stabilitas sosial dan integritas lingkungan. Masyarakat lokal umumnya mempunyai aturan yang jelas tentang kepemilikan pohon enau yang dapat diiris prosedur permintaan dan pemberian izin apabila seseorang harus mengiris dari enau yang bukan miliknya. Amat jarang terjadi konflik antarkeluarga atau antarkampung karena masalah pohon enau.

Ada disiplin waktu yang harus dijaga kalau orang berintensi merawat produktivitas pohon enau. Kendati tidak memiliki jam, masyarakat lokal mempunyai caranya sendiri untuk menentukan waktu yang tepat dan mempertahankan konsistensi waktu tersebut. Kerajinan dan keuletan seorang pengiris dijadikan model yang patut dicontoh. Misalnya, ola ma heré tuak (mengolah ladang mengiris tuak) dilihat oleh masyarakat tradisional lokal Lamaholot sebagai kecakapan yang menandakan kematangan seorang anak laki-laki untuk dapat membentuk keluarga sendiri.

Proses penyulingan dari tuak sampai moke mempunyai teknik sederhana, tetapi serentak mengungkapkan kecerdasan masyarakat lokal. Sumber pemanasan yang digunakan adalah kayu, yang pada waktu dulu belum terlalu menjadi masalah. Tempat pemasakan atau penyulingan seringkali menjadi persinggahan bagi para petani dalam perjalanannya dari kampung menuju ladangnya, bukan dengan intensi untuk mengonsumsi miras, tetapi untuk berinteraksi sosial sebagai satu kebajikan umum masyarakat tradisional NTT.

Hemat saya, kita dapat mengatakan bahwa ada kearifan lokal tradisional dalam hal produksi moke di NTT. Dan karena mengandung sejumlah nilai yang baik, produksi ini dapat terus dipertahankan dalam masyarakat lokal kontemporer NTT.
Umumnya masyarakat tradisional NTT menggunakan tiga model pemasaran penjualan moke: di pasar, di rumah, dan oleh penjual yang mendatangi rumah para penduduk. Masyarakat lokal NTT tidak membuat pembatasan usia bagi pembeli miras.

Seorang anak kecil pun dapat membeli moke di ketiga tempat yang disebutkan di atas. Hal ini tidak berarti bahwa masyarakat tradisional mengizinkan anak-anak muda dan remaja untuk mengonsumsi miras. Tidak adanya pembatasan usia dalam pembelian miras dapat dipahami karena dalam masyarakat tradisional sudah dapat dipastikan bahwa seorang anak atau remaja tidak mempunyai uang atau bentuk kekayaan lain dalam kepemilikannya.

Ada asumsi umum dalam masyarakat tradisional bahwa jika seorang anak kecil atau remaja membeli moke, maka itu hanya dapat terjadi karena dia disuruh oleh orang dewasa atau orangtuanya. Anak atau remaja yang membeli moke justru dilihat sebagai anak rela membantu orang dewasa.

Tampaknya pengandaian masyarakat lokal tradisional ini tidak dapat dipertahankan lagi. Dewasa ini kepemilikan uang untuk membeli moke dan minuman keras lainnya tidak lagi dibatasi hanya pada orang dewasa. Sebab itu, adalah arif apabila masyarakat NTT membuat aturan tentang pembelian moke. Anak-anak dan remaja tidak diperkenankan membeli moke.

Kearifan lokal menjadi sangat krusial dalam hal konsumsi minuman keras. Masyarakat tradisional cukup membatasi konsumsi moke pada kesempatan ritual adat dan pesta. Karena itu, orang tidak mengonsumsinya secara diam-diam dan sendirian di tempat tertutup. Hal ini dapat dilihat sebagai satu bentuk kearifan masyarakat lokal tradisional. Kendati demikian, kearifan ini tidak menjadi jaminan untuk mencegah orang menenggak moke terlampau banyak hingga menimbulkan kemabukan.

Sering terjadi orang kembali dari sebuah pesta dalam keadaan mabuk. Masyarakat lokal tradisional memang tidak menerima begitu saja kemabukan karena konsumsi moke. Mabuk tidak menjadi alasan untuk membebaskan seseorang dari tanggung jawab terhadap tindak kejahatan yang dilakukannya dalam kondisi tersebut.

Namun, sanksi sosial bagi para pemabuk tampaknya tidak cukup berpengaruh. Sebab itu, perlakuan masyarakat tradisional terhadap para pemabuk tidak dapat dikatakan sebagai satu kearifan lokal. Masyarakat lokal tradisional masih perlu mengembangkan sanksi yang lebih jelas bagi para pemabuk.

Tampaknya aturan hukum yang berlaku dalam masyarakat kontemporer yang memberikan sanksi lebih kepada seseorang yang melakukan satu tindak kejahatan dalam kondisi mabuk sudah lebih baik daripada dalam masyarakat tradisional.

Berdasarkan pertimbangan di atas, apabila kita hendak mengaitkan miras dengan kearifan lokal, maka mesti dikatakan bahwa dalam hal produksi dan penjualan tradisional dapat ditemukan kearifan lokal. Penjualan dalam konteks kontemporer perlu diperketat untuk memperhatikan usia.

Dalam soal konsumsi perlu dikembangkan sanksi yang tegas bagi para pemabuk agar masyarakat lokal menjadi lebih arif. Diperlukan intervensi berupa perumusan hukum positif dan penegakan oleh aparat hukum untuk mengatur penjualan dan pembatasan konsumsi. Dalam soal ini kita tidak bisa hanya mengandalkan kearifan lokal.*

Berita Terkini