Nasional Terkini 

Gen Z, Waspada! Begini Hoaks Menyerang dan Cara Menghadapinya

Kolaborasi antar pemangku kepentingan menjadi kunci agar edukasi dan kampanye anti hoaks dapat menjangkau semua lapisan.

Editor: Oby Lewanmeru
POS-KUPANG.COM/HO
Ilustrasi Hoax, Hate Speech dan Deep Fake. 

‘’Pertama, pembuat hoaks biasanya ahli dalam memainkan emosi orang. Narasi hoaks pada
umumnya men-trigger emosi, sehingga orang mudah terpancing untuk mempercayai, maupun
menyebarluaskan,’’ujar Santi.

Kedua, rendahnya kapasitas literasi masyarakat membuat mereka mudah percaya pada
informasi dan jarang melakukan pemeriksaan fakta.

‘’Ketiga, ada operasi algoritma yang memungkinkan informasi apapun, termasuk hoaks,
didistribusikan dengan cepat dan masif oleh media digital, termasuk media sosial,’’ ujarnya.
Santi melanjutkan, hoaks muncul memanfaatkan celah lemahnya sistem informasi, lambatnya
arus informasi resmi, dan minimnya informasi dari pihak yang seharusnya memberi keterangan.

Dalam situasi vakum seperti ini, jalur informasi diambil alih oleh produsen hoaks.
Mengapa Gen Z Perlu Diberi Prioritas

Santi menambahkan, bahwa literasi digital bagi masyarakat, khususnya pada Generasi Z (Gen
Z), sangat diperlukan karena pada dasarnya seluruh anggota masyarakat membutuhkan
kemampuan literasi digital. Survei Penetrasi Internet APJII 2024 mencatat Gen Z (lahir
1997–2012) merupakan kelompok pengguna internet terbesar di Indonesia, menyumbang
sekitar 34,4 persen dari total pengguna internet.

‘’Mengingat perangkat digital sudah menjadi keseharian masyarakat, dan masyarakat sendiri
sudah mulai bertransformasi menjadi masyarakat digital,’’imbuhnya.
Khusus bagi Gen Z, kemampuan literasi digital menjadi hal yang mendesak karena merekalah
yang akan menjadi generasi penerus bangsa. Selain itu, Gen Z merupakan pengguna terbesar
media digital saat ini. Tanpa dibekali literasi digital, mereka berisiko salah memanfaatkan
informasi yang diterima dan mengalami berbagai masalah.

‘’Dunia Gen Z didominasi oleh dunia digital. Tanpa literasi digital yang memadai, mereka bisa
terjebak pada perilaku yang berisiko, seperti cyberbullying, pelanggaran privasi, penipuan, dan
lain-lain,’’ kata Santi.

Dampak Hoaks bagi Masyarakat

Hoaks, kata dia, juga mempengaruhi kesehatan mental. Bagaimana hoaks membuat orang
tidak nyaman, merasa tidak aman, tidak bisa hidup dengan tenang, hidup dalam suasana
paranoia, dan akhirnya mempengaruhi pertimbangan orang secara sehat dan rasional saat
harus mengambil keputusan penting.

‘’Dari segi hubungan interpersonal, kepercayaan pada informasi dibangun oleh trust atau
kepercayaan pada tokoh-tokoh yang dianggap sebagai panutan,’’ ucapnya.

‘’Bukan pada kualitas informasinya. Maka, sangat mudah opini di tengah publik diprovokasi,
diputarbalikkan, di-framing, disesatkan (misleading), untuk mencapai maksud-maksud tertentu. Hal inilah yang membuat orang percaya pada hoaks karena percaya pada sumber informasinya
yang menurutnya selalu benar,’’ lanjut Santi.

“Sedemikian parahnya hoaks, sehingga saya mengategorikannya bukan sekadar masalah
literasi digital, atau ketertinggalan teknologi (digital), tetapi masalah peradaban yang
membutuhkan kolaborasi multi-stakeholder untuk mengatasinya,” tutup Santi. (*)

Ikuti Berita POS-KUPANG.COM Lainnya di GOOGLE NEWS

Sumber: Pos Kupang
Halaman 2/2
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Komentar

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved