Opini
Opini: Wajah Kemanusian yang Terabaikan
Sebaliknya, wajah adalah sebuah manifestasi ontologis dari Yang Lain (Autre) yang tak bisa dikuasai atau direduksi menjadi objek.
Sifat dasar manusia untuk menguasai dan menundukkan, yang diperparah oleh sistem militer yang kaku, menjadi kekuatan pendorong di balik tindakan tersebut.
Ketika Prada Lucky dikuasai, digertak, atau dipukuli, kemanusiaannya telah dibatalkan.
Ia tidak lagi dianggap sebagai subjek dengan kehendak bebas, tetapi sebagai instrumen untuk menegaskan superioritas dan dominasi.
Seperti yang diungkapkan Levinas, "Etika bukanlah sebuah pilihan melainkan fondasi dari apa yang membuat manusia menjadi manusia."
Ketiadaan etika inilah yang membuat kekerasan menjadi mungkin. Ketiadaan etika ini tidak hanya terbatas pada kasus Prada Lucky.
Ini adalah akar dari konflik dan perang yang terjadi di berbagai belahan dunia. Kekerasan massal terjadi Ketika suatu pihak berhasil membatalkan wajah pihak lain, mengubah mereka menjadi "musuh, "teroris" atau "pihak yang berbeda."
Dengan menafikan kemanusiaan mereka, kita merasa berhak untuk menguasai, menghancurkan, dan membunuh.
Kekerasan menjadi sebuah konsekuensi logis dari kegagalan melihat wajah orang lain sebagai Yang Lain yang suci dan menuntut pertanggungjawaban.
Ini adalah inti dari pemikiran Levinas: bahwa etika mendahului ontologi; tanggung jawab kita terhadap orang lain datang sebelum segala bentuk pemahaman tentang "ada" mereka.
Refleksi Sosial dan Jalan Menuju Empati
Kekerasan yang menimpa Prada Lucky adalah refleksi dari masalah sosial yang lebih besar, terutama yang terjadi di NTT, dimana kekerasan sering kali menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari.
Berbagai tindak kekerasan, baik yang dipicu oleh miras, kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), maupun kekerasan seksual, memiliki satu benang merah yang sama: minimnya empati.
Pelaku kekerasan tidak mampu melihat wajah korbannya sebagai manusia yang memiliki martabat, melainkan sebagai objek yang dapat dikuasai atau dilampiaskan.
Laporan tahunan Komnas Perempuan secara konsisten menunjukkan bahwa kekerasan terhadap perempuan, baik KDRT maupun kekerasan seksual, merupakan masalah serius di NTT.
Misalnya, laporan dari Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A) NTT mencatat bahwa hingga Agustus 2024, terdapat 227 kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.