Opini

Opini: Langkah Catur Politik Versi Prabowo

Pertanyaannya lalu bermunculan, deras dan liar. Apa arti dari dua gerak simultan ini? Untuk siapa dan untuk apa? 

Editor: Dion DB Putra
DOK POS-KUPANG.COM
Pius Rengka. 

Oleh: Pius Rengka
Warga Kota Kupang, Nusa Tenggara Timur

POS-KUPANG.COM - Presiden Prabowo Subianto mengguncang peta politik nasional dengan dua langkah tak terduga, mengabolisi Thomas Trikasih Lembong dan memberi amnesti pada Hasto Kristiyanto

Apakah ini strategi damai nasional, atau catur kekuasaan yang sedang disusun ulang? Tulisan ini mengajak pembaca menafsir langkah-langkah Prabowo dari Jakarta hingga ke selatan Indonesia.

Kabar dari Jakarta bukan hanya mengejutkan. Kabar itu juga mengguncang ruang tafsir politik Indonesia. 

Ibarat bidak dalam permainan catur, dua langkah Presiden Prabowo Subianto membuat publik terpaku, pemberian abolisi kepada Tom Lembong dan amnesti kepada  Hasto Kristiyanto.

Pertanyaannya lalu bermunculan, deras dan liar. Apa arti dari dua gerak simultan ini? Untuk siapa dan untuk apa? 

Siapa yang membisikkan langkah ini kepada Presiden? Dan benarkah ini bagian dari rekonsiliasi nasional atau justru strategi menata ulang papan kekuasaan?

Sebab, sejak awal masa pemerintahannya, Prabowo kerap berkoar tentang pemberantasan korupsi tanpa ampun. 

Di hadapan rakyat, aparat penegak hukum, hingga para petinggi partai politik, Prabowo Subianto mengumandangkan tekad membersihkan lumbung negara dari kawanan tikus rakus. Dan tak sedikit pula yang sudah ditindak.

Kita patutlah masih ingat, tak lama setelah pelantikannya, staf di Mahkamah Agung, Ricard Zakor diseret keluar dari lubang persembunyiannya karena terbukti menilep dana miliaran rupiah serta menyimpan emas seberat 51 kilogram di rumah pribadinya. 

Lalu menyusul pengungkapan skandal besar di tubuh Pertamina yang menjaring tujuh tersangka, termasuk Riza Khalid dan putranya yang tergabung dalam grup WhatsApp bernama “Kumpulan Orang Senang”, sebuah ironi dari kemewahan yang mencurigakan. Bangsat nan laknat.

Di tengah badai pembersihan itu, Tom Lembong dan Hasto Kristiyanto sejatinya bukan pengecualian. 

Mereka juga berada di pusaran kasus yang menyedot perhatian publik. Maka tatkala keduanya tiba-tiba "dibebaskan" melalui privilese presiden, publik pun terdiam, lalu bergumam. Ada apa di balik layar?

Spekulasi pun, seperti biasa, menyeruak. Beberapa menyebut ini sebagai bentuk konsolidasi harmonis yang coba dibangun Presiden Prabowo Subianto

Sebagian lain curiga, jangan-jangan ada pihak yang sedang diamankan karena keterlibatan lebih jauh dalam kasus Tom Lembong

Tak sedikit pula yang menilai publik kini mulai acuh, bahkan lelah, memahami teknis abolisi dan amnesti yang kian kabur maknanya, saat sepenuhnya diserahkan pada otoritas kepala negara.

Yang pasti, Hasto Kristiyanto kini bisa bernapas lega. Ia tak lagi perlu menjalani masa tahanan yang mungkin mengganggu langkah PDIP menuju kongres mendatang. 

Sementara Thomas Lembong tak perlu lagi menatap jeruji besi, meski pertanyaan mendasar belum dijawab, bagaimana kerugian negara dalam kasus yang melibatkannya akan diusut?

Apakah langkah Prabowo itu didasari kebijaksanaan etis? Kepentingan politis? Atau gabungan bisikan kekuasaan dan kalkulasi kekuatan? Kita tidak tahu pasti. Tapi sejarah memberi kita cermin. 

Di Prancis, pada abad ke 19, Émile Zola menulis tentang Dreyfus Affair dalam novelnya yang monumental, J’Accuse yang mengisahkan betapa negara bisa bersikap arbitrer dalam menyusun narasi kebenaran dan keadilan.

Dalam sejarah Amerika Latin, kita juga bisa belajar dari langkah Presiden Alberto Fujimori di Peru yang pernah memberikan amnesti kepada aparat militer yang terlibat pelanggaran HAM atas nama stabilitas politik. 

Tapi alih-alih menyembuhkan bangsa, langkah itu justru memperdalam luka sejarah dan memperlebar jurang antara negara dan rakyat. 

Apakah Indonesia sedang berjalan ke arah serupa dengan narasi baru yang dibungkus rekonsiliasi nasional?

Ada yang menyebut langkah Prabowo ini sebagai realisme politik. Keras saat perlu, lunak saat menguntungkan. 

Tetapi realisme yang tak berbasis keadilan bisa menjelma menjadi otoritarianisme lembut. 

Publik dibius oleh ketegasan di awal, tetapi lupa memeriksa arah moral dari kebijakan yang lahir kemudian. 

Dalam politik seperti ini, siapa yang “diselamatkan” lebih penting dari siapa yang “dikorbankan”.

Banyak pengamat menyebut Prabowo sedang membangun grand alliance (aliansi besar) antar kutub yang pernah bertikai di masa lalu. 

Tetapi pertanyaan yang lebih relevan adalah apa harga dari aliansi ini? Apakah publik harus membayar dengan keheningan, dengan pengabaian terhadap prinsip keadilan hukum?

Kita mulai melihat pola. Penguatan narasi nasionalisme, pembenahan citra militeristik, dan retorika pembangunan wilayah pinggiran. 

Ini semua memperindah panggung, tetapi aktor utamanya tetap sedikit, dan rakyat hanya menjadi penonton pasif di barisan belakang. Dalam demokrasi, ini pertanda yang mesti diawasi.

Di satu sisi, memang benar bahwa politik tak pernah sepenuhnya bersih. Tetapi politik yang menghapus jejak kesalahan hanya karena loyalitas atau kalkulasi elektoral akan kehilangan nuraninya. 

Jika keadilan bisa ditunda dan diatur sesuai waktu politik, maka hukum hanyalah dekorasi dari panggung kekuasaan.

Dari belahan timur Indonesia, kami menyambut hangat ketika Presiden Prabowo menyampaikan rencananya membangun Indonesia bagian selatan termasuk Nusa Tenggara Timur. 

Suara itu mengingatkan kami pada ujaran Gubernur Viktor Bungtilu Laiskodat beberapa tahun silam, tentang pentingnya mengangkat wajah tepi selatan Indonesia, dari Sabu sampai Sumba, dari Rote sampai Lembata. 

Apakah ini hanya gema yang terulang? Atau sungguh langkah awal menata ulang ruang ketertinggalan menjadi ruang keadilan? 

Biarlah waktu yang menguji.  Tetapi kami menyimpan harapan, semoga bidak yang digerakkan hari ini bukan sekadar taktik, melainkan awal dari politik kebangsaan yang adil dan beradab. Semoga. (*)

Simak terus berita POS-KUPANG.COM di Google News 

 

Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved