Opini

Opini: Cegah Stunting, Kunci NTT Keluar dari Kemiskinan

Investasi paling menguntungkan adalah pada usia paling dini. Semakin cepat, semakin besar dampaknya

Editor: Dion DB Putra
POS-KUPANG.COM/HO-DOK PRIBADI
Jermi Haning 

Oleh: Jermi Haning
Warga Nusa Tenggara Timur, tinggal di Pulau Rote

POS-KUPANG.COM - Stunting bukan sekadar soal tinggi badan anak yang lebih pendek dari standar. 

Ia adalah alarm darurat tentang masa depan bangsa, terlebih di Nusa Tenggara Timur (NTT). 

Ketika anak kekurangan gizi kronis pada 1.000 hari pertama kehidupan—mulai dari janin hingga usia 2 tahun—dampaknya permanen: perkembangan otak terganggu, kemampuan belajar menurun, produktivitas rendah, hingga kemiskinan yang diwariskan lintas generasi. 

UNICEF (2023), melalui laporan State of the World's Children, menegaskan bahwa gizi buruk di masa awal kehidupan menciptakan dampak yang sulit dipulihkan bagi individu dan negara.

Pelajaran dari Penerima Nobel

Ekonom Amerika Serikat James J. Heckman, Profesor Ekonomi di University of Chicago dan penerima Hadiah Nobel Ekonomi tahun 2000, memperkenalkan Heckman Equation—rumus sederhana yang mengubah cara dunia melihat pembangunan manusia. 

Heckman, melalui karyanya “The Economics of Inequality: The Value of Early Childhood Education” (2011), menekankan:

“Investasi paling menguntungkan adalah pada usia paling dini. Semakin cepat, semakin besar dampaknya.”

Heckman dan Dimitriy Masterov (2007) dalam makalah “The Productivity Argument for Investing in Young Children” yang diterbitkan oleh National Bureau of Economic Research (NBER) membuktikan bahwa investasi pada anak usia 0–3 tahun memberikan tingkat pengembalian (ROI) tertinggi dibandingkan intervensi di usia sekolah atau pelatihan kerja. 

WHO (2020) melalui laporan “Improving Early Childhood Development” memperkuat temuan ini dengan menyatakan bahwa intervensi gizi dan stimulasi dini tidak hanya meningkatkan kesehatan anak, tetapi juga memperkuat fondasi ekonomi negara.

Stunting dan Kemiskinan di NTT: Dua Masalah yang Saling Mengikat

NTT menghadapi tantangan besar: prevalensi stunting mencapai 37,9 persen (BPS, 2024)—tertinggi di Indonesia. 

Di saat yang sama, tingkat kemiskinan di NTT masih berada di kisaran 19,96 persen pada 2024, jauh di atas rata-rata nasional. 

BKKBN (2024) menegaskan bahwa tanpa perbaikan gizi anak sejak dini, upaya pendidikan dan pelatihan kerja hanya akan menjadi intervensi yang terlambat dan kurang efektif.

Penelitian César Victora, Profesor Emeritus di Federal University of Pelotas, Brasil, dalam artikel “Maternal and Child Undernutrition: Consequences for Adult Health and Human Capital” di The Lancet (2008), menemukan bahwa anak stunting cenderung memiliki pendapatan dewasa yang lebih rendah, yang berarti risiko kemiskinan di NTT bisa berlanjut lintas generasi jika masalah ini tidak diatasi.

Sebaliknya, John Hoddinott, Profesor Ekonomi di Cornell University, dalam studinya “The Economic Rationale for Investing in Stunting Reduction” (2013) menunjukkan setiap dolar yang diinvestasikan untuk pencegahan stunting dapat menghasilkan manfaat ekonomi hingga 18 kali lipat. 

Bank Dunia (2021) melalui “Repositioning Nutrition as Central to Development” menegaskan bahwa pencegahan stunting adalah strategi pembangunan paling hemat biaya untuk memutus lingkaran kemiskinan.

Dari Nobel ke Kampung-Kampung di NTT

Temuan ini bukan teori belaka. Heckman, yang lahir dari keluarga kelas pekerja di Chicago, meneliti kesenjangan pendidikan di Amerika Serikat dan menemukan pola universal: investasi pada anak usia dini adalah cara paling efektif untuk memutus rantai kemiskinan. 

Hal ini relevan bagi NTT, di mana kemiskinan dan stunting saling menguatkan seperti lingkaran setan.

Maka ini adalah seruan bagi para kepala daerah, kader Posyandu, guru PAUD, dan para orang tua di NTT:

Cegah stunting bukan karena kita kaya, tetapi karena kita tidak mampu menanggung kerugian jika membiarkannya.

Pencegahan stunting adalah jalan keluar strategis bagi NTT. Mengalokasikan sumber daya untuk gizi ibu hamil, ASI eksklusif, makanan tambahan bergizi, dan stimulasi otak sejak dini bukan hanya tindakan kesehatan, tetapi kebijakan ekonomi masa depan.

Mari ubah cara berpikir. Cegah stunting = bangun ekonomi NTT. Nobel sudah membuktikannya. Sekarang giliran kita bertindak. (*)

Simak terus berita POS-KUPANG.COM di Google News 

 

Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved