Breaking News

Opini

Opini - Implikasi Kebijakan Pembekuan Rekening Tidak Aktif Selama 3 Bulan Oleh PPATK

PPATK) merupakan lembaga independen yang berperan penting dalam mencegah dan memberantas TPPU.

Editor: Alfons Nedabang
POS-KUPANG.COM/HO
MICHA RATU RIHI - Staf Pengajar di Politeknik Pertanian Negeri Kupang, Micha Snoverson Ratu Rihi. 

Oleh: Micha Snoverson Ratu Rihi
Staf Pengajar Kebijakan Perdagangan Pertanian, Politeknik Pertanian Negeri Kupang

POS-KUPANG.COM - Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan ( PPATK ) merupakan lembaga independen yang berperan penting dalam mencegah dan memberantas tindak pidana pencucian uang (TPPU) serta pendanaan terorisme di Indonesia. 

Salah satu usulan kebijakan terbaru yang mencuat adalah rencana pembekuan rekening bank milik nasabah yang tidak melakukan transaksi dalam jangka waktu tiga bulan.

Kebijakan ini menimbulkan diskursus luas karena berpotensi berdampak terhadap sistem perbankan, hak individu, pelaku usaha, serta keberlangsungan inklusi keuangan nasional.

Artikel ini bertujuan mengkaji implikasi dari kebijakan tersebut dari berbagai perspektif, antara lain aspek hukum, ekonomi, sosial, serta perlindungan hak konsumen.

Kebijakan pembekuan rekening pasif dimaksudkan untuk mencegah pemanfaatan rekening bank yang tidak aktif oleh pelaku kejahatan, seperti sindikat pencucian uang, pendanaan terorisme, hingga aktivitas keuangan ilegal lainnya.

Selama ini, banyak rekening yang tidak aktif secara transaksi namun tetap hidup secara administratif, sehingga rentan digunakan untuk tujuan-tujuan kriminal tanpa diketahui pemilik rekening sebenarnya.

Namun demikian, PPATK bukanlah lembaga yang memiliki kewenangan eksekutif untuk menutup atau membekukan rekening secara langsung.

Kebijakan ini hanya dapat dijalankan apabila didukung oleh regulasi formal seperti Undang-Undang atau Peraturan Bank Indonesia (BI) dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Dengan demikian, implementasi teknisnya perlu koordinasi dengan lembaga perbankan dan regulator terkait.

Implikasi dari Kebijakan

1. Implikasi Hukum dan Regulasi

Secara hukum, pembekuan rekening nasabah adalah tindakan serius yang menyangkut hak milik pribadi yang dilindungi oleh Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28G.

Oleh sebab itu, perlu ada dasar hukum yang kuat dan tidak bertentangan dengan hak konstitusional warga negara. Jika kebijakan ini dijalankan tanpa pengaturan yang jelas dan transparan, maka dapat menimbulkan sengketa hukum antara nasabah dengan pihak bank atau pemerintah.

Potensi pelanggaran terhadap perlindungan data pribadi dan prinsip non-retroaktif dalam hukum juga mungkin terjadi.

Maka dari itu, pengaturan lebih lanjut mengenai batas waktu, notifikasi kepada nasabah, dan prosedur reaktivasi rekening sangat penting untuk menjamin keadilan dan kepastian hukum.

2. Dampak terhadap Inklusi Keuangan

Salah satu agenda strategis pemerintah Indonesia adalah mendorong inklusi keuangan, yakni peningkatan akses masyarakat terhadap layanan keuangan formal, terutama bagi masyarakat di wilayah tertinggal, terluar, dan terpencil (3T).

Jika kebijakan pembekuan rekening dilakukan secara kaku, maka nasabah kecil, pelajar, petani, atau pekerja informal yang jarang melakukan transaksi berpotensi terdampak secara negatif.

Misalnya, seorang petani di desa membuka rekening untuk menerima bantuan sosial atau hasil panen musiman, namun karena tidak aktif selama tiga bulan, rekeningnya dibekukan.

Hal ini bisa menyebabkan ketidakpercayaan terhadap sistem perbankan, sehingga justru kontraproduktif terhadap tujuan inklusi keuangan yang tengah digalakkan oleh pemerintah.

3. Dampak Ekonomi dan Bisnis

Bagi dunia usaha, kebijakan ini dapat berdampak pada rekening perusahaan atau yayasan yang hanya digunakan untuk keperluan tertentu dalam waktu-waktu tertentu.

Misalnya, rekening escrow atau rekening dana cadangan proyek yang sifatnya dorman namun tetap sah. Jika rekening semacam itu dibekukan, maka kelangsungan bisnis bisa terganggu.

Selain itu, bank sebagai lembaga penyimpan dana masyarakat bisa mengalami penurunan kepercayaan dari nasabah, karena nasabah akan merasa dirugikan atas rekening yang dibekukan sepihak.

Potensi rush money atau penarikan dana secara massal juga menjadi risiko apabila kebijakan tidak disosialisasikan dengan benar.

4. Aspek Sosial dan Psikologis

Dari aspek sosial, masyarakat awam yang kurang memahami prosedur perbankan akan merasa cemas dan terancam dengan wacana pembekuan ini.

Rasa takut membuka rekening atau menyimpan uang di bank bisa meningkat, terutama di kalangan masyarakat berpendidikan rendah. Hal ini bisa berdampak buruk terhadap budaya menabung dan pengelolaan keuangan pribadi yang lebih formal.

Secara psikologis, nasabah yang merasa kehilangan kendali atas uangnya akibat pembekuan bisa mengalami stres, apalagi jika mereka membutuhkan dana secara mendadak untuk keperluan penting.

Oleh sebab itu, pendekatan kebijakan perlu mempertimbangkan kepekaan sosial dan kebutuhan riil masyarakat.

5. Dampak terhadap Perbankan dan Infrastruktur Sistem Pembayaran

Dari sisi perbankan, kebijakan ini akan menimbulkan beban administratif tambahan. Bank harus mengembangkan sistem pelacakan aktivitas rekening secara periodik, melakukan notifikasi otomatis kepada nasabah, serta menyediakan mekanisme reaktivasi yang cepat dan mudah.

Hal ini memerlukan investasi dalam teknologi informasi dan pelatihan SDM.

Di sisi lain, jika rekening pasif dibekukan terlalu cepat, bank juga bisa kehilangan potensi pendapatan dari nasabah tersebut di masa depan.

Oleh karena itu, kerja sama yang erat antara PPATK, OJK, dan perbankan diperlukan agar kebijakan ini tidak menimbulkan beban teknis berlebihan.

Rekomendasi Implementasi

Agar kebijakan ini tidak menimbulkan dampak negatif yang lebih besar daripada manfaatnya, beberapa rekomendasi yang dapat dipertimbangkan antara lain:

Pertama, Penyesuaian Waktu Dormansi.

Waktu tiga bulan mungkin terlalu pendek untuk mengklasifikasikan rekening sebagai “tidak aktif”.

Idealnya, penetapan rekening dorman mengacu pada praktik perbankan global yang umumnya menggunakan batas waktu 6 bulan hingga 1 tahun.

Kedua, Pemberitahuan Berlapis kepada Nasabah

Sebelum dilakukan pembekuan, nasabah harus diberi pemberitahuan secara berlapis (melalui SMS, email, atau surat) dengan tenggat waktu yang jelas dan prosedur aktivasi yang mudah.

Ketiga, Pengecualian untuk Rekening Tertentu

Rekening milik pelajar, lansia, penerima bantuan sosial, dan pelaku usaha kecil perlu diberi perlakuan khusus agar tidak terkena dampak negatif.

Keempat, Mekanisme Reaktivasi yang Mudah dan Cepat

Bank perlu menyediakan sistem yang efisien bagi nasabah untuk mengaktifkan kembali rekening hanya dengan transaksi sederhana seperti setor tunai atau transfer kecil.

Kelima, Kampanye Edukasi Nasional

Pemerintah bersama bank dan OJK harus melakukan edukasi secara luas agar masyarakat memahami alasan dan tujuan dari kebijakan ini, serta bagaimana mereka dapat melindungi rekeningnya.

Kesimpulan

Kebijakan pembekuan rekening tidak aktif selama tiga bulan oleh PPATK bertujuan baik dalam rangka mencegah tindak pidana keuangan dan menciptakan sistem keuangan yang lebih bersih.

Namun, jika tidak dirancang dan diimplementasikan dengan hati-hati, kebijakan ini berisiko menimbulkan dampak negatif terhadap hak individu, inklusi keuangan, keberlangsungan bisnis, dan stabilitas perbankan.

Pendekatan yang lebih proporsional, transparan, dan berbasis kebutuhan sosial-ekonomi sangat diperlukan agar kebijakan ini bisa efektif tanpa menimbulkan keresahan publik.

Pada akhirnya, keberhasilan kebijakan ini sangat bergantung pada komunikasi yang baik, regulasi yang jelas, serta kesiapan infrastruktur perbankan nasional. (*)

Ikuti berita POS-KUPANG.COM lain di GOOGLE NEWS

Sumber: Pos Kupang
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved