Opini
Opini: Nusa Tenggara Timur Menuju Swasembada Pangan
Swasembada pangan bagi NTT berarti lebih dari sekadar ketahanan, ia adalah jalan menuju kemandirian dan kesejahteraan rakyatnya.
Oleh: Dewi Kurnia Ayuningtyas
ASN di Badan Pusat Statistik
POS-KUPANG.COM - Swasembada pangan, yang kini menjadi prioritas kerja pemerintah, adalah impian besar yang diusung oleh setiap daerah di Indonesia.
Bagi Provinsi Nusa Tenggara Timur ( NTT), cita-cita ini bukan sekadar harapan, tetapi kebutuhan mendesak di tengah tantangan alam yang keras dan geografis yang menantang.
Di balik lanskap kering dan terjal, NTT menyimpan potensi agraria yang luar biasa.
Swasembada pangan bagi NTT berarti lebih dari sekadar ketahanan, ia adalah jalan menuju kemandirian dan kesejahteraan rakyatnya.
Laporan terbaru dari Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi NTT, dalam "Ringkasan Eksekutif Luas Panen dan Produksi Padi 2024", menyajikan gambaran yang layak menjadi perhatian bersama.
Pada tahun 2024, luas panen padi di NTT tercatat sebesar 168,73 ribu hektare.
Produksinya mencapai 707,79 ribu ton gabah kering giling (GKG), yang setara dengan 414,58 ribu ton beras untuk konsumsi penduduk.
Namun angka-angka tersebut justru mengalami penurunan sekitar 7,70 persen dibandingkan dengan tahun sebelumnya.
Angka penurunan tersebut menandakan adanya tantangan besar yang masih menghambat terwujudnya swasembada pangan di NTT.
Tantangan-tantangan ini meliputi keterbatasan infrastruktur pertanian, ketergantungan pada musim hujan, minimnya akses air irigasi, dan kurangnya penyuluhan serta adopsi teknologi modern oleh petani.
Namun demikian, bukan berarti harapan itu pupus. Justru di tengah berbagai tantangan tersebut, terdapat potensi besar yang bisa dioptimalkan.
Beberapa kabupaten seperti Manggarai Barat, Manggarai, dan Manggarai Timur konsisten menjadi tulang punggung produksi padi di NTT.
Bahkan awal tahun 2025 menunjukkan lonjakan potensi produksi di kabupaten seperti Nagekeo dan Ngada.
Ini menandakan bahwa dengan pengelolaan yang baik dan kebijakan yang mendukung, sektor pertanian di NTT masih sangat bisa ditingkatkan.
Salah satu langkah maju dalam mendukung swasembada pangan di NTT adalah pemanfaatan teknologi modern dalam pemantauan dan pendataan pertanian.
Badan Pusat Statistik (BPS) telah mengadopsi metode Kerangka Sampel Area (KSA) berbasis citra satelit untuk memantau pertumbuhan tanaman padi secara lebih akurat.
Selain itu, Survei Ubinan digunakan untuk menghitung produktivitas per hektare secara objektif di lapangan.
Pendekatan berbasis data ini tidak hanya meningkatkan akurasi informasi, tetapi juga menjadi fondasi penting dalam perumusan kebijakan pangan yang tepat sasaran, efisien, dan berbasis kebutuhan nyata petani.
Namun, teknologi saja tidak cukup untuk menjawab seluruh tantangan di lapangan.
Realitasnya, sebagian besar lahan sawah di NTT masih mengandalkan sistem tadah hujan, yang membuat produksi sangat fluktuatif dan tidak stabil dari tahun ke tahun.
Ketika musim kemarau datang lebih cepat atau curah hujan tidak sesuai harapan, petani kehilangan pegangan.
Mereka tidak memiliki cukup pilihan atau cadangan untuk mengatasi dampak perubahan iklim yang kian ekstrem, dan ini memperparah kerentanan sektor pertanian lokal.
Contohnya bisa dilihat pada Subround Januari hingga April 2024, di mana produksi padi anjlok hingga 28,83 persen dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya.
Penurunan ini disebabkan oleh kombinasi penurunan luas panen dan turunnya produktivitas akibat kondisi cuaca yang kurang bersahabat.
Kendala lain yang tak kalah penting adalah minimnya akses terhadap sarana dan prasarana pertanian.
Banyak petani di pedesaan masih kesulitan memperoleh pupuk, benih unggul, alat pertanian modern, dan akses pasar.
Keterbatasan ini tentu berdampak langsung pada hasil panen dan kesejahteraan petani.
Ketimpangan antardaerah juga menjadi perhatian. Kabupaten seperti Lembata, Kota Kupang, dan Sabu Raijua, misalnya, berada di posisi terbawah dalam kontribusi produksi padi.
Ini menunjukkan perlunya pendekatan pembangunan pertanian yang lebih merata, tidak hanya fokus pada daerah-daerah yang sudah maju.
Maka dari itu, strategi swasembada pangan di NTT harus menyeluruh. Tidak cukup hanya dengan menambah luas tanam atau meningkatkan intensifikasi.
Diperlukan inovasi dalam sistem tanam, seperti penggunaan varietas tahan kekeringan, irigasi hemat air seperti irigasi tetes, serta integrasi pertanian dengan peternakan dan perikanan.
NTT juga perlu menengok kekayaan pangan lokal. Jangan hanya terpaku pada beras.
Sorgum, jagung, ubi, dan berbagai umbi-umbian lokal yang sudah lama menjadi sumber pangan masyarakat bisa dimajukan sebagai alternatif.
Diversifikasi pangan berbasis kearifan lokal bukan hanya memperkuat ketahanan pangan, tetapi juga membangun kebanggaan daerah.
Untuk itu, kolaborasi semua pihak sangat dibutuhkan. Pemerintah daerah harus memperkuat layanan penyuluhan pertanian dan memperluas program bantuan yang tepat sasaran.
Pemerintah pusat perlu memberikan dukungan kebijakan dan anggaran. Perguruan tinggi, lembaga riset seperti BRIN, hingga sektor swasta, harus aktif dalam menciptakan inovasi pertanian yang sesuai dengan karakteristik lokal.
Di era digital, pemanfaatan teknologi informasi tidak boleh ketinggalan. Sistem pemantauan cuaca mikro, prediksi panen, hingga platform pemasaran digital bisa membantu petani dalam pengambilan keputusan dan distribusi hasil panen.
Swasembada pangan bukan sekadar persoalan berapa ton padi dihasilkan setiap musim panen, melainkan menyangkut bagaimana seluruh elemen dalam ekosistem pertanian, mulai dari petani, penyuluh, pemerintah, lembaga riset, swasta, hingga konsumen, bekerja secara terpadu dan berkelanjutan.
Ini bukan hanya soal produksi di sawah, tapi juga mencakup akses terhadap teknologi pertanian, ketersediaan benih unggul, jaminan pasar yang adil, kepastian harga, serta infrastruktur yang memadai dari ladang hingga meja makan.
Dalam ekosistem yang ideal, petani tidak dibiarkan bekerja sendiri di tengah ketidakpastian cuaca dan harga.
Mereka mendapatkan dukungan dari penyuluh yang aktif, teknologi yang terjangkau, serta kebijakan yang berpihak.
Rantai pasok pun bergerak efisien karena distribusi lancar dan akses pasar terbuka.
Konsumen juga diberdayakan untuk mencintai dan mengonsumsi produk pangan lokal sebagai wujud partisipasi dalam menjaga kemandirian pangan daerah.
Jika semua elemen ini saling terhubung dan bergerak dalam irama yang selaras, maka swasembada pangan bukan lagi sekadar wacana, melainkan kenyataan yang bisa dihadirkan.
Mimpi NTT untuk menjadi provinsi yang mandiri dan kuat secara pangan bukanlah angan-angan kosong, tetapi tujuan nyata yang bisa dicapai melalui kerja sama, komitmen, dan keberpihakan yang konsisten terhadap sektor pertanian dan pelaku-pelakunya.
Penurunan angka produksi padi pada tahun 2024 memang menjadi tantangan serius, tetapi juga menjadi alarm yang mengingatkan kita bahwa perubahan tak bisa lagi ditunda.
Ini bukan sekadar statistik, melainkan sinyal nyata akan perlunya langkah cepat, cerdas, dan kolaboratif.
Masyarakat NTT berhak atas pangan yang cukup, bergizi, dan terjangkau—hak dasar yang harus dijamin oleh negara.
Untuk mencapainya, diperlukan kebijakan yang berpihak pada petani, investasi yang menyentuh akar persoalan, serta inovasi yang berkelanjutan dan sesuai dengan kondisi lokal.
Dari ujung timur Indonesia, suara lumbung pangan mulai menggema—belum nyaring, tapi menjanjikan.
Mari kita jaga agar gaung itu tidak sekadar terdengar, tapi menginspirasi perubahan nyata demi masa depan NTT yang mandiri, berdaulat, dan sejahtera dalam bidang pangan. (*)
Simak terus berita POS-KUPANG.COM di Google News
swasembada pangan
Nusa Tenggara Timur
Opini Pos Kupang
Dewi Kurnia Ayuningtyas
Badan Pusat Statistik
NTT
Opini: Prada Lucky dan Tentang Degenerasi Moral Kolektif |
![]() |
---|
Opini: Drama BBM Sabu Raijua, Antrean Panjang Solusi Pendek |
![]() |
---|
Opini: Kala Hoaks Menodai Taman Eden, Antara Bahasa dan Pikiran |
![]() |
---|
Opini: Korupsi K3, Nyawa Pekerja Jadi Taruhan |
![]() |
---|
Opini: FAFO Parenting, Apakah Anak Dibiarkan Merasakan Akibatnya Sendiri? |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.