Opini

Opini: Societas Verbi Divini, Oase di Savana Iman Sumba

Keberadaan Societas Verbi Divini di Sumba tentu saja melalui perjalanan panjang penuh makna untuk melakukan karya misi. 

|
Editor: Dion DB Putra
POS-KUPANG.COM/HO-DOK PRIBADI
Ignasius Sara 

Sejak perutusan itu, Societas Verbi Divini bermisi di Sumba periode pertama dimulai.

Pater Limbrock mengambil keputusan penting dalam sejarah misi Katolik di Sumba pada bulan Oktober 1929. 

Ia memindahkan pusat misi Katolik dari Wanno Petri ke Weetebula, sebuah lokasi yang berjarak kurang lebih 11 Kilometer arah barat dari Pakamandara. 

Mula-mula, ia menempati rumah pastoran sederhana di tempat baru tersebut. Hal itu merupakan langkah awal untuk perjalanan misi Katolik Sumba yang transformatif. 

Kata transformatif berasal dari kata dasar transformasi (bahasa Latin: “trans” yang artinya di seberang, melewati, melampaui; dan “forma-ae” yang artinya bentuk). 

Jadi,  transformasi adalah perubahan bentuk, melampaui bentuk yang ada, tentu saja ke arah yang lebih baik.  

Societas Verbi Divini melalui Pater Limbrock cenderung memulai karya misi di wilayah yang tak berpenghuni dan membangun jaringannya tersendiri. 

Weetebula saat itu nyaris tidak memiliki penduduk, hanya ada beberapa pondok di sekitar tempat tinggal sang misionaris.  

Weetebula dianggap sebagai kawasan berbahaya karena sering terjadi pertempuran sebelum Pemerintahan Hindia Belanda menguasai wilayah itu. Kelak, tempat yang tak berpenghuni ini malah menjadi pusat misi Katolik yang terkenal. 

Weetebula juga dikenal sebagai kawasan netral antara tiga distrik, yaitu Loura, Wewewa, dan Kodi. Secara geografis, wilayah itu juga subur dan berkelimpahan air. 

Sesuai dengan arti kata Weetebula dalam bahasa setempat, yaitu”wee’ yang berarti air dan “tebula” yang berarti bual. Jadi, Weetebula memiliki arti air yang membual dari bawah (tanah). Tempat itu juga kaya akan batu gamping atau batu putih. 

Konon, berdasarkan uji laboratorium di Bandung-Indonesia dan Jerman, batu putih tersebut dinyatakan sangat layak menjadi bahan bangunan. Adapun titik cair batu putih itu adalah 140°C.

Pater Limbrock juga membangun gedung sekolah, asrama, dan rumah untuk para guru di Weetebula pada bulan Oktober 1929. Bangunan tersebut dibuat dari bahan kayu dengan atap yang terbuat dari alang-alang. 

Sekolah itu mulai beroperasi dengan jumlah murid sebanyak 90 orang, yang terdiri dari laki-laki dan perempuan. 

Sebagian besar dari mereka adalah orang-orang yang telah dibaptis misionaris Societas Iesu di Loura.

Halaman 3 dari 4
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved