Mengejar Ketertinggalan Mencari Daya Ungkit Untuk Kemandirian Energi dan Ekonomi NTT

Total potensi energi terbarukan di Nusa Tenggara Timur (NTT) mencapai 388.310 megawatt (MW), yang 95% di antaranya adalah energi surya

|
Penulis: Alfred Dama | Editor: Alfred Dama
Ist/Alfred Dama
Panel listrik tenaga Surya di Desa Mataredi, Sumba Tengah 

PDRB NTT adalah yang terendah kedua di Indonesia. Ini disertai tingginya angka kemiskinan yang mencapai 19,96 persen pada 2023—dua kali lipat angka median nasional 9,36 persen. Sebagian besar PDRB NTT disumbangkan sektor pertanian, kehutanan, dan perikanan, tapi ironisnya angka Nilai Tukar Petani (NTP) di provinsi tersebut adalah yang terendah di Indonesia. Artinya, petani mengalami defisit dan hal ini akan diperparah dampak perubahan iklim.


Sumber daya manusia NTT juga berkualitas rendah. Angka prevalensi stunting NTT tertinggi di Indonesia. Lebih dari separuh penduduk NTT hanya berpendidikan SD atau lebih rendah. Indeks Pembangunan Manusia (IPM) yang dibentuk tiga dimensi dasar (umur panjang dan hidup sehat, pengetahuan, standar hidup layak) NTT juga terendah ketiga di Indonesia.


Rendahnya IPM, kualitas SDM, dan perputaran ekonomi NTT tidak lepas dari terbatasnya akses dan konsumsi energi—terutama listrik—di sana. Meski telah meningkat dalam beberapa tahun terakhir hingga menyentuh 95,27 persen per 2023, rasio elektrifikasi NTT tetap merupakan yang terendah ketiga di Indonesia. Konsumsi listrik per kapita masyarakat NTT pun hanya seperlima dari konsumsi rata-rata nasional.

Kesenjangan Sosial-Ekonomi NTT 2
Kesenjangan Sosial-Ekonomi NTT

Karena itu, pemerintah berusaha meningkatkan akses dan konsumsi listrik, terutama dengan memanfaatkan potensi besar energi terbarukan NTT, untuk mendorong pembangunan provinsi tersebut. Ini tertuang, misalnya, dalam RPJMN dan RUED NTT.


Masalahnya, perencanaan dalam dokumen-dokumen tersebut dibuat dengan baseline kondisi sosial dan ekonomi NTT yang saat ini masih marginal. Sejumlah faktor lain pun jadi pertimbangan, seperti lambatnya pertumbuhan berbagai indikator pembangunan di masa lalu, terbatasnya pembiayaan, kondisi geografis NTT sebagai provinsi kepulauan, dan lokasi penduduknya yang terpencar.


Ini semua membuat perencanaan dan berbagai asumsi yang diambil menjadi sangat konservatif dan tidak menyediakan ruang gerak yang cukup untuk melonjak cepat atau membuat sasaran yang bersifat lebih ideal.


 RPJMN, misalnya, memproyeksikan tingkat kemiskinan NTT pada 2029 masih akan tiga kali lebih buruk dari angka nasional. Di saat yang sama, PDRB per kapita diperkirakan masih jadi yang terendah kedua di Indonesia.


Sementara itu, skenario optimistis RUED menunjukkan konsumsi energi final NTT hanya akan mencapai 1,93 BOE per kapita pada 2034. Ini bahkan masih jauh di bawah angka nasional pada 2023 sebesar 4,38 BOE per kapita. Penggunaan energi tradisional seperti minyak tanah dan kayu bakar pun akan tetap dominan, yang berujung pada emisi gas rumah kaca lebih besar dan hadirnya sejumlah dampak lingkungan dan kesehatan, khususnya kepada perempuan dan anak-anak.


Maka, bisa dikatakan proyeksi ke depan atau forecasting berdasarkan baseline tidak sesuai dengan kondisi sosial dan ekonomi NTT.

Kesenjangan Sosial-Ekonomi NTT
Kesenjangan Sosial-Ekonomi NTT

Pendekatan ini kurang memungkinkan untuk mencari daya ungkit besar nan inovatif yang dapat mengakselerasi pembangunan NTT.


Solusi

Alih-alih menggunakan forecasting, metode perencanaan backcasting yang lebih berorientasi pada visi ke depan bisa menjadi alternatif. Dengan backcasting, kondisi masa depan yang diinginkan ditetapkan terlebih dahulu, barulah sumber daya yang diperlukan diupayakan serta berbagai kendala yang ada dicarikan penyelesaiannya.


Khusus untuk sektor energi, Pemerintah Provinsi NTT telah merumuskan RUED 2025-2034 yang mengusung visi "Terwujudnya kemandirian energi yang produktif, andal, berkelanjutan, dan berkeadilan". Dokumen ini dibuat dengan menggunakan pendekatan bottom-up dan telah mengintegrasikan isu gender and inklusi sosial.


Visi tersebut kemudian diturunkan menjadi enam misi:


Menciptakan sebanyak dan sesegera mungkin kebutuhan energi yang produktif untuk melonjakkan baseline dan mengakselerasi pertumbuhan sosial-ekonomi.
Mengentaskan sesegera mungkin konsumsi energi yang marginal dan kemiskinan energi.
Intensifikasi dan ekstensifikasi pemanfaatan energi terbarukan, termasuk mengembangkan energi sebagai komoditas.

Halaman
123
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved