Opini
Opini: Polemik Pungutan SMA di NTT
Ini bukan sekadar masalah "uang", melainkan cermin dari dilema besar kita dalam memajukan pendidikan di tengah keterbatasan.
Sekolah adalah garda terdepan pendidikan. Kepala sekolah dan guru adalah aktor utama yang paling memahami kondisi riil di lapangan.
Ketika mereka mengajukan kebutuhan dana tambahan, itu bukan sekadar permintaan, melainkan upaya nyata untuk meningkatkan kualitas yang tak bisa ditunda.
Konsep "School-Based Management" (SBM) atau Manajemen Berbasis Sekolah, yang populer di negara-negara maju seperti Amerika Serikat dan Inggris sejak tahun 1980-an, mendukung penuh otonomi sekolah dalam mengelola sumber daya.
Seperti yang diungkapkan oleh Richard F. Elmore (2000), seorang pakar reformasi pendidikan dari Harvard University, SBM bertujuan mendekatkan pengambilan keputusan ke tingkat sekolah, di mana kebutuhan dan solusi dapat diidentifikasi secara lebih akurat.
Ini esensial agar inovasi pembelajaran dan peningkatan fasilitas tidak hanya menunggu gelontoran dana pusat yang seringkali terbatas dan rigid.
2. Orang Tua: Mitra Strategis dan Penentu Keberhasilan
Saya percaya, sebagian besar orang tua yang setuju dengan pungutan itu melakukannya bukan karena terpaksa, melainkan karena mereka memahami bahwa investasi pada pendidikan anak adalah investasi terbaik.
Mereka melihat langsung bagaimana fasilitas yang lebih baik atau program tambahan bisa menunjang potensi anak. Ini sejalan dengan Teori Modal Sosial (Social Capital Theory) yang dikemukakan oleh James S. Coleman (1988).
Coleman berargumen bahwa keterlibatan orang tua dan dukungan komunitas (termasuk finansial) menciptakan modal sosial yang kuat di sekolah, yang pada gilirannya berkorelasi positif dengan peningkatan prestasi akademik siswa dan iklim sekolah yang kondusif. Ketika orang tua merasa memiliki andil, kepedulian mereka akan jauh lebih besar.
3. Komite Sekolah: Jembatan Aspirasi dan Pengawas Partisipatif
Komite sekolah seharusnya menjadi benteng transparansi dan akuntabilitas. Mereka adalah perpanjangan tangan orang tua dan masyarakat di sekolah.
Dalam kasus pungutan, komite bertanggung jawab penuh memastikan proses musyawarah berjalan demokratis, tanpa paksaan, dan hasil kesepakatan digunakan secara tepat guna.
Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) Nomor 20 Tahun 2003, Pasal 47 ayat (1), jelas mengamanatkan partisipasi masyarakat dalam pendidikan.
Namun, Permendikbud Nomor 75 Tahun 2016 yang mengatur komite sekolah memiliki "celah" yang seringkali jadi akar masalah: Komite boleh menggalang dana, tapi tidak boleh memberatkan, wajib, atau menentukan jumlahnya.
Lalu, bagaimana kita mendefinisikan "memberatkan" atau "wajib" jika ada kesepakatan bersama? Inilah area abu-abu yang butuh klarifikasi regulasi yang lebih fleksibel namun tetap adil.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.