Opini
Opini: Peran Sekolah dalam Membangun Identitas Nasional dan Kebanggaan Budaya
Generasi muda, yang merupakan kelompok paling rentan terhadap pengaruh ini, seringkali mengalami konflik identitas.
Oleh: Inosensius Enryco Mokos
Dosen Ilmu Komunikasi ISBI Bandung
POS-KUPANG.COM - Di tengah arus globalisasi yang semakin deras, identitas nasional dan kebanggaan budaya menjadi pilar krusial bagi kelangsungan sebuah bangsa.
Pengaruh budaya global, yang kerap kali membawa nilai-nilai asing, menimbulkan tantangan serius terhadap jati diri generasi muda.
Dalam konteks ini, sekolah sebagai institusi pendidikan formal memegang peran sentral dan tak tergantikan.
Pertanyaan mendasar yang muncul adalah: bagaimana sekolah berkontribusi dalam menanamkan rasa cinta tanah air, menghargai keberagaman budaya, dan memperkuat identitas nasional pada generasi muda di tengah pengaruh budaya global yang masif?
Esai ini akan mengupas tuntas permasalahan tersebut, didukung data akurat, kutipan pemikir ternama, serta saran argumentatif untuk memperkuat peran sekolah.
Tantangan dan Urgensi Peran Sekolah di Era Globalisasi
Era globalisasi ditandai dengan kemudahan akses informasi dan pertukaran budaya lintas batas. Fenomena ini, di satu sisi, membuka wawasan dan memperkaya khazanah pengetahuan.
Namun, disisi lain, ia juga membawa dampak negatif yang mengikis identitas lokal dan nasional.
Generasi muda, yang merupakan kelompok paling rentan terhadap pengaruh ini, seringkali mengalami konflik identitas.
Mereka terombang-ambing antara nilai-nilai tradisional yang diwariskan dan gaya hidup "modern" yang disajikan oleh budaya global.
Data terbaru menunjukkan urgensi permasalahan ini. Survei Populix pada Oktober 2023 mengungkapkan bahwa 65 persen masyarakat Indonesia merasakan penurunan semangat nasionalisme di kalangan generasi muda.
Bahkan, mayoritas generasi Z (usia 11-26 tahun) mengakui adanya penurunan ini.
Lebih lanjut, data dari Direktorat Jenderal Politik dan Pemerintahan Umum Kementerian Dalam Negeri menunjukkan 24 persen generasi muda tidak hafal Pancasila, 53 persen tidak hafal lagu kebangsaan, dan yang paling engkhawatirkan, 61 persen tidak peduli dengan kondisi bangsa (RSB Banjarkab, Agustus 2024).
Angka-angka ini mengindikasikan adanya erosi nilai dan tradisi lokal, serta konflik identitas yang membahayakan kohesi sosial dan masa depan bangsa.
Pengaruh budaya asing yang tidak sesuai dengan norma luhur bangsa Indonesia, seperti konsumerisme, individualisme, dan materialisme, semakin menggerus kepribadian generasi muda.
Bangsa yang kehilangan bahasa adalah bangsa yang kehilangan identitas.
Hal ini menegaskan bahwa bahasa, sebagai salah satu pilar budaya, adalah cerminan identitas bangsa.
Ketika bahasa daerah tergeser oleh bahasa asing, atau ketika nilai-nilai luhur bangsa mulai ditinggalkan, maka identitas nasional pun terancam.
Oleh karena itu, sekolah memiliki tanggung jawab besar untuk menjadi benteng pertahanan moral dan budaya bangsa.
Strategi dan Kontribusi Sekolah dalam Membangun Identitas Nasional Sekolah, sebagai miniatur masyarakat, memiliki potensi besar untuk menanamkan nilai-nilai kebangsaan dan kebudayaan.
Kontribusi ini dapat diwujudkan melalui berbagai strategi yang terintegrasi dalam seluruh aspek pendidikan.
Kurikulum harus dirancang untuk tidak hanya mentransfer pengetahuan, tetapi juga menanamkan nilai-nilai Pancasila, sejarah perjuangan bangsa, dan kekayaan budaya Indonesia.
Mata pelajaran seperti Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn), Sejarah, dan Seni Budaya harus diperkuat dengan pendekatan yang interaktif dan relevan dengan kehidupan siswa.
Ki Hajar Dewantara, Bapak Pendidikan Nasional Indonesia, menyatakan, "Pendidikan dan pengajaran di dalam Republik Indonesia harus berdasarkan kebudayaan dan kemasyarakatan bangsa Indonesia, menuju ke arah kebahagiaan batin serta keselamatan hidup lahir."
Ini menunjukkan pentingnya pendidikan yang berakar pada budaya bangsa.
Selain itu, kegiatan ekstrakurikuler dan kokurikuler seperti pramuka, palang merah remaja (PMR), seni tari daerah, musik tradisional, dan klub bahasa daerah menjadi wadah efektif untuk mengembangkan rasa cinta tanah air dan kebanggaan budaya.
Melalui kegiatan ini, siswa tidak hanya belajar, tetapi juga mengalami dan menghargai warisan budaya secara langsung.
Partisipasi aktif dalam upacara bendera, peringatan hari-hari besar nasional, dan kegiatan sosial kemasyarakatan juga memperkuat rasa memiliki terhadap bangsa.
Peran guru sebagai teladan dan agen perubahan juga sangat krusial. Guru bukan hanya pengajar, tetapi juga pendidik dan teladan.
Sikap nasionalis, toleransi, dan kecintaan terhadap budaya yang ditunjukkan oleh guru akan sangat mempengaruhi pembentukan karakter siswa.
Guru harus mampu mengintegrasikan nilai-nilai kebangsaan dalam setiap mata pelajaran, menciptakan diskusi yang konstruktif tentang isu-isu nasional, dan mendorong siswa untuk berpikir kritis serta berpartisipasi aktif dalam memajukan bangsa.
Seperti yang dikatakan Ki Hajar Dewantara, Ing Ngarso Sung Tulodo, Ing Madyo Mbangun Karyo, Tut Wuri Handayani (Di depan memberi teladan, di tengah membangun semangat, di belakang memberi dorongan).
Filosofi ini sangat relevan dengan peran guru dalam membentuk karakter siswa.
Terakhir, kolaborasi dengan komunitas dan keluarga juga sangat penting. Sekolah tidak dapat berdiri sendiri.
Kolaborasi dengan orang tua, tokoh masyarakat, dan lembaga adat sangat penting untuk menciptakan ekosistem pendidikan yang holistik.
Program-program yang melibatkan keluarga dalam pelestarian budaya, seperti festival budaya sekolah atau kunjungan ke situs-situs bersejarah, dapat memperkuat ikatan emosional siswa dengan identitas nasional mereka.
Saran Keberlanjutan
Untuk mengatasi permasalahan lunturnya nasionalisme dan identitas budaya, beberapa saran argumentatif dapat diajukan.
Pertama, diperlukan reformasi kurikulum yang inovatif dan kontekstual. Kurikulum harus lebih adaptif dan kontekstual, tidak hanya berfokus pada teori, tetapi juga pada praktik dan pengalaman nyata.
Pembelajaran sejarah dan budaya dapat diperkaya dengan kunjungan lapangan, proyek kolaboratif, dan penggunaan media digital interaktif, seperti membuat film dokumenter pendek tentang pahlawan lokal atau mengembangkan aplikasi yang memperkenalkan budaya daerah.
Hal ini akan membuat pembelajaran lebih menarik dan relevan bagi generasi digital.
Kedua, peningkatan kompetensi guru dalam pendidikan karakter dan multikulturalisme sangat esensial.
Guru perlu dibekali dengan pelatihan berkelanjutan mengenai strategi efektif dalam menanamkan nilai-nilai nasionalisme, toleransi, dan apresiasi keberagaman budaya, termasuk kemampuan mengelola kelas multikultural, memfasilitasi dialog antar budaya, dan menjadi teladan yang inspiratif.
Investasi dalam pengembangan profesional guru adalah investasi dalam masa depan bangsa.
Ketiga, optimalisasi pemanfaatan teknologi untuk penguatan identitas dapat menjadi solusi. Teknologi, yang sering dianggap sebagai penyebab masalah, sebenarnya dapat menjadi alat yang kuat.
Sekolah dapat memanfaatkan platform digital untuk menyebarkan konten edukasi tentang budaya dan sejarah Indonesia yang menarik, mengadakan kompetisi kreatif berbasis budaya (misalnya, desain batik digital, musik etnik modern), atau membangun komunitas daring yang fokus pada pelestarian budaya.
Ini akan menjembatani kesenjangan antara budaya lokal dan minat generasi muda terhadap teknologi.
Keempat, penguatan peran komite sekolah dan keterlibatan orang tua juga krusial.
Komite sekolah harus lebih aktif dalam merumuskan kebijakan yang mendukung penguatan identitas nasional dan budaya.
Orang tua perlu dilibatkan secara aktif dalam program- program sekolah yang bertujuan menanamkan nilai-nilai kebangsaan, misalnya melalui lokakarya parenting tentang pendidikan karakter di rumah.
Sinergi antara sekolah, keluarga, dan masyarakat akan menciptakan lingkungan yang kondusif bagi pembentukan identitas yang kuat.
Terakhir, membangun ekosistem sekolah yang inklusif dan toleran adalah fondasi penting.
Sekolah harus menjadi tempat di mana setiap siswa merasa dihargai tanpa memandang latar belakang suku, agama, ras, atau golongan.
Program anti-bullying, kegiatan yang mempromosikan persahabatan antar budaya, dan perayaan keberagaman harus menjadi bagian integral dari kehidupan sekolah.
Lingkungan yang inklusif akan menumbuhkan rasa persatuan dan kebanggaan sebagai bagian dari bangsa yang beragam.
Sekolah adalah garda terdepan dalam membentuk identitas nasional dan menumbuhkan kebanggaan budaya pada generasi muda.
Di tengah gempuran budaya global, peran sekolah menjadi semakin vital sebagai benteng pertahanan nilai-nilai luhur bangsa.
Melalui kurikulum yang relevan, kegiatan ekstrakurikuler yang bervariasi, keteladanan guru, serta kolaborasi dengan komunitas dan keluarga, sekolah dapat secara efektif menanamkan rasa cinta tanah air, menghargai keberagaman, dan memperkuat jati diri bangsa. Semoga! (*)
Simak terus berita POS-KUPANG.COM di Google News
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.