Opini

Opini: Urgensitas Digital Parenting Bagi Generasi Alfa

Misalnya seorang anak yang mengikuti cara berbicara di podcast tanpa ia memahami arti sebenarnya. 

|
Editor: Dion DB Putra
DOK PRIBADI
Gebrile Mikael Mareska Udu. 

Oleh: Gebrile Mikael Mareska Udu
Mahasiswa Filsafat-Teologi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta

POS-KUPANG.COM - Perubahan zaman yang berlangsung dari tahun ke tahun turut mempengaruhi karakteristik setiap generasi yang lahir di tengah dunia. Setiap generasi bertumbuh dan berkembang sesuai konteks zaman yang ada. 

Setiap negara pun memiliki batasan tersendiri mengenai tingkatan generasi yang mendiami bumi. 

Berdasarkan penelitian dari lembaga Mark McCrindle dari Australia, mereka menyebutkan bahwa generasi yang lahir dalam rentang 2010 hingga 2025 adalah generasi yang akrab dengan teknologi. 

Tidak hanya itu, mereka juga adalah generasi yang diklaim memiliki kecerdasan yang lebih dibandingkan dengan generasi sebelum-sebelumnya seperti generasi baby boomers, generasi X, generasi Y, dan generasi Z. Generasi tersebut dikenal dengan generasi Alfa.

Adapun secara terperinci karakteristik generasi alfa dalam hubungannya dengan teknologi tampak di dalam cara pemecahan masalah dengan menggunakan teknologi. 

Kita bisa menemukan pemandangan umum melihat anak SD bahkan TK memegang gawainya sendiri. 

Pada saat mereka mengalami kesulitan, mereka tidak perlu bersusah payah untuk bertanya kepada orang tua karena semua jawaban telah tersedia lengkap di perangkap digitalnya. 

Contoh lain bisa ditemukan dalam kebutuhan bermain dari seorang anak yang dihabiskan dengan game online. 

Tanpa harus sibuk mencari teman di lingkungan sekitar rumah, seorang anak bisa menemukan temannya di dalam aplikasi game online padahal nyatanya jarak mereka berjauhan. 

Tak dapat dipungkiri bahwa relasi antara generasi alfa dan teknologi berdampak negatif bagi generasi alfa

Keterlibatan anak dalam dunia digital berisiko memasukkan mereka ke dalam komunitas/wadah yang tidak sesuai dengan batasan usianya. 

Selain itu, kehidupan generasi alfa yang ditandai dengan kebanjiran informasi serta menurunnya relasi personal dengan sesama, baik orang tua, saudara kandung, kakek, nenek atau teman-teman dapat memberikan tantangan bagi kehidupan mereka.

Tantangan Teknologi Bagi Generasi Alfa

Tantangan teknologi bagi generasi alfa yang dimaksudkan sebelumnya dapat dikategorikan dalam empat poin berikut (Widayati, 2025). 

Pertama, kerentanan terpapar konten pornografi. Banyak orang yang tidak bertanggung jawab dalam dunia digital memanfaatkan media digital sebagai tempat penyebaran konten pornografi untuk tujuan tertentu. 

Tindakan tersebut pada akhirnya mempengaruhi anak-anak yang dengan mudah mengakses konten tersebut. 

Anak yang terpapar konten pornografi berisiko membuatnya ingin meniru karena hasrat yang terbangkitkan tetapi belum disertai kontrol kesadaran yang matang. 

Kedua, kurangnya sikap penyeleksian informasi. Memang relasi yang harmonis antara teknologi dan generasi alfa memudahkan proses perolehan informasi. 

Bahkan informasi yang ditawarkan pun bermacam-macam. Sayangnya  kebanjiran informasi yang tidak dibarengi kemampuan untuk menyaring informasi yang benar dan salah berakibat pada penipuan atau hoaks. 

Anak-anak lambat laun percaya akan informasi yang sejatinya salah dan tidak bermanfaat baginya.

Misalnya seorang anak yang mengikuti cara berbicara di podcast tanpa ia memahami arti sebenarnya. 

Ia mengungkapkan kata-kata kasar ketika berelasi dengan orang lain sebagaimana ia temukan dalam podcast. 

Ketiga, turunnya daya juang. Anak-anak yang telah terpapar oleh  pengaruh teknologi, membuat mereka kurang terbiasa berproses atau melakukan pekerjaan dengan rutin dan berulang. 

Teknologi telah memudahkan anak-anak karena segala sesuatu terlihat serba instan dan alamiah padahal nyatanya tidak. Misalnya, ada tutorial dalam melakukan sesuatu. 

Semua tahap terlihat mudah untuk dipraktikkan tetapi saat anak-anak meniru, hasilnya tidak semudah dan sebagus yang ia saksikan. 

Pada gilirannya anak menjadi kecewa dan menilai diri kurang mampu. Tak sedikit anak-anak yang  memilih untuk berhenti berusaha dan enggan mencoba berulang-ulang.

Keempat, kurang terampil dalam bersosialisasi. anak-anak yang terbiasa menggunakan kecanggihan teknologi cenderung kurang memperhatikan lingkungan sekitar, kurang terampil membangun percakapan atau menjalin relasi sosial. 

Kecanduan teknologi membuat mereka lebih memilih untuk menyendiri. Jika sikap tersebut dibiarkan terus-menerus, anak akan bertumbuh menjadi pribadi yang apatis, individualis dan egois. 

Kita bisa menemukan realitas di tengah keluarga dewasa ini. Sebelumnya di rumah terdengar ramainya celotehan anak di mana mereka menceritakan pengalaman mereka. 

Namun setelah menggunakan gawai, anak-anak cenderung menghabiskan waktunya untuk berselancar dalam media sosial.

Keempat tantangan di atas tidak menutup kemungkinan akan adanya tantangan lain yang dihadapi oleh generasi alfa ketika berelasi mesra dengan teknologi.  

Perlunya Digital parenting

Untuk mengatasi tantangan teknologi yang dihadapi oleh generasi alfa, dibutuhkan pola pengasuhan orang tua yang sesuai konteks kehidupan mereka.  

Pola pengasuhan anak yang mesti dihidupi oleh orang tua adalah pola asuh berbasis teknologi atau disebut digital parenting

Digital parenting merupakan pola pengasuhan anak oleh orang tua dengan mengandaikan adanya kecakapan (literasi) orang tua dalam menggunakan teknologi. 

Orang tua dapat meningkatkan kecakapan teknologi melalui kegiatan belajar dari sumber terpercaya, mengikuti kursus online, membaca buku atau artikel, dan mendengarkan podcast yang berkaitan dengan teknologi. 

Selain itu, orang tua bisa bergabung dalam komunitas yang membahas digital parenting

Dalam komunitas tersebut orang tua bisa saling sharing dengan orang tua lain yang menghadapi tantangan serupa.

Adapaun tiga langkah konkret digital parenting yang bisa diberikan oleh orang tua kepada anaknya setelah mereka mmpu menguasai teknologi. 

Pertama, menerapkan filter atau parental control di perangkat anak-anak. Kurang lebih ada tiga contoh aplikasi parental control yang bisa digunakan oleh orang tua yakni Google family Link, Kaspersky Safe Kids dan Norton Family. 

Ketiganya membantu orang tua untuk mengontrol sejauh mana penggunaan media digital oleh anak-anak untuk kebutuhan yang baik. (https://digitalcitizenship.id/pengetahuan-dasar/digital-parenting). 

Kedua, orang tua mengajarkan dan menerapkan etika digital kepada anak-anak. 

Etika digital yang dimaksud menyangkut cara anak-anak dalam berinteraksi dalam dunia maya, menghargai privasi orang lain, dan tidak menyebarkan berita bohong. 

Dewasa ini etika digital tidak dihidupi dengan baik oleh anak-anak. Dengan menggunakan media digital, mereka mudah saja mengunggah tayangan yang sifatnya kasar, tidak etis dan tidak benar sehingga diketahui olah orang lain dan menjadi viral. 

Ketiga, orang tua mengajarkan manfaat penggunaan teknologi bagi proses belajar anak. 

Media digital sejatinya dapat dijadikan sebagai alat bantu dalam belajar dan berkreasi anak-anak. 

Alih-alih melarang anak bermain gawai untuk game online, orang tua bisa merekomendasikan situs-situs pembelajaran bagi anak-anak. 

Situs-situs tersebut seperti aplikasi matematika dan sains yang menyajikan konsep matematika atau sains, tutorial dalam mengembangkan bakat hingga membaca sumber bacaan online tentang tema tertentu.

Kelima, orang tua mengajarkan manajemen waktu layar (Screen Time Management). 

Orang tua bisa menetapkan batas penggunaan media digital untuk anak-anak dalam sehari. 

Hal ini bertujuan agar anak-anak terbiasa dengan penataan waktu yang teratur untuk semua pekerjaan sehingga tidak ada kecanduan akan penggunaan media digital. 

Tentunya penggunaan waktu belajar lebih banyak dari pada penggunaan media digital seperti gawai. 

Terakhir, orang tua memberikan contoh yang baik dalam menggunakan teknologi. 

Poin terakhir ini lebih kepada antisipasi akan dampak peniruan oleh anak-anak akan sikap orang tua. 

Anak-anak seyogianya dominan mempelajari apa yang mereka lihat dari lingkungan terdekat seperti orang tua. 

Jika orang tua terpaku pada media digital apalagi saat ada bersama keluarga, maka anak-anak akan menginternalisasikan perilaku tersebut sebagai sebuah kebenaran. Oleh karena itu sangat dibutuhkan keteladanan orang tua.

Dengan menerapkan pola pengasuhan berbasis digital (digital parenting) resiko persentuhan anak dengan media digital dapat diatasi. 

Tidak bermaksud memandang negatif keberadaan teknologi bagi anak-anak. 

Orang tua justru berperan untuk menciptakan lingkungan yang aman dan positif bagi pertumbuhan anak-anak mereka di era digital ini. 

Media digital selagi digunakan secara cerdas dan bertanggung jawab dapat menjadi alat bantu bagi pertumbuhan dan perkembangan anak. (*)

Simak terus berita POS-KUPANG.COM di Google News

 

Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved