Opini
Opini: Sampah Antropologis di Balik Jas Dewan
Yang satu menyalakan lilin etika. Yang lain menumpahkan bara amarah. Di antara keduanya, kita bertanya, ke mana arah politik lokal kita hari ini?
Oleh: Gonzalvus Rikardo Otang, S.T
Aktivis organisasi kepemudaan, tinggal di Kota Kupang
POS KUPANG.COM – Dua peristiwa berbeda baru-baru ini mengguncang jagat politik lokal Nusa Tenggara Timur (NTT).
Dari Lembata, seorang anggota DPRD memilih mengembalikan dana Bimtek secara sukarela.
Dari Kabupaten Kupang, justru sebaliknya: anggota DPRD diduga memukul Kabag Keuangan Setwan, karena urusan keberangkatan Bimtek yang tak berjalan sesuai kehendaknya.
Yang satu menyalakan lilin etika. Yang lain menumpahkan bara amarah. Di antara keduanya, kita bertanya, ke mana arah politik lokal kita hari ini?
Dalam bahasa ilmu sosial, istilah "sampah antropologis" merujuk pada perilaku dan praktik yang tidak lagi bernilai bagi komunitas, namun terus dilestarikan dalam sistem sosial akibat relasi kuasa, kebiasaan buruk, atau ketidaksadaran kolektif.
Pemukulan oleh seorang pejabat publik adalah bentuk nyata dari sampah antropologis dalam politik modern.
Kekerasan, emosi tak terkendali, dan sikap merasa paling berkuasa—itu semua adalah perilaku usang yang seharusnya sudah mati dalam ruang demokrasi.
Padahal, masyarakat NTT hidup dalam bingkai budaya yang menjunjung tinggi rasa malu, kehormatan, dan tata krama.
Di Timor dikenal prinsip "naketi bei, haekbesi bei" – menahan amarah dan menjaga lisan.
Dalam budaya Rote dikenal prinsip "lutu mu leko, lele mu tina" – menyelesaikan masalah lewat bicara, bukan tinju.
Dalam adat Sabu, konflik diselesaikan lewat pertemuan adat, bukan penganiayaan.
Dalam negara hukum, pemukulan adalah tindakan pidana, sebagaimana diatur dalam Pasal 351 KUHP tentang penganiayaan.
Tak ada alasan adat, jabatan, atau ketersinggungan emosional yang bisa menjadi pembenaran.
Aparat penegak hukum wajib bertindak. Jangan berlindung pada mekanisme etik lembaga semata. Sekecil apapun, pemukulan adalah bentuk kekerasan fisik yang tak boleh ditoleransi.
Langkah anggota DPRD Lembata yang mengembalikan dana Bimtek menunjukkan
bahwa masih ada yang paham arti tanggung jawab dan rasa malu dalam kekuasaan.
Tapi langkah anggota DPRD Kupang yang memukul justru menjadi bukti bahwa sebagian politisi kita telah kehilangan keteladanan.
Politik bukan soal kuasa, tapi soal cara memelihara kepercayaan publik. Jas yang dipakai di ruang sidang tidak serta-merta mengangkat moral seseorang. Etika harus dibangun dari dalam: dari hati yang tahu batas.
Kini saatnya penyidik bertindak. Bukan karena tekanan publik, tapi karena itulah tugas hukum: melindungi yang lemah, menertibkan yang salah, dan menegur yang lupa diri.
NTT butuh wakil rakyat yang tahu malu, bukan yang hanya tahu marah. Dan hukum harus membela rakyat, bukan membela jabatan. (*)
Simak terus berita POS-KUPANG.COM di Google News
Gonzalvus Rikardo Otang
Opini Pos Kupang
bimtek
Anggota Dewan Perwakilan Rakyat
POS-KUPANG. COM
Kabupaten Kupang
Kabupaten Lembata
Opini: Pemilihan Rektor Undana, Politik Primordial vs Politik Gagasan |
![]() |
---|
Opini: Urgensi Perda NTT Tentang Pengelolaan Muro dan Kearifan Lokal Lainnya |
![]() |
---|
Opini: Mengobati Luka Menata Harapan, Perdagangan Orang dalam Geliat Pembangunan NTT |
![]() |
---|
Opini: Jangan Takut pada One Piece, Rayakan Kreativitas dalam Semangat Kemerdekaan |
![]() |
---|
Opini: Wabah Rabies dan Tumpulnya Nurani terhadap Sesama |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.