Opini
Opini: Program Koperasi Merah Putih, Pembelajaran dari Satu Dekade Korupsi Desa di Indonesia
Hal inidapat menjadi momentum kebangkitan koperasi dan UMKM di tingkat desa sebagai tulang punggung ekonomi nasional.

Oleh: Wilhelmus Mustari Adam, SE.,M.Acc
Dosen Program Studi Akuntansi Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Katolik Widya Mandira
Mahasiswa Program Doktor Ilmu Akuntansi Universitas Brawijaya Malang
POS-KUPANG.COM, KUPANG -- Peluncuran Program Koperasi Desa/Kelurahan Merah Putih (Kopdes Merah Putih) yang diumumkan pada 3 Maret 2025 untuk 80.000 desa/kelurahan di Indonesia merupakan inisiatif ambisius dalam upaya pemberdayaan ekonomi kerakyatan.
Dengan anggaran fantastis sebesar Rp550 triliun dan target operasional penuh pada 28 Oktober 2025, program ini menjanjikan transformasi ekonomi desa melalui pendekatan gotong-royong dan kekeluargaan.
Namun, momentum ini terjadi di tengah fakta yang tidak dapat diabaikan: sektor desa menempati
peringkat pertama/tertinggi dalam kasus korupsi menurut temuan Indonesia Corruption
Watch (ICW, 2023 & 2024), bahkan praktik ini sejak pemberlakuan UU Desa No. 6 Tahun 2014
tentang Desa.
Paradoks Pemberdayaan dan Tata Kelola Potensi Transformatif yang Menjanjikan
Program Koperasi Desa/Kelurahan Merah Putih memiliki fondasi filosofis yang kuat dengan
mengusung nilai-nilai gotong-royong dan kekeluargaan sebagai pilar ekonomi kerakyatan.
Baca juga: Opini: Politik Murka dan Teologi Cinta
Pendekatan ini sejalan dengan karakter masyarakat Indonesia yang komunal dan kolektif.
Besaran anggaran diperkirakan sebesar Rp550 triliun menunjukkan komitmen serius pemerintah dalam mendorong ekonomi dari level grassroot, yang berpotensi menciptakan multiplier effect signifikan bagi perekonomian nasional.
Betapa tidak, berbagai jenis kegiatan usaha dirancang untuk dikelola oleh koperasi desa/kelurahan merah putih ini, antara lain: gerai/outlet sembako, gerai/outlet obat murah, kantor koperasi, unit simpan pinjam, klinik desa/kelurahan, cold storage, sarana logistik, bengkel, unit produksi makanan lokal, layanan ekspedisi, dan pusat pelatihan pertanian dan kewirausahaan.
Selain jenis usaha di atas, koperasi desa/keluarahan merah putih juga dapat mengembangkan
usaha lain sesuai dengan potensi dan kebutuhan masyarakat setempat.
Dengan adanya kewenangan luas masyarakat desa dalam menumbuh-kembangkan koperasi desa/kelurahan
merah putih ini, sangat diharapkan partisipasi aktif masyarakat dalam mengontrol tata kelolaorganisasi koperasi ini dari tahap pembentukan, pembangunan dan pengoperasianya, serta fase monitoring dan evaluasi.
Timing peluncuran direncanakan pada Hari Koperasi Nasional (12 Juli 2025) juga secarasimbolis menguatkan narasi ekonomi kerakyatan yang demokratis dan partisipatif.
Baca juga: Opini: Bullying Merupakan Ancaman Nyata Bagi Masa Depan Anak Bangsa
Hal inidapat menjadi momentum kebangkitan koperasi dan UMKM di tingkat desa sebagai tulang
punggung ekonomi nasional.
Tantangan Struktural yang Mengkhawatirkan
Namun, realitas empiris menunjukkan ironi yang tajam. Data ICW mengungkapkan bahwa
sektor desa konsisten menempati peringkat teratas dalam kasus korupsi sejak 2015, tepat
setelah implementasi UU Desa No. 6/2014.
Ini mengindikasikan bahwa peningkatan alokasi
dana desa tidak berbanding lurus dengan perbaikan tata kelola dan akuntabilitas.
Beberapa faktor struktural yang berkontribusi pada fenomena ini meliputi:
Kapasitas Kelembagaan yang Terbatas: Banyak aparatur desa belum memiliki kompetensi memadai dalam pengelolaan keuangan dan administrasi program berskala besar.
Keterbatasan SDM ini menciptakan celah untuk penyalahgunaan anggaran.
Sistem Pengawasan yang Lemah: Mekanisme kontrol dan monitoring di tingkat desa
seringkali tidak efektif karena keterbatasan infrastruktur, teknologi, dan sumber daya
pengawas.
Jarak geografis dan aksesibilitas juga menjadi kendala pengawasan eksternal.
Kultur Paternalistik: Struktur sosial desa yang masih kental dengan pola paternalistik
dapat menghambat transparansi dan akuntabilitas.
Posisi kepala desa yang dominan seringkali meminimalisir kontrol sosial dari masyarakat.
Risiko dan Peluang Program Desa/Kelurahan Merah Putih
Risiko Sistemik Dengan anggaran sebesar Rp550 triliun yang dialokasikan ke 80.000 desa/kelurahan, potensi
kerugian negara akibat korupsi bisa mencapai magnitude yang mengkhawatirkan.
Jika asumsi tingkat kebocoran mengikuti pola historis, kerugian bisa mencapai puluhan hingga ratusan
triliun rupiah.
Proses pembentukan badan hukum melalui notaris hingga 30 Juni 2025 juga berpotensi
menjadi celah korupsi baru, terutama dalam biaya notariil dan perizinan yang tidak transparan.
Percepatan timeline implementasi dapat mengorbankan aspek kehati-hatian dalam desain
sistem pengawasan.
Peluang Transformasi
Di sisi lain, program ini dapat menjadi momentum perbaikan tata kelola desa jika disertai
dengan reformasi sistemik. Digitalisasi proses administrasi dan keuangan desa dapat
meningkatkan transparansi dan memudahkan pengawasan real-time.
Penggunaan teknologi
blockchain atau sistem informasi terintegrasi dapat meminimalisir manipulasi data keuangan.
Pemberdayaan masyarakat sipil dan penguatan peran BPD (Badan Permusyawaratan Desa)
sebagai watchdog dapat menciptakan sistem checks and balances yang efektif. Keterlibatan
aktif organisasi masyarakat sipil dan media lokal dalam monitoring juga dapat meningkatkan
akuntabilitas sosial.
Rekomendasi Strategis
Penguatan Sistem Pengawasan Berlapis
Implementasi program ini harus disertai dengan sistem pengawasan berlapis yang melibatkan
pemerintah pusat, daerah, dan masyarakat sipil.
Pembentukan task force anti korupsi khususuntuk mengawasi program desa dengan kewenangan investigasi dan penuntutan dapat menjadi deterrent effect yang kuat.
Investasi Kapasitas SDM
Alokasi anggaran khusus untuk pelatihan dan sertifikasi aparatur desa dalam tata kelola
keuangan dan administrasi program menjadi investasi jangka panjang yang krusial. Program
magang dan mentoring dengan lembaga keuangan profesional dapat meningkatkan
kompetensi pengelolaan dana.
Transparansi Digital
Pengembangan platform digital yang memungkinkan masyarakat mengakses informasi real-
time tentang penggunaan anggaran program dapat meningkatkan partisipasi dan kontrol sosial.
Dashboard publik yang menampilkan progress dan alokasi dana per desa akan mendorong akuntabilitas horizontal.
Insentif dan Sanksi Tegas
Desain sistem reward and punishment yang jelas, di mana desa dengan tata kelola baik mendapat insentif tambahan, sementara yang terbukti korupsi mendapat sanksi tegas termasuk penghentian program. Hal ini akan menciptakan peer pressure positif antar desa.
Kesimpulan
Program Koperasi Desa/Kelurahan Merah Putih memiliki potensi transformatif yang luar biasa
dalam memberdayakan ekonomi kerakyatan. Dari berbagai jenis usaha yang dijanjikan untuk
dikelola diharapkan dapat mendorong pertumbuhan ekonomi lokal.
Namun, tanpa perbaikan fundamental dalam aspek tata kelola dan pengawasan, program ini berisiko menjadi ajang korupsi massal yang justru merugikan masyarakat yang seharusnya diberdayakan.
Keberhasilan program ini tidak hanya diukur dari besaran anggaran atau jumlah desa yang terlibat, tetapi dari seberapa efektif program ini dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat tanpa menciptakan kultur korupsi yang semakin mengakar.
Pelajaran dari satu dekade implementasi UU Desa harus menjadi refleksi untuk merancang mekanisme yang lebih robust dan akuntabel.
Momentum launching pada Hari Koperasi Nasional seharusnya tidak hanya menjadi perayaan
simbolis, tetapi momen refleksi mendalam tentang bagaimana membangun ekonomi kerakyatan yang benar-benar berpihak pada rakyat, bukan pada segelintir elite yang memanfaatkan celah sistem untuk kepentingan pribadi.
Indonesia memiliki kesempatan emas untuk membuktikan bahwa pembangunan dari bawah
dapat berjalan dengan integritas tinggi.
Namun, hal ini membutuhkan political will yang kuat, desain sistem yang komprehensif, dan komitmen seluruh stakeholder untuk menjadikan transparansi dan akuntabilitas sebagai foundation yang tidak dapat ditawar-tawar. (*)
Ikuti Berita POS-KUPANG.COM lainnya di GOOGLE NEWS
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.