Opini
Opini: Bahaya Cuci Tangan Digital
Budaya cuci tangan dalam konteks dunia dewasa ini yang ditandai dengan keberadaan manusia sebagai homo digitalis cukup marak terjadi.
Oleh: Gebrile Mikael Mareska Udu
Mahasiswa Universitas Sanata Dharma Yogyakarta
POS-KUPANG.COM - Sebelum menyerahkan Yesus kepada imam-imam kepala, menarik untuk mengingat kembali tindakan Pilatus, sang Gubernur Romawi kala itu. Pilatus mencuci tangannya dan berkata “aku tidak bersalah terhadap darah orang ini” (bdk Mat. 27:24).
Tindakan Pilatus tersebut sudah cukup membentuk persepsi rakyat bahwa ia adalah pemimpin yang tidak bertanggung jawab, acuh tak acuh, mengorbankan orang lain demi keselamatan dirinya, jahat dan lain sebagainya.
Istilah cuci tangan yang digunakan penulis mengarah pada sifat-sifat tersebut.
Bapa Suci Paus Fransiskus juga pernah menggunakannya ketika mengecam orang-orang yang mengabaikan penderitaan sesama akibat pandemi covid-19 yang lalu.
Budaya cuci tangan dalam konteks dunia dewasa ini yang ditandai dengan keberadaan manusia sebagai homo digitalis cukup marak terjadi.
Tak sedikit orang yang menghidupi semangat yang sama seperti Pilatus.
Ketika berhadapan dengan sesama yang berada dalam masalah “candu teknologi”, orang lebih memilih untuk “cuci tangan”.
Ironisnya budaya “cuci tangan” ini dibuat demi keselamatan/ keuntungan pribadi dengan mengorbankan orang lain. Tak heran tindakan tersebut melahirkan persoalan baru dalam penggunaan media digital.
Fenomena Budaya Cuci Tangan Digital
Tindakan “cuci tangan” yang dilakukan oleh Pilatus, tak jarang bisa ditemukan dalam beberapa persoalan konkret di Indonesia.
Penulis mengidentifikasi tiga fenomena yang menunjukkan praktik “cuci tangan digital” dalam dunia dewasa ini.
Pertama, fenomena Cyberbullying. Cyberbullying merupakan bentuk penindasan yang dilakukan melalui perangkat digital seperti ponsel atau komputer.
Kasus ini sering terjadi melalui media sosial seperti Email, Instagram, Facebook dan lain sebagainya.
Cyberbullying tampak dalam ujaran fitnahan, olokan, ejekan atau perendahan yang diutarakan dengan kata-kata sinis atau sarkastis.
Data kasus cyberbullying di Indonesia cukup merisaukan. Berdasarkan data SAFEnet Indonesia, pada 2024 yang lalu kekerasan berbasis gender online di Indonesia naik empat kali lipat dari tahun sebelumnya yaitu 118 kasus triwulan I 2023 menjadi 480 kasus pada triwulan I 2024.
Menteri PPPA menyebutkan bahwa korban KBGO adalah mereka dengan rentang usia 18-25 tahun yakni sebanyak 272 kasus kemudian diikuti oleh kelompok usia 18 tahun ke bawah sebanyak 123 kasus (https://kemenpppa.go.id/page/view/NTMxMQ).
Kasus cyberbullying tersebut diperkirakan akan meningkat di tahun 2025 ini.
Fenomena ini mengartikulasikan sikap “cuci tangan” dalam diri pelaku kejahatan yang tidak menghiraukan dampak psikis yang dialami korban.
Pelaku cenderung mementingkan kenikmatan personal setelah membully orang lain lewat media sosial dibandingkan akibat yang muncul dari tindakan tersebut.
Inilah titik berangkat budaya “cuci tangan digital”. Sama seperti Pilatus yang acuh tak acuh dengan nasib Yesus, begitu pula sikap para pelaku cyberbullying terhadap korban. Akibatnya, tak jarang kita mendengar adanya kasus bunuh diri.
Kedua, maraknya penyebaran konten hoaks. Kementerian Komunikasi dan Digital Republik Indonesia mengidentifikasikan sebanyak 1.923 konten hoaks, berita bohong sepanjang tahun 2024.
Hal tersebut terbukti dalam ulasan palsu oleh buzzer khususnya dalam belanja online.
Ulasan positif dari para buzzer terkait suatu produk nyatanya tidak sesuai dengan keadaan aslinya.
Konsumen yang menaruh kepercayaan tinggi akan ulasan positif para buzzer akhirnya menuai kerugian yang cukup miris (Kompas 3/6/2025).
Apalagi jika harga produk yang dijajaki cukup mahal namun tidak sesuai dengan hasil atau fungsinya. Banyak konsumen akhirnya menanggung kerugiaan yang besar.
Di balik tindakan tersebut, para buzzer sedang “cuci tangan”, tak merasa bertanggung jawab atas penipuan yang terjadi.
Ketiga, munculnya komunitas inses. Baru-baru ini jagat maya lebih tepatnya kanal Facebook digemparkan dengan kemunculan grup inses yang bernama “Fantasi Sedarah”. Tercatat sekitar lebih dari 30 ribu orang bergabung dalam komunitas tersebut.
Komunitas tersebut dijadikan sebagai wadah pemuatan video inses atau pornografi sedarah.
Anggota group ini menggugah konten-konten fantasi seksualnya terhadap keluarga yang masih sedarah.
Keberadaan komunitas inses boleh dikatakan sebagai tampat pelarian bagi individu dengan kelainan seksual, meskipun rentan menimbulkan persoalan moral dan sosial bagi kaum remaja yang berselancar dalam dunia digital.
Orang yang terlibat langsung di dalamnya adalah mereka yang “cuci tangan” karena tidak merasa bersalah akibat dari postingan yang mereka unggah terhadap pengguna lain.
Spiritualitas Digital
Berhadapan dengan bahaya yang diakibatkan oleh praktik “ cuci tangan digital”, sejatinya kita membutuhkan spirit atau roh yang mampu menjiwai seseorang ketika berselancar dalam dunia digital.
Dalam artikelnya di Kompas 17/05/2025 berjudul “ Spiritualitas Digital Seorang Paus”, Garin Nugroho menegaskan pentingnya spiritualitas digital.
Spiritualitas digital yang dimaksud lebih kepada pencarian akan makna atau tujuan hidup melalui platform dan interaksi digital.
Mendiang Paus Fransiskus telah mengajarkan nilai-nilai spiritualitas digital dalam pesan-pesan dan interaksinya di media sosial sebelum wafat.
Salah satu teladan spiritualitas digital dari Bapa Suci adalah komunikasi intens yang dibangunnya dengan gereja Katolik di Gaza.
Garin Nugroho mencatat bahwa mendiang Paus Fransiskus hendak menunjukkan spiritualitas digital yang mana menjadikan ruang digital sebagai ruang dialog, partisipasi, kebersamaan, dan sikap bela rasa.
Sudah saatnya dunia digital diisi dengan percakapan yang konstruktif yang memungkinkan pertumbuhan dan perkembangan setiap pribadi.
Manusia sebagai homo digitalis, ditantang untuk membangun kesadaran akan pentingnya ruang digital sebagai ruang perjumpaan kedua selain tatap muka.
Tidak bermaksud mengesampingkan perjumpaan tatap muka, tetapi ruang dialog berbasis digital dapat menjadi kesempatan untuk membangun percakapan yang sehat di mana ada partisipasi setiap pribadi, keterbukaan, saling mendukung, menghargai perbedaan, peduli terhadap dampak yang dialami oleh sesama dan menghindari adanya ujaran kebencian atau pertikaian.
Spiritualitas digital hanya bisa tercapai ketika setiap pribadi pengguna media digital tidak hanya menyadari dirinya sebagai homo digital tetapi juga homo social.
Dunia digital bukanlah dunia milik pribadi melainkan ruang bersama dengan pribadi yang lain.
Oleh karena itu, sikap peduli dan bijaksana sangat dibutuhkan demi tercapainya kebaikan bersama.
Berdiri sama tinggi dan duduk sama rendah. Tidak ada yang diuntungkan atau dirugikan. (*)
Simak terus berita POS-KUPANG.COM di Google News
Gebrile Mikael Mareska Udu
Universitas Sanata Dharma Yogyakarta
Opini Pos Kupang
POS-KUPANG. COM
Cuci Tangan
Spiritualitas Digital
Paus Fransiskus
Opini: Prada Lucky dan Tentang Degenerasi Moral Kolektif |
![]() |
---|
Opini: Drama BBM Sabu Raijua, Antrean Panjang Solusi Pendek |
![]() |
---|
Opini: Kala Hoaks Menodai Taman Eden, Antara Bahasa dan Pikiran |
![]() |
---|
Opini: Korupsi K3, Nyawa Pekerja Jadi Taruhan |
![]() |
---|
Opini: FAFO Parenting, Apakah Anak Dibiarkan Merasakan Akibatnya Sendiri? |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.