Opini
Opini: Menelisik Kasus Kekerasan Seksual Terhadap Anak Dalam Keluarga
Kekerasan seksual menjadi kenyataan gamblang yang mewarnai setiap lini kehidupan masyarakat di tanah air.
Oleh: Gebrile M. Mareska Udu
Mahasiswa Universitas Sanata Dharma Yogyakarta
POS-KUPANG.COM - Hingga saat ini diskursus seputar kekerasan seksual menjadi isu aktual yang ramai diperbincangkan di ruang publik.
Kekerasan seksual menjadi kenyataan gamblang yang mewarnai setiap lini kehidupan masyarakat di tanah air.
Tampaknya geliat para pelaku tidak mempan di hadapan penegakan Undang-Undang Tindak Pidana Pelecehan Seksual (UU TPKS).
Ironisnya, kasus kekerasan seksual telah merangsek masuk dalam ruang yang dianggap paling aman bagi pertumbuhan dan perkembangan seseorang. Sejumlah kasus kekerasan seksual secara khusus terhadap anak terjadi di lingkungan keluarga.
Mengutip data dari laman Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (Simfoni PPA), per 26/05/2025 kasus kekerasan seksual dominan terjadi lingkungan keluarga dengan total 6.254 kasus dan jumlah korban 6.613 orang.
Hal ini mengindikasikan bahwa rumah justeru menjadi saksi bisu berbagai bentuk tindakan kekerasan.
Sebab ancaman bisa datang dari orang terdekat, mulai dari kakek, orang tua, saudara, hingga paman yang meskipun tidak tinggal serumah.
Pemicu Kekerasan Seksual dalam Keluarga
Kita patut mencatat empat alasan yang menjadi pertimbangan penulis akan peluang terjadinya kekerasan seksual terhadap anak oleh orang-orang terdekat di dalam keluarga.
Keempat alasan itu lebih mengarah pada situasi konkret yang terjadi di tengah keluarga dewasa ini yang berpotensi menimbulkan kekerasan seksual terhadap anak.
Pertama, masih melekatnya budaya patriarki di dalam keluarga (relasi kuasa negatif).
Menurut Catharine MacKinnon, seorang tokoh feminis asal Amerika Serikat, kekerasan seksual seperti pelecehan dan pemerkosaan berakar dari sistem kekuasaan patriarkal serta ketidaksetaraan gender.
Budaya patriarki telah melahirkan adanya relasi kuasa negatif di dalam keluarga secara khusus pembedaan antara pihak yang superior dan yang inferior.
Sosok laki-laki menempati posisi superior dibandingkan dengan perempuan yang identik sebagai kaum lemah, kecil, tak berdaya (inferior).
Tak pelak, timbulnya kekerasan terhadap anak dalam keluarga diakibatkan adanya relasi kuasa negatif tersebut.
Misalnya, seorang ayah yang melakukan tindak kekerasan terhadap anaknya perempuan menjadi kenyataan miris konsekuensi budaya patriarki.
Kedua, kurangnya dialog tatap muka (face to face) di dalam keluarga. Tak dapat dimungkiri bahwa perkembangan teknologi yang kian pesat menciptakan ruang perjumpaan baru dalam keluarga yakni ruang digital (digital space).
Digital space dinilai relatif praktis namun rentan menciptakan masalah baru.
Misalnya di dalam sebuah keluarga relasi antara orang tua dan anak terjalin melalui aplikasi digital karena baik orang tua maupun anak lebih banyak meluangkan waktu untuk berselancar dalam media sosial.
Bahkan tegur sapa antara orang tua dan anak jarang dilakukan melalui tatap muka.
Akibatnya timbul jarak antara orang tua dan anak dalam berelasi hingga memungkinkan gangguan psikologis dan emosional antara keduanya.
Lebih lanjut orang tua akan jatuh pada godaan seksual dengan memanfaatkan posisinya yang dominan atas anak tanpa adanya beban psikologis dan emosional.
Anak yang kurang dekat secara emosional dan psikologis dengan orang tua sebagai korban kekerasan tidak berani untuk melawan atau melapor karena takut atau cemas.
Ketiga, lunturnya penghayatan nilai kesopanan anak. Yang ditekankan penulis adalah menyangkut praksis nilai kesopanan dalam berpakaian.
Cara berpakaian anak yang kurang sopan dapat menjadi salah satu faktor kekerasan seksual terhadapnya, meskipun tidak menjadi pembenaran atas kejahatan tersebut.
Kurangnya pengawasan dan bimbingan dari orang tua mengenai cara berpakaian yang aman dan sesuai konteks dapat membuat anak tidak menyadari risiko kekerasan seksual.
Keempat, rendahnya pengontrolan diri pelaku sebagai akibat capaian pendidikan yang kurang memadai.
Pendidikan yang terbatas sering kali berkorelasi dengan kurangnya pemahaman pelaku tentang norma sosial, hukum serta etika dalam berperilaku.
Pelaku kekerasan seksual dengan latar belakang pendidikan yang rendah mungkin tidak menyadari dampak traumatis korban atas tindakan kekerasan yang ia lakukan.
Pendidikan yang rendah juga dapat membatasi akses pelaku terkait cara pengontrolan diri ketika muncul hasrat seksual seperti praktik sublimasi.
Mengambil Langkah Preventif
Berhadapan dengan beberapa persoalan yang dikemukakan sebelumnya, penulis menawarkan beberapa langkah preventif.
Pertama, membongkar bibit-bibit budaya patriarki dalam keluarga dengan kesadaran akan kedudukan yang sama masing-masing pribadi.
Orang tua sebagai pemeran kunci keluarga kiranya menanamkan kesetaraan dalam keluarga di mana tidak ada kedudukan yang istimewa dari laki-laki dan kedudukkan yang rendah dari sosok perempuan dalam keluarga.
Orang tua mesti mengubah pola ini dengan memberikan tanggung jawab setara kepada setiap pribadi.
Perempuan tidak selalu patuh terhadap tindakan laki-laki terhadapnya jika dalam kenyataannya tidak benar.
Kedua, menciptakan ruang dialog (perjumpaan) tatap muka antar pribadi di dalam keluarga.
Pola pengasuhan yang cenderung berlangsung digital dan otoriter harus diubah menjadi pengasuhan yang berbasis dialogis.
Orang tua bertanggung jawab meluangkan waktu untuk ada bersama dengan keluarga secara khusus dengan anak-anak.
Anak-anak diberi kesempatan untuk mengekspresikan dirinya dengan berbagi cerita atau pengalaman mereka saat ada bersama orang tua.
Misalnya, seusai makan bersama ada waktu rekreasi keluarga yang memungkinkan dialog antara orang tua dengan anak.
Dengan begitu terjalin kedekatan emosional dan psikologi antara orang tua dan anak yang membuat mereka saling menghargai dan menyayangi satu sama lain.
Ketiga, penanaman norma-norma sosial dalam keluarga. Orang tua berkewajiban untuk menanamkan norma-norma sosial dalam keluarga secara khusus dalam diri anak. Anak mesti diajarkan cara berpakaian yang baik dan sopan.
Dalam hal ini juga sangat diperlukan teladan hidup dari orang tua tentang penghayatan nilai-nilai sosial yang baik.
Sebab cukup mustahil seorang anak mampu menghayati norma-norma sosial seperti kesopanan dalam berpakaian jika orang tua tidak menghidupinya.
Keempat, meningkatkan pemahaman pelaku akan cara-cara pengontrolan diri ketika berhadapan dengan godaan hasrat seksual. Godaan hasrat seksual sejatinya dapat diatasi dengan pemahaman akan praktek sublimasi.
Sublimasi adalah mekanisme pertahanan diri yang mengalihkan energi seksual (libido) ke aktivitas yang lebih diterima secara sosial seperti berkarya, berolahraga, atau melakukan hobi produktif.
Seseorang yang mengalami godaan seksual kiranya pandai menciptakan kesibukan karena hasrat seksual tersebut dapat tersalurkan ke dalam hal yang positif.
Kiranya dengan mengangkat fenomena sosial seperti kekerasan seksual terhadap anak dalam keluarga membantu setiap pribadi untuk bergerak mengatasi sebelum persoalan ini merajalela.
Sebab praktik kekerasan seksual terhadap anak akan mengaburkan mimpi Indonesia untuk memiliki generasi emas di masa yang akan datang. (*)
Simak terus berita POS-KUPANG.COM di Google News
Gebrile M. Mareska Udu
kekerasan seksual anak
Opini Pos Kupang
Universitas Sanata Dharma Yogyakarta
Opini: Prada Lucky dan Tentang Degenerasi Moral Kolektif |
![]() |
---|
Opini: Drama BBM Sabu Raijua, Antrean Panjang Solusi Pendek |
![]() |
---|
Opini: Kala Hoaks Menodai Taman Eden, Antara Bahasa dan Pikiran |
![]() |
---|
Opini: Korupsi K3, Nyawa Pekerja Jadi Taruhan |
![]() |
---|
Opini: FAFO Parenting, Apakah Anak Dibiarkan Merasakan Akibatnya Sendiri? |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.