Opini
Opini: Ironi Matahari Kembar
Hari ini, Prabowo memegang legalitas, tetapi Jokowi tampaknya masih menyimpan karisma yang sulit dilawan.
Oleh: Ernestus Holivil
Dosen Undana Kupang - Nusa Tenggara Timur
POS-KUPANG.COM - Langit politik Indonesia semestinya berganti rona ketika Prabowo Subianto sudah dilantik sebagai seorang Presiden. Tetapi seperti yang kita saksikan hari-hari ini, jejak bayangan kekuasaan lama belum sepenuhnya pergi.
Di balik bendera baru yang dikibarkan Prabowo, masih terasa denyut pengaruh lama. Tidak salah. Dalam politik, tak semua yang tampak di atas panggung mencerminkan siapa yang benar-benar memegang kendali di balik tirai.
Yang mengemuka hari ini bukan sekadar siapa yang duduk di kursi Presiden, tetapi siapa yang sebenarnya memegang kendali.
Sang Mantan Presiden, Joko Widodo, oleh sejumlah menteri masih dianggap sebagai bos, sementara Prabowo justru tampak lebih sibuk membangun citra persatuan dan keberlanjutan, alih-alih menunjukkan taji sebagai pemimpin tertinggi.
Di tengah situasi ini, kabinet tampaknya gagap, dan belum yakin kepada siapa mereka harus berlabuh. Bayang-bayang Jokowi belum sepenuhnya menghilang.
Lantas, siapa sesungguhnya yang kita hadapi saat ini—presiden Prabowo, atau sosok yang telah berpamitan namun masih memegang kunci pintu belakang?
Jika para menteri masih bimbang dalam menentukan poros loyalitas, ke mana sebenarnya arah komando negara ini? Jujur, situasi politik Indonesia hari-hari ini terasa semakin kompleks dan penuh teka-teki.
Ironi Matahari Kembar
Masalah mendasarnya bukan pada siapa presiden secara konstitusional—itu jelas dan tidak perlu diperdebatkan. Masalahnya adalah pada siapa yang benar-benar memegang otoritas simbolik dan legitimasi psikologis di tengah kabinet.
Saat Prabowo resmi duduk di kursi Presiden, simbol itu semestinya berpindah penuh ke dirinya.
Namun, ketika menteri-menterinya justru sungkem ke Solo dan menyapa Jokowi sebagai bos, publik mulai menyadari bahwa urusan kekuasaan tak pernah selesai hanya di bilik suara.
Fenomena ini tidak bisa dibaca sekadar sebagai manuver individu. Ini adalah refleksi dari kegagalan proses transisi kekuasaan yang sehat dan tuntas.
Dalam teori Max Weber tentang charismatic authority, kekuasaan bisa bertahan bahkan setelah jabatan ditanggalkan, jika pengikut masih menganggap sang pemimpin sebagai figur otoritatif.
Hari ini, Prabowo memegang legalitas, tetapi Jokowi tampaknya masih menyimpan karisma yang sulit dilawan.
Lebih dari itu, ini adalah sinyal gangguan dalam sistem komando pemerintahan.
Pemerintahan efektif membutuhkan kejelasan arah, satu sumber komando yang utuh, dan loyalitas tunggal yang tak dibagi-bagi.
Ketika para menteri gamang memposisikan diri— antara menghormati masa lalu dan bekerja untuk masa kini—maka potensi disorientasi kebijakan tidak bisa dihindari.
Program besar Prabowo, seperti makan bergizi gratis atau pertahanan modern, bisa kehilangan arah jika mesin eksekutifnya berjalan dengan loyalitas
yang terbelah.
Situasi ini, bagi saya kian ruwet karena kabinet gemuk memudahkan politik dua kaki. Para menteri memainkan peran ganda—satu untuk Prabowo, satu untuk Jokowi.
Di pagi hari, para menteri menyetor laporan prestasi ke Prabowo, lalu mengabari Pak Lurah lewat pesan singkat di malam hari. Inilah diplomasi domestik bergaya janus, menebar senyum pada dua altar.
Dalam literatur teori politik kontemporer, hal ini dikenal sebagai shadow leadership, pemimpin bayangan yang menentukan keputusan tanpa mandat formal.
Sejarah menggambarkan, dari Perang Troya hingga krisis di Downing Street, bahwa struktur komando ganda kerap berakhir dengan kuda kayu di halaman, bukan kemenangan di gerbang.
Bukankah ini bentuk lain dari sabotase lembut yang terselubung di balik kata loyalitas? Persoalan loyalitas bukan perkara etika pribadi semata, tetapi fondasi kekuasaan negara.
Tanpa loyalitas tunggal, presiden hanya akan menjadi simbol, bukan pemimpin. Dan dalam konteks Indonesia hari ini, presiden simbolik adalah mimpi buruk yang bisa menjatuhkan arah kebijakan nasional ke dalam kekacauan internal.
Maka tak berlebihan jika kita bertanya: benarkah Prabowo kini sedang memimpin, atau hanya sedang diberi panggung oleh sang aktor lama?
Membangun Jarak
Menyadari sumirnya garis komando, Prabowo butuh satu gebrakan simbolik yang menyapu keraguan. Bukan sekadar reshuffle atau evaluasi teknokratik, tetapi sebuah tindakan simbolik yang kuat.
Prabowo harus membangun jarak dan meneguhkan kembali dirinya sebagai satu-
satunya matahari politik.
Ini bukan tentang retorika di media, tetapi tentang menciptakan momen simbolik dan strategis yang membungkam keraguan loyalitas di lingkar dalam kekuasaan.
Peneguhan simbolik ini dapat dilakukan melalui forum-forum resmi kenegaraan yang memperlihatkan kontrol Prabowo terhadap arah kebijakan dan garis komando.
Momentum semacam itu, dilengkapi instruksi kerja yang lugas dan tenggat jelas, berfungsi seperti gerhana total: ia menutup penampakan matahari kedua, meski hanya lewat tarikan perhatian massal.
Lebih dari itu, Prabowo harus mulai memutuskan narasi warisan, dan membangun bahasa politiknya sendiri.
Selama ia masih berbicara dengan diksi-diksi lama dan menjaga kontinuitas dengan gaya kepemimpinan Jokowi, maka bayang-bayang itu akan terus membesar di belakangnya.
Sejarah dunia menunjukkan Franklin D. Roosevelt menyingkirkan bayang-bayang Herbert Hoover bukan dengan menyangkal krisis, tetapi dengan jargon New
Deal yang sepenuhnya baru. Indonesia membutuhkan versi lokal dari transformasi simbolik itu.
Ini bukan tentang menghapus peran Jokowi, tetapi menempatkan masa lalu di tempatnya: sebagai sejarah, bukan arah.
Presiden Prabowo perlu membuat jarak politik yang sehat, tanpa harus menciptakan konflik, agar loyalitas tidak terus terbelah antara nostalgia dan tanggung jawab kekinian.
Seperti gitaris utama yang memberi ruang solo pada rekan bandnya, tetapi tetap menjaga tempo lagu, Prabowo harus memegang kendali ritme agar harmoni tak berubah menjadi cacophony.
Jika Prabowo gagal menciptakan simbol baru kepemimpinan yang utuh dan tunggal, maka kabinetnya akan tetap berjalan dengan arah komando yang kabur. Dan sebuah negara yang dijalankan dalam kabut loyalitas seperti itu, hanya menunggu waktu untuk kehilangan kepercayaan publik.
Tanpa langkah yang jelas, matahari kembar akan terus memecah kabut sampai kapal bernama Republik Indonesia kehabisan bintang panduan. Di titik itu, tragedi tak lagi soal perebutan cahaya, melainkan gelap yang menunggu di ujung pelayaran. (*)
Simak terus berita POS-KUPANG.COM di Google News
Opini: Prada Lucky dan Tentang Degenerasi Moral Kolektif |
![]() |
---|
Opini: Drama BBM Sabu Raijua, Antrean Panjang Solusi Pendek |
![]() |
---|
Opini: Kala Hoaks Menodai Taman Eden, Antara Bahasa dan Pikiran |
![]() |
---|
Opini: Korupsi K3, Nyawa Pekerja Jadi Taruhan |
![]() |
---|
Opini: FAFO Parenting, Apakah Anak Dibiarkan Merasakan Akibatnya Sendiri? |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.