Opini
Opini: Tanah yang Terkoyak, Nurani yang Tumpul
Padahal dampaknya nyata: perubahan tata air, erosi tanah, hingga berkurangnya cadangan air bersih.
Menyingkap Hipokrisi Ekologis dan Tanggung Jawab Negara di Sabu Raijua
Oleh: John Mozes Hendrik Wadu Neru
Pendeta Gereja Masehi Injili di Timor (GMIT), Ketua Klasis di Sabu Timur - NTT
POS-KUPANG.COM - Di Sabu Raijua, penolakan terhadap tambang mangan telah menjadi simbol resistensi bersama.
Gaungnya bergema dari media sosial hingga mimbar gereja, dari forum adat hingga orasi jalanan.
Tapi di balik hiruk-pikuk perlawanan itu, terdapat ironi yang mengusik: kerusakan lingkungan lain terus terjadi secara senyap—penambangan pasir, batu putih, dan penebangan liar pohon tuak dan kusambi.
Aktivitas ini seringkali dibiarkan atau bahkan diterima sebagai bagian dari rutinitas masyarakat.
Mengapa kita menolak keras satu bentuk eksploitasi, sementara membiarkan bentuk lainnya?
Fenomena ini menunjukkan bahwa moralitas ekologis kita belum utuh. Ia cenderung reaktif, selektif, bahkan—tanpa sadar—hipokrit.
Hipokrisi Kolektif: Menolak yang Besar, Membiarkan yang Kecil
Tambang mangan mudah ditolak karena ia datang dalam rupa “asing”: berbaju korporasi, membawa janji investasi, dan menyentuh ranah tanah ulayat secara frontal.
Ia menjadi simbol ancaman eksternal. Namun, penambangan “tradisional” yang dilakukan oleh warga sendiri kerap tidak dipersoalkan.
Padahal dampaknya nyata: perubahan tata air, erosi tanah, hingga berkurangnya cadangan air bersih.
Dalam situasi ini, kita menghadapi apa yang disebut sebagai hipokrisi ekologis kolektif—di mana moral kita hanya menyala ketika ada pelaku luar, tetapi padam ketika pelaku kerusakan adalah orang dalam, “kita sendiri”.
Penolakan tambang besar itu sah dan perlu. Tapi jika itu tidak diiringi dengan refleksi menyeluruh terhadap semua bentuk eksploitasi, maka gerakan ekologis itu rapuh, bahkan kontraproduktif.
Kita bukan sedang menyelamatkan bumi, tapi sedang menjaga wajah sosial kita sendiri agar terlihat “peduli”.
Pemerintah Daerah: Tanggung Jawab Ganda yang Terabaikan
Dalam dinamika ini, Pemerintah Kabupaten Sabu Raijua memegang tanggung jawab ganda yang tak bisa dielakkan.
Pertama, mereka bertanggung jawab atas kerusakan lingkungan yang terjadi akibat kelalaian pengawasan dan lemahnya regulasi.
Kedua, mereka gagal menghadirkan model pembangunan yang berkeadilan sosial dan ekologis.
Padahal, konstitusi negara telah jelas mengamanatkan bahwa rakyat berhak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat (Pasal 28H ayat 1 UUD 1945), serta bahwa kekayaan alam harus dikelola untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat (Pasal 33).
Artinya, negara—termasuk pemerintah daerah—tidak boleh lepas tangan dalam mengatur, mengawasi, dan menjamin bahwa pengelolaan sumber daya alam tidak merusak masa depan ekologis dan sosial.
Sayangnya, hingga hari ini belum ada audit ekologis komprehensif yang menilai dampak seluruh aktivitas ekstraktif di Sabu Raijua.
Tidak ada penataan ulang kebijakan lokal berbasis keadilan ekologis, tidak ada forum terbuka lintas komunitas adat, gereja, dan pemerintah yang membahas arah masa depan pengelolaan sumber daya secara serius.
Yang ada justru saling lempar tanggung jawab, pencitraan, dan kebijakan setengah hati.
Gereja: Panggilan Kenabian di Tengah Moralitas yang Tumpul
Dalam situasi kabur antara suara rakyat, kepentingan modal, dan kebijakan negara, Gereja Masehi Injili di Timor (GMIT) memiliki posisi strategis sebagai penuntun nurani kolektif.
Tetapi posisi ini hanya bisa dijalankan bila gereja berdiri tegak sebagai penjaga suara kenabian—bukan sekadar pengikut arus populis.
Nabi Mikha berkata: “Hai manusia, telah diberitahukan kepadamu apa yang baik. Dan apakah yang dituntut Tuhan daripadamu: selain berlaku adil, mencintai kesetiaan, dan hidup dengan rendah hati di hadapan Allahmu?” (Mikha 6:8)
Ayat ini bukan hanya ajakan spiritual, melainkan prinsip etika sosial-ekologis. Berlaku adil berarti menyuarakan keadilan ekologis tanpa tebang pilih.
Mencintai kesetiaan berarti setia pada bumi sebagai ciptaan Tuhan, bukan hanya pada kenyamanan pribadi.
Dan hidup rendah hati berarti mengakui bahwa kita semua turut andil dalam kerusakan yang terjadi, baik secara langsung maupun melalui pembiaran.
Gereja tidak dipanggil menjadi komentator viral. Gereja adalah penjaga integritas umat, pembela tanah, dan pelindung masa depan anak cucu.
Membedah Janji Palsu: Antara Eksploitasi dan Kesejahteraan
Tambang besar selalu datang dengan janji—koperasi, lapangan kerja, pembangunan.
Tapi sejarah menunjukkan bahwa janji semacam itu seringkali hanya topeng dari eksploitasi baru.
Tanah ulayat tergadai, relasi sosial terganggu, dan warga kehilangan daya kendali atas ruang hidup mereka.
Kita harus belajar membedakan antara pembangunan dan perluasan dominasi ekonomi.
Ekonom Amartya Sen menekankan bahwa pembangunan sejati adalah yang memperluas kapasitas manusia untuk hidup bermartabat.
Jika tambang hanya memperdalam ketimpangan dan membuat rakyat bergantung pada pihak luar, maka itu bukan pembangunan—melainkan kolonialisasi dalam bentuk baru.
Maka, jalan tengah antara kesejahteraan dan keberlanjutan harus ditemukan.
Pertanian lestari, ekowisata, energi terbarukan, dan usaha mikro berbasis kearifan lokal harus menjadi fondasi baru pembangunan di Sabu Raijua.
Langkah Konkret: Waktunya Bertindak, Bukan Sekadar Bicara
Pemerintah dan gereja harus bersama-sama mendorong langkah nyata, bukan hanya seruan moral.
- Audit ekologis menyeluruh terhadap seluruh bentuk eksploitasi alam di wilayah ini, baik yang legal maupun ilegal.
- Penataan ulang kebijakan daerah yang berfokus pada prinsip keadilan ekologis dan partisipasi masyarakat adat.
- Penyelenggaraan forum reflektif antara gereja, adat, dan rakyat sebagai ruang kolektif evaluasi dan visi ekologis bersama.
- Investasi pada ekonomi hijau yang berkelanjutan dan berakar pada sumber daya lokal serta martabat manusia.
Penutup: Menjaga Tanah, Menjaga Iman
Tanah di Sabu Raijua bukan sekadar objek ekonomi. Ia adalah tubuh leluhur, nadi kebudayaan, dan tempat perjumpaan spiritual dengan Sang Pencipta.
Merusak tanah berarti merusak relasi kita dengan Tuhan dan warisan para pendahulu.
Kini, kita berada pada persimpangan sejarah: apakah kita akan memilih jalan pertobatan ekologis dan refleksi moral yang utuh, atau terus terjebak dalam pencitraan, selektifitas, dan hipokrisi yang menumpulkan nurani?
Mikha 6:8 mengajak kita untuk berlaku adil, setia, dan rendah hati. Dan di tanah yang terkoyak ini, iman sejati justru lahir dari keberanian untuk berkata jujur, bertindak adil, dan berdiri di sisi bumi - bukan demi reputasi, tapi demi cinta yang utuh terhadap ciptaan Tuhan. (*)
Simak terus berita POS-KUPANG.COM di Google News
John Mozes Hendrik Wadu Neru
Opini Pos Kupang
Sabu Timur
Kabupaten Sabu Raijua
tambang
tambang mangan
Opini: Prada Lucky dan Tentang Degenerasi Moral Kolektif |
![]() |
---|
Opini: Drama BBM Sabu Raijua, Antrean Panjang Solusi Pendek |
![]() |
---|
Opini: Kala Hoaks Menodai Taman Eden, Antara Bahasa dan Pikiran |
![]() |
---|
Opini: Korupsi K3, Nyawa Pekerja Jadi Taruhan |
![]() |
---|
Opini: FAFO Parenting, Apakah Anak Dibiarkan Merasakan Akibatnya Sendiri? |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.