Paskah 2025
Renungan: Paskah dan Celana Ibu
Paskah bukan sekadar hari raya tahunan. Bukan sekadar peringatan historis. Paskah adalah jantung iman kita, denyut harapan kita, dan fondasi
Kristus bangkit untuk seluruh ciptaan; untuk gunung-gunung yang merintih karena pohon dan hutan yang digundulkan, untuk laut yang tercemar oleh plastik dan buangan limbah industri, untuk hutan yang merana dan mengering menanti saat untuk dibakar oleh tangan manusia yang egois.
Kristus bangkit untuk mengembalikan harmoni—antara manusia dan Pencipta, antara manusia denga sesama manusia yang lain, dan antara manusia dengan alam semesta.
Di Tahun Yubileum ini, kita semua adalah peziarah pengharapan. Kita berjalan bersama menuju kota surgawi, tetapi kita juga dipanggil untuk membawasecercah surga ke bumi ini, menghadirkan surga di dunia ini—melalui perjuangan keadilan, penggalangan solidaritas, tindakan kasih terhadap sesama, dan kepedulianterhadap bumi, rumah bersama kita.
Dengan semangat sebagai penziarah pengharapan, maka bangkitlah, umat Tuhan! Bangkitlah dari putus asa! Bangkitlah dari egoisme!
Bangkitlah dari dosa! Dan berjalanlah sebagai umat yang telah disentuh oleh kebangkitan. Kristus telah bangkit.
Maka harapan pun harus bangkit. Kristus hidup. Maka kasih pun harus hidup dan menjadi nyata. Kristus menang, maka kehidupanpun harus menang!
Izinkan saya mengakhiri refleksi ini dengan mengutip sebuah Puisi Joko Pinurbo berjudul : “Celana ibu” :
Maria sangat sedih
menyaksikan anaknya
mati di kayu salib tanpa celana
dan hanya berbalutkan sobekan jubah
yang berlumuran darah…..
Ketika tiga hari kemudian
Yesus bangkit dari mati,
pagi-pagi sekali Maria datang ke kubur anaknya itu,
membawa celana yang dijahitnya sendiri
dan meminta Yesus mencobanya….
“Paskah?” tanya Maria
“Pas!” jawab Yesus gembira…
Mengenakan celana buatan ibunya,
Yesus naik ke surga.
Banyak interpretasi bisa diberikan terhadap puisi jenaka Joko Pinurbo ini.
Segelintir umat kristiani bahkan mengaku terganggu dengan penggunaan diksi yangterlalu ‘nyeleneh’ terhadap peristiwa yang dianggap sedemikian sakral.
Tapi saya melihat sebaliknya, Joko Pinurbo berhasil dengan imajinasinya mengeritik perayaan Paskah yang kerapkali terlalu ritual dan tidak manusiawi.
Merayakan Paskah berarti mengambil posisi Maria, perawan yang dikasihi Tuhan dan telah terpilih menjadi ibu Tuhan, yang berusaha membalut luka dan menutupi kehinaan yang ditimpakan manusia pada tubuh Sang Putera dengan “celana” yang ia jahit dan sulam dengan tangannya sendiri.
Mari kita rayakan Paskah, bukan hanya dengan liturgi dan lagu, tetapi dengan keberanian untuk hidup yang baru, dengan semangat yang menyala, dan dengan hati yang lebih peduli!
Selamat Paskah. Selamat melangkah para peziarah pengharapan! Tuhan yang bangkit menyertai kita selamanya. Aelluya. (*)
Simak terus berita POS-KUPANG.COM di Google News
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.