Paskah 2025
Refleksi Jumat Agung - Mengapa Tuhan Harus Menderita?
Mungkin sampai hari ini, masih ada banyak orang yang tetap bertanya, mengapa Yesus harus menderita?
Oleh: P. Dr. Fidel Wotan, SMM
(Rektor Seminari Tinggi Montfort “Pondok Kebijaksanaan", Malang)
POS-KUPANG.COM - Mungkin sampai hari ini, masih ada banyak orang yang tetap bertanya, mengapa Yesus harus menderita? Kalau Dia Allah, mengapa ia harus menyerahkan diri-Nya untuk disalibkan? Jikalau, Allah Bapa itu Mahakasih, mengapa Ia rela membiarkan Putra-Nya tergantung di salib?
Salib dan Penderitaan Tuhan: Misteri Cinta dan Kebijaksanaan
Untuk menjawab beberapa pertanyaan tersebut, saya meminjam refleksi teologis tentang “Salib” sebagaimana yang diajarkan oleh seorang kudus Prancis, St. Louis Marie Grignion de Montfort (1673-1716).
Bagi orang kudus ini, “misteri Salib” pertama-tama adalah “misteri Cinta”, yang dilahirkan karena Kasih Ilahi. Allah Bapa mencintai Putra dengan cinta yang tak terbatas di dalam penjelmaan-Nya dan Sabda yang tersalib: Inilah Anak yang Kukasihi .... (Mat 3:17).
Putra yang menjelma dan tersalib mencintai Bapa-Nya dengan cinta yang sama sebagaimana Bapa mencintai-Nya sejak kekal (bdk. Yoh. 14:31).
Bapa tidak dapat mencintai Putra-Nya tanpa mencintai Dia dalam keadaan bebas-Nya sebagai manusia yang menderita; Putra, dalam keadaan yang sama akan menerima dengan gembira cinta Bapa-Nya.
Begitu pula halnya dengan Roh Kudus merupakan cinta kasih timbal balik dari Allah Bapa dan Putra yang dapat diberikan juga kepada manusia.
Untuk itulah Allah ingin memperlihatkan dan memberikan cinta-Nya kepada manusia. Di dalam cinta-Nya yang tak terbatas, Dia menjadi penyelamat dan pengantara kita kepada Bapa (Bakti yang Sejati 85, 87).
Dalam konteks ini, St. Montfort melihat “Salib” sebagai jalan perwujudan Kasih Allah bagi manusia (dunia). Dengan kata lain, misionaris Apostolik ini tidak melihat sarana lain yang lebih memungkinkan Cinta Allah itu terwujud dan “hanya kepada saliblah” Ia menjatuhkan pilihan-Nya.
Ia menulis: … Ia lebih suka memilih salib dan penderitaan untuk memberikan bukti cinta yang lebih besar kepada umat manusia (Cinta Sang Kebijaksanaan Abadi [CKA] 164; bdk. Kidung 19; 25).
Tuhan Turut Menderita: Solidaritas Allah bagi Manusia Pendosa
Yesus adalah Allah dan sekaligus manusia sama seperti kita. Sebagai manusia, tentu saja Dia juga mengalami sisi kemanusiawiaan.
Sebagai manusia Ia juga mengalami rasa sakit karena siksaan, didera, dihina. Dengan itu, sebetulnya Ia ingin menjadi bagian dari hidup manusia dan karena itu Dia pun turut menderita.
Namun yang membedakan Yesus dengan manusia biasa ialah bahwa Ia mau menderita dan menanggung secara sukarela segala dosa dan penghinaan, penganiayaan yang ditujukan pada-Nya. Lukisan penderitaan seperti ini sudah sangat jelas dikatakan Nabi Yesaya.
Hamba Yahwe menderita itu justru tidak membalas perbuatan keji manusia atas diri-Nya. Yesaya melukiskan penderitaan Yesus bagaikan domba yang diam. Ia dicukur, seperti anak domba yang diantar ke tempat pembantaian, dan walaupun kematiaan sudah di depan mata-Nya, Ia sama sekali tidak memberontak, dsb (bdk. Yes 52;13-53:12).
Setiap tahun umat Kristiani memeringati Sengsara, Wafat dan KematianYesus. Hal ini sudah menjadi devosi setiap pengikut Kristus, yakni “devosi jalan salib”.
Seringkali orang kurang memperhatikan tatkala memeringati sengsara dan kematian-Nya, yakni Yesus dicobai dan diuji kesetiaan-Nya sama seperti manusia, hanya saja Dia tidak pernah berdosa.
Mungkin saja kebanyakan manusia tak bisa menangkap sepenuhnya bagaimana Allah dapat dicobai serta mau menangis dan mengeluh bahkan takut menghadapi maut. Dalam Matius 26:38, Yesus berkata: Hati-Ku sangat sedih, seperti mau mati rasanya. Tinggallah di sini dan berjaga-jagalah dengan Aku (bdk. Mrk 14:34; Luk 24:41).
Rasa takut itu tentu saja merupakan bagian dari sisi kemanusiaan Yesus dan bukan sisi ke-Allahan-Nya. Sekalipun demikian, Ia tetap Allah dan sekaligus juga manusia yang menderita, sebab Dia adalah Allah yang mengosongkan diri dan mengambil rupa seorang hamba (bdk. Flp 2:7).
Ecce Homo (Lihatlah Manusia itu!)
Sebagai manusia, pada saat ini, Yesus amat menderita. “ECCE HOMO!”. Lihatlah manusia itu!” (Yoh 19:5) demikianlah Pilatus memperkenalkan Yesus kepada khalayak yang berseru-seru menuntut agar Ia harus dihukum mati.
Bisa dibayangkan bahwa kala itu darah-Nya membasahi seluruh tubuh-Nya akibat penderaan. Di kepala-Nya ada mahkota duri dan Ia mengenakan jubah ungu tanda penghinaan.
Di hadapan-Nya para musuh secara keji melancarkan tuntutan agar Ia disalibkan. Pilatus, sang penguasa dunia kala itu seakan tak berdaya dipermainkan oleh para pemimpin Agama Yahudi. Harapannya untuk membebaskan Yesus ditepis sebab ketika imam-imam kepala dan penjaga-penjaga itu melihat Dia, berteriaklah mereka: ‘salibkan Dia!, salibkan Dia! (Yoh 19:5-6).
“ECCE HOMO!”. Kata-kata Pilatus ini sebetulnya jauh melampaui apa yang sedang ia pikirkan saat itu, “lihatlah manusia itu!” Dialah Manusia yang harus menanggung semuanya. Dia harus mati dan Dialah Adam baru yang datang untuk memulihkan manusia pertama, Adam lama. Dialah yang menanggung segala kesalahan dan dosa manusia seperti yang dikatakan dalam Yes 53:4-5.
Pada saat ini, sebetulnya Yesus “sedang menangis”. Dia menderita dan menangis bukan karena beratnya salib yang Ia pikul, juga bukan karena banyaknya cambukan yang diterima-Nya.
Demikian juga, “Ia menangis” bukan karena hujatan manusia. Ia menangis karena di mana-mana masih terdapat begitu banyak kejahatan dan kekejian dalam hidup manusia.
“Dia menangis” karena hanya segelintir orang yang mau menderita dan memikul salibnya setiap hari. Dia juga “menangis” karena sedikit sekali orang yang mau menempuh jalan salibnya, dan hanya segelintir manusia yang mau berkorban untuk sesamanya. Dia pun “menangis” karena kesombongan, egoisme dan keserakahan manusia.
Salib dan Kesetiaan bersama Bunda Maria
Saat ini “Yesus menangis” dan “memohon untuk didengarkan”, namun apa yang terjadi, apakah manusia sering mau mendengarkan tangisan-Nya? Dia mengeluh rasa sakit karena olok-olokan ‘dunia’, akan tetapi apakah manusia mau turut menderita bersama-Nya.
Mungkin ada di antara para pengikut Yesus akan merasa sangat dekat dan menyatu dengan-Nya bahkan bisa turut merasakan penderitaan-Nya dalam hidupnya. Yesus yang dicobai, Dia yang “menangis”, “mengeluh” dan bahkan juga “takut” terhadap maut itu, sekarang menjadi “Pengantara manusia”.
Dialah yang menghubungkan mereka dengan Bapa-Nya. Dia mengenal mereka satu persatu karena sudah diuji iman dan kesetiaan serta ketaatan-Nya pada Allah dan bahkan menderita lebih hebat dari orang lain (bdk. Ibr 4:14-16).
Melalui sengsara dan kematian-Nya, Yesus ingin mengajak seluruh umat Kristiani agar bersama Ibu-Nya yang tercinta, Maria yang Berdukacita (Mater Dolorosa) terus belajar tegar dan teguh di dalam memikul salib mereka dan mau menderita bersama-Nya (bdk. Yoh 19:25-27). Sebab ramalan Simeon pada Maria tentang sebilah pedang akan menembus jiwanya (Luk 2:35), kini benar-benar terjadi.
Sebagai seorang ibu, Maria harus menyaksikan dan mengalami sendiri dari dekat jalan salib Putranya itu. Saat ini, Maria tidak lagi melihat Putranya tampil gagah perkasa. Ia pun tidak lagi memandang buah hatinya itu, yang dengan kecerdasannya selalu mengajarkan cinta dan kebaikan Allah bagi manusia.
Kini, sang Bunda pun tidak lagi menyaksikan dari dekat mukjizat demi mukjizat hebat yang pernah diperlihatkan oleh Putranya tercinta itu (bdk. Yoh 2:1-11). Saat ini pun Maria tak lagi memandang Putranya tampil bak “Pangeran Cinta” yang dipuji dan disanjung-sanjung para pengikut-Nya.
Semuanya berubah total menjadi hening, sepi. Kini, ia hanya melihat si buah hatinya berjalan tertatih-tatih menyusuri lorong-lorong penuh penderitaan menuju Kalvari. Dalam diam dan heningnya, ternyata sang Bunda menyimpan semuanya dan merenungkannya.
Lalu apakah yang masih tersisa? Yang tersisa hanyalah “iman dan pengharapan serta kasih seorang ibu pada Putranya sampai di bawah kaki salib-Nya”.
Penginjil Yohanes mengatakan: Sesudah Yesus meminum anggur asam itu, berkatalah Ia: “Sudah selesai”. Lalu ia menundukkan kepala-Nya dan menyerahkan nyawa-Nya (Yoh 19:30).
Dengan ini, maka selesailah jalan-jalan penderitaan Yesus dan Ibu-Nya memandang semuanya itu dengan hati keibuan dan merenungkannya.
Salib: Medan Transformasi Diri Di hadapan Allah
Menurut St. Montfort, makna terdalam panggilan hidup seorang pengikut Kristus hanya bisa diverifikasi dalam dan melalui identifikasi dirinya dengan “Yesus yang menderita”.
Kesempurnaan seorang pengikut Kristus justru terletak dalam aspek ini: “memikul salib dan menyangkal diri”. Ia berkata: seluruh kesempurnaan Kristiani terdiri dari: keputusan untuk menjadi seorang suci: ...., mengingkari diri: ia harus menyangkal dirinya; rela menderita: memikul salibnya; mau bertindak dan mengikuti Aku (Mat 16:24; Luk 9:23; Surat kepada Sahabat-sahabat Salib [SSS] 13).
Dengan berkata demikian, St. Montfort hendak menekankan agar setiap murid Kristus berani mengalami penderitaan seperti yang dialami oleh Tuhan sendiri. Dalam hal ini, ia menantang setiap orang Kristiani untuk merumuskan ulang hakekat kemuridannya.
Orang kudus ini menulis: Tidak seorang pun diakui sebagai anak-Nya, kecuali kalau ia ditandai oleh salib. Tidak seorang pun diakui sebagai murid-Nya, kecuali kalau ia membawa salib pada dahinya tanpa malu, dalam hatinya tanpa menolaknya, pada bahunya tanpa menyeretnya atau berusaha melepaskannya (Cinta dari Kebijaksanaan Abadi [CKA] 173).
Seruan St. Montfort ini dapat menghentak kesadaran manusia Kristiani kontemporer untuk melihat kembali identitas kemuridan di hadapan-Nya, malahan dapat menjadi sebuah kritikan bagi mereka yang belum menghayati panggilannya sebagai pengikut Kristus.
Dengan kata lain, bobot kemuridan dan kelayakan identitas seorang pengikut Yesus harus didasarkan pada wilayah tersebut. Di sinilah setiap orang Kristen dapat menjadi manusia baru.
Persisnya peristiwa salib adalah suatu momen transformatif. Pertanyaannya, mengapa transformasi diri itu harus melalui pengalaman salib dan bukan melalui jalan yang lain?
Transformasi (perubahan) diri harus melalui “salib” oleh karena Salib adalah cara yang dipilih Allah untuk membawa manusia kepada kehidupan bahagia di surga.
St. Montfort berkata: ingatlah baik-baik: sejak Kebijaksanaan yang menjelma diharuskan masuk surga melalui salib, anda juga harus masuk melalui jalan yang sama (CKA 180).
Dengan seruan ini, St. Montfort hendak membantu “para sahabat Salib” (kaum Kristiani) untuk melihat lagi seluruh peristiwa Salib Yesus sebagai momen transformasi untuk mengubah dan membawa manusia kembali kepada Allah.
Akhir Kata
Semoga dengan merenungkan Misteri Sengsara dan Wafat Tuhan Yesus Kristus hari ini (Jumat Agung) seluruh umat Krisitani dapat mengambil bagian dalam seluruh penderitaan-Nya sehingga pada akhirnya menikmati Paskah Kebangkitan-Nya dengan penuh sukacita bersama Maria Bunda Bersukacita (Maria Alelluia). (*)
Ikuti berita POS-KUPANG.COM lain di GOOGLE NEWS
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.