NTT Terkini

Ombudsman NTT Soroti Dugaan Praktik Fee dalam Tata Niaga Sapi

Praktik ini dinilai membuka ruang penyimpangan yang merugikan peternak kecil dan mencederai prinsip keadilan dalam distribusi kuota.

Penulis: Ray Rebon | Editor: Eflin Rote
POS-KUPANG.COM/HO
Kepala Ombudsman NTT, Darius Beda Daton menerima kunjungan dari pengurus HP2SK NTT 

Laporan Reporter POS-KUPANG.COM, Ray Rebon

POS-KUPANG.COM, KUPANG -Ombudsman RI Perwakilan NTT melontarkan kritik keras terhadap tata niaga sapi di wilayah Provinsi NTT, khususnya terkait dugaan praktik fee dalam proses pemberian rekomendasi pengiriman sapi antardaerah.

Praktik ini dinilai membuka ruang penyimpangan yang merugikan peternak kecil dan mencederai prinsip keadilan dalam distribusi kuota.

Demikian disampaikan Kepala Ombudsman NTT, Darius Beda Daton, dalam pertemuan bersama Himpunan Pengusaha Peternak Sapi dan Kerbau (HP2SK) NTT pada Jumat 11 April 2025. 

Dalam pertemuan itu pun, Darius mengungkapkan bahwa pihaknya telah menerima banyak laporan terkait ketidakadilan pembagian kuota pengiriman sapi oleh Dinas Peternakan di sejumlah kabupaten, seperti Kabupaten Kupang, TTS, dan TTU.

"Tidak adanya formula yang jelas dalam pembagian kuota membuka celah praktik fee dan monopoli. Bahkan muncul istilah ‘rekomendasi bodong’ di kalangan pengusaha," ungkap Darius.

Menurut temuan Ombudsman, terdapat dugaan pemberian fee sebesar Rp 25.000 hingga Rp 150.000 per ekor sapi kepada pihak pemberi rekomendasi. 

Selain itu, petugas teknis yang bertugas melakukan pemeriksaan kesehatan dan timbang hewan di kandang juga disebut menerima bayaran antara Rp 2 juta hingga Rp 3 juta per lokasi.

"Fee ini diduga sebagai bentuk 'uang pelicin' untuk meloloskan sapi yang belum memenuhi kriteria, seperti berat badan minimal 275 kilogram sebagaimana diatur dalam Peraturan Gubernur NTT Nomor 52 Tahun 2003," jelasnya.

Lebih miris lagi, Darius menyebut adanya praktik jual beli rekomendasi, di mana pemegang rekomendasi yang tidak memiliki sapi menjual surat tersebut kepada pengusaha lain yang memiliki sapi dengan tarif tertentu.

"Ini jelas menyalahi aturan dan menjadi bentuk praktik percaloan yang dilegalkan secara tidak langsung," tegasnya.

Baca juga: Ibu dan Anak di Sikka Meninggal Dunia, Ombudsman NTT Soroti Ketiadaan Dokter Anestesi

Ombudsman juga mencatat lemahnya sistem verifikasi dan pengawasan, seperti tidak adanya eartag (penandaan) pada sapi yang sudah diperiksa, sehingga memungkinkan satu ekor sapi digunakan untuk mengajukan rekomendasi di lebih dari satu kabupaten.

Menindaklanjuti laporan tersebut, Darius bersama tim melakukan inspeksi mendadak ke Balai Karantina Tenau pada Senin, 14 April 2025 kemarin untuk melakukan uji petik berat sapi. 

Hasilnya, kata Darius sebagian besar sapi yang akan dikirim tidak memenuhi standar berat minimum, hanya berkisar antara 225-260 kilogram per ekor.

"Ini bukti bahwa informasi yang kami terima valid, dan dugaan praktik fee untuk ‘meloloskan’ sapi-sapi ringan memang nyata terjadi," tegasnya.

Ombudsman mendesak pemerintah provinsi dan kabupaten/kota di NTT untuk segera memperbaiki regulasi dan sistem pengawasan tata niaga sapi, termasuk pembentukan holding ground serta penerapan sistem digital berbasis eartag agar lebih transparan dan akuntabel. (rey)

Ikuti Berita POS-KUPANG.COM lainnya di GOOGLE NEWS

Sumber: Pos Kupang
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved