Opini
Opini: Fenomena Overqualified ASN di Tempat Kerja
Namun realita terlihat bahwa masih banyak ASN yang kurang optimal dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat.
Oleh: Eduardus Johanes Sahagun, M.A
Widyaiswara pada Pusat Pengembangan SDM Kementerian Kependudukan dan Pembangunan Keluarga/BKKBN
POS-KUPANG.COM - Aparatur Sipil Negara (ASN) merupakan pilar utama dalam birokrasi pemerintahan yang berperan penting dalam pelayanan publik.
Namun realita terlihat bahwa masih banyak ASN yang kurang optimal dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat.
Hal ini disebabkan oleh banyak faktor, salah satunya karena menurunnya antusias, inovasi, dan kreativitas ASN.
Problem ini disebabkan karena banyak ASN yang bekerja tidak sesuai dengan keterampilan atau pendidikan yang dimiliki.
Beberapa tahun terakhir, muncul fenomena di mana ASN memiliki kualifikasi dan pendidikan yang lebih tinggi dibandingkan dengan persyaratan jabatan yang ditempati, atau yang dikenal dengan istilah overqualified.
Istilah overqualified adalah kondisi di mana seseorang memiliki kualifikasi pendidikan, keterampilan, atau pengalaman kerja yang lebih tinggi dari yang dibutuhkan untuk suatu pekerjaan.
Dalam konteks ASN, fenomena ini terjadi ketika seorang pegawai memiliki tingkat pendidikan atau kompetensi yang jauh melampaui persyaratan jabatan yang ditempati, yang dapat berdampak pada kepuasan kerja, produktivitas, serta efektivitas birokrasi secara keseluruhan.
Fenomena ini menimbulkan berbagai tantangan bagi individu ASN itu sendiri tetapi juga berdampak pada efisiensi dan efektivitas layanan publik secara keseluruhan.
Data dan Fakta
Tren angkatan kerja berpendidikan tinggi semakin meningkat di Indonesia. Indonesia saat ini memiliki jumlah angkatan kerja yang besar.
Pada bulan Agustus 2022 terdapat 143,72 juta angkatan kerja di Indonesia (BPS 2022).
Proporsi pekerja di Indonesia dengan status lulusan pendidikan tinggi mengalami peningkatan dari tahun 2020 hingga 2021 dari yang semula 9,63 persen pada Agustus 2020 menjadi 10,18 persen pada Agustus 2021, setara dengan 13,34 juta pekerja di Indonesia.
Hal ini menunjukkan terjadinya suatu perubahan struktur angkatan kerja, di mana jumlah tenaga kerja dengan pendidikan tinggi di Indonesia semakin meningkat (Hasibuan dan Handayani 2021).
Fakta peningkatan jumlah tenaga kerja dengan pendidikan tinggi membuka peluang sekaligus tantangan yang perlu mendapat atensi serius semisal persoalan mengenai ketidaksesuaian atau ketidakcocokan kualifikasi pendidikan dengan jenis pekerjaan yang diemban.
Mengenai persoalan ini, Sekretaris Jenderal Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker) menyampaikan bahwa kualifikasi pekerjaan perlu disesuaikan dengan kebutuhan kerja.
Ketidaksesuaian mengacu pada kurangnya kecocokan antara keterampilan yang ada di pasar tenaga kerja dengan keterampilan yang dibutuhkan (Palmer 2018).
Adanya ketidakcocokan ini dapat terjadi ketika tenaga kerja terlatih dalam bidang tertentu, mendapatkan pekerjaan di bidang lain yang tidak sesuai dengan bidang studinya.
Kualitas tenaga kerja yang meningkat tanpa diikuti dengan peningkatan permintaan tenaga kerja yang memiliki keterampilan tinggi dapat menyebabkan ketidaksesuaian.
Berdasarkan data dari Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas), terdapat sekitar 53,33 persen tenaga kerja Indonesia mengalami vertical mismatch, yaitu ketidaksesuaian antara tingkat pendidikan atau keterampilan dengan kualifikasi pekerjaan yang dijalani.
Selain itu, 60,62 persen tenaga kerja mengalami horizontal mismatch, di mana bidang studi atau keterampilan yang dimiliki tidak sesuai dengan pekerjaan yang dilakukan.
Ketidaksesuaian ini dapat menyebabkan surplus atau defisit sumber daya manusia, yang berdampak pada produktivitas dan kepuasan kerja (disnakertrans.serangkab.go.id).
Permasalahan yang muncul
Fenomena overqualified dalam lingkungan kerja ASN dapat menimbulkan berbagai permasalahan yang berdampak pada individu ASN itu sendiri maupun kinerja organisasi secara keseluruhan.
Nampak jelas bahwa ASN yang merasa pekerjaannya tidak menantang dan tidak sesuai dengan kualifikasi akademiknya cenderung mengalami ketidakpuasan kerja.
Mereka merasa bahwa tugas yang diberikan tidak memanfaatkan kemampuan mereka secara optimal, yang dapat berdampak pada penurunan semangat kerja dan motivasi.
Selain itu, persoalan yang cukup banyak terjadi saat ini adalah kurangnya pemanfaatan kompetensi yang dimiliki.
ASN yang memiliki keahlian dan pengetahuan lebih tinggi dari yang dibutuhkan sering kali tidak diberi kesempatan untuk mengimplementasikan kemampuannya.
Akibatnya, potensi individu tidak dimanfaatkan secara maksimal, yang berujung pada inefisiensi dalam birokrasi.
Lebih jauh dari itu, ASN yang merasa tidak tertantang dalam pekerjaannya cenderung kehilangan inisiatif dan kreativitas.
Hal ini dapat menghambat inovasi dalam pelayanan publik dan menyebabkan organisasi kehilangan peluang untuk meningkatkan efisiensi serta efektivitas kerja.
ASN yang mengalami overqualified cenderung mencari peluang lain, baik dalam bentuk mutasi ke instansi lain maupun berpindah ke sektor swasta yang lebih memberikan tantangan dan apresiasi terhadap kualifikasinya. Hal ini dapat menyebabkan ketidakstabilan dalam organisasi.
Dalam sistem birokrasi yang nampak rigid, promosi jabatan sering kali didasarkan pada masa kerja, bahkan ada juga karena faktor kedekatan/‘orang dalam’, dan bukan pada kualifikasi atau kompetensi yang dimiliki individu.
Akibatnya, ASN yang memiliki pendidikan lebih tinggi tetapi belum memenuhi syarat administratif, (bahkan tidak ada kedekatan dengan pimpinan) akan sulit untuk mendapatkan posisi yang sesuai dengan kemampuannya.
Ditambah lagi, saat ini banyak ASN yang melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi dengan harapan dapat memberikan kontribusi lebih besar dalam pekerjaannya.
Namun, jika kualifikasi yang lebih tinggi tersebut tidak dapat diterapkan di tempat kerja, maka biaya pendidikan yang telah dikeluarkan menjadi tidak memberikan manfaat maksimal bagi individu maupun organisasi.
Berbagai permasalahan yang sudah digambarkan di atas menunjukkan bahwa fenomena overqualified ASN bukan hanya berdampak pada individu, tetapi juga pada efisiensi dan efektivitas pelayanan publik.
Oleh karena itu, diperlukan kebijakan yang tepat agar kompetensi ASN dapat dimanfaatkan secara optimal dalam sistem birokrasi.
Kepala Badan Kepegawaian Negara (BKN) Prof. Zudan Arif telah menyampaikan kabar baik bagi para ASN Guru, Dosen dan Tenaga Kependidikan, yang rencananya akan diberikan kemudahan prosedur kepegawaian Izin Belajar, Tugas Belajar dan Pencantuman Gelar.
Langkah ini diambil untuk mempercepat pengembangan karier ASN, termasuk dalam hal capaian jabatan puncak, dengan tetap menjaga kualitas kompetensi dan kinerja.
Kebijakan ini patut diapresiasi, namun pertanyaan selanjutnya adalah, setelah izin dan tugas belajar, serta gelar dicantumkan, apakah ada jaminan pemanfaatan kompetensi? atau, apakah ASN akan tetap stagnan di posisi yang tidak sesuai kapasitas?
Memang benar bahwa ASN seharusnya meningkatkan pendidikan dan keterampilan melalui tugas/izin belajar, meski ekspektasi organisasi tidak sejalan, karena belajar adalah bagian dari self-actualization dan pengembangan professional.
Akan tetapi, yang jadi masalah justru ketika organisasi tidak memberi ruang yang luas untuk mengaktualisasikan hasil belajar yang sudah diperioleh, tidak ada komunikasi yang jelas tentang dampak belajar terhadap karir.
Bahkan lebih parah lagi, ASN belajar dengan harapan A, sedang organisasi berpikir ke arah B. Inilah realita yang tidak bisa kita pungkiri saat ini.
Solusi yang dapat diterapkan
Untuk mengatasi permasalahan tersebut, perlu melakukan beberapa langkah strategis, seperti perbaikan sistem rekrutmen dan penempatan dengan menerapkan sistem rekrutmen yang berbasis kompetensi dan kebutuhan organisasi, serta memastikan penempatan ASN sesuai dengan kualifikasi dan potensi mereka.
Selain itu, perlu juga ada pengembangan struktur organisasi yang dinamis, fleksibel dan adaptif, sehingga memungkinkan ASN dengan kualifikasi tinggi dapat menempati posisi yang sesuai dan memberikan kontribusi maksimal.
Para ASN juga perlu mendapat informasi yang cepat dan responsif untuk peningkatan program pengembangan karier melalui pendidikan dan pelatihan yang berkelanjutan, serta mengimplementasikan sistem evaluasi kinerja yang objektif dan transparan, sehingga ASN yang berprestasi bisa mendapatkan penghargaan dan promosi yang sesuai.
Selain itu, jangan lupa juga untuk memberi kesempatan bagi ASN agar terlibat aktif dalam proses pengambilan keputusan dan pengembangan kebijakan, sehingga mereka merasa dihargai dan termotivasi untuk berkontribusi lebih. (*)
Simak terus berita POS-KUPANG.COM di Google News
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.