Renungan Harian Katolik
Renungan Harian Katolik Rabu 5 Maret 2025, Rabu Abu: Puasa dan Pengharapan
Puasa adalah panggilan pertobatan sebagai peziarah yang sedang berjalan dalam mengejar kesempurnaan hidup.
Oleh : Romo Leo Mali
POS-KUPANG.COM - Renungan Harian Katolik Rabu 5 Maret 2025, Rabu Abu: Puasa dan Pengharapan
Pendahuluan
Rabu Abu menandai awal Masa Prapaskah, sebuah periode 40 hari yangdidedikasikan untuk pertobatan, doa, puasa, dan amal. Melalui Liturgi Rabu Abu, Gereja membawa kita kepada kesadaran akan kefanaan hidup dan kebutuhan kita akan pengharapan dan belas kasih Allah. Melalui bacaan Kitab Suci hari ini-Yoel 2:12-18, 2 Korintus 5:20–6:2, dan Matius 6:1-6.16-18 - kita diajak untuk memahami puasa sebagai jalan menuju pertobatan dan pengharapan. Puasa adalah sebuah disiplin rohani yang membawa kita agar di satu sisi semakin sadar akan keterbatasan diri kita dan di sisi lain semakin merasa perlu mendekatkan diri kepada pengharapan sejati di dalam Kristus.
1. Puasa yang Sejati
Nabi Yoel dalam perikop ini menyerukan kepada umat Israel untuk kembali kepada Tuhan dengan segenap hati. Ia berkata: "Berbaliklah kepada-Ku dengansegenap hatimu, dengan berpuasa, dengan menangis, dan dengan mengaduh." (Yoel 2:12) Seruan ini bukan hanya untuk melakukan puasa secara lahiriah, tetapi jugauntuk menghidupi sikap batin yang sungguh-sungguh dalam pertobatan. “koyakanlah hatimu dan jangan pakaianmu. Berbaliklah kepada Tuhan, Allahmu, sebab IA pengasih dan penyayang, panjang sabar dan berlimpah kasih setia. ”(2:13) Makanan, sebagaimana segala bentuk kesenangan dalamhidup, kerapkali
memberi kenyamanan tertentu yang membuat setiap orang terkurung dalamdirinyasendiri. Demikian juga dosa-dosa memang memang membuat orang tersiksa. Tapi dosa menawarkan juga mekanisme penyelamatan diri yang semu, ketika seseorangyang berdosa semakin jauh dan bersembunyi dari Tuhan. Di sini tampak bagaimana kesenangan-kesenangan duniawi dan dosa akhirnya menghalangi kita dari kasihkarunia Allah.
Yoel juga menegaskan bahwa berpuasa, dengan menyangkal diri danmenunda kesenangan, kita akan semakin mengenal Allah sebagai Allah yang“pengasih dan penyayang, panjang sabar dan berlimpah kasih setia”, yang siap dan menunggu dengan tangan terentang untuk mengampuni dan memulihkan umat kesayangan-Nya. Liturgi Rabu Abu, mengajak kita untuk merenungkan hubungan dengan Allah. Dan berpuasa bagi kita bukan hanya satu kewajiban tetapi juga simbol pertobatan sejati yang berasal dari hati yang remuk dan terbuka kepada belas kasihAllah.
2. Diperdamaikan dengan Allah (2 Korintus 5:20–6:2)
Rabu abu yang mengawali masa Prapaskah merupakan kesempatan bagi kitauntuk menyadari kelemahan dan kefanaan kita: “Engkau adalah debu dan akan kembali menjadi debu.” Namun, dengan begitu kita mengakui bahwa harapan untuk hidup itu tidak bersumber dari diri kita. Hanya dalam Kristus kita menemukan harapan bahwa Allah dapat mengubah kehidupan kita yang penuh debu menjadi sesuatu yang mulia dan berharga. Karena itu dalam suratnya kepada jemaat di Korintus, Rasul Paulus mengajak kita untuk menerima kasih karunia Allah dengan tidak sia-sia. Ia menulis: “Pada waktu yang berkenan Aku telah mendengarkan engkau, dan pada hari penyelamatan Aku telah menolong engkau. Camkanlah, saat inilah saat perkenanan itu; hari inilah hari penyelamatan itu.” (2 Kor 6:2). Paulus menekankan urgensi untuk berdamai dengan Allah. Puasa menjadi salah satu cara kita untuk menanggapi rahmat pendamaian ini.
3. Puasa yang berkenan Pada “Bapa yang tersembunyi”
Dengan berpuasa, kita mengosongkan diri, menata kembali prioritas hidup kita, agar kita tidak lagi hidup untuk diri sendiri, melainkan hidup bagi Kristus yang telah mengasihi kita. Dengan cara ini kita membiarkan diri dipenuhi oleh kehadiran Allah. Dalam Injil Matius, Yesus menegur praktik keagamaan yang dilakukan hanya demi mendapatkan pujian manusia. Demikian kataNya : “Tetapi apabila engkau berpuasa, minyakilah kepalamu dan cucilah mukamu, supaya jangan dilihat orang bahwa engkau sedang berpuasa, melainkan hanya oleh Bapamu yang ada di tempat tersembunyi.” (Mat 6:17-18). Puasa sejati harus dilakukan dengan ketulusan, bukan sebagai ajang pamer kesalehan. Puasa yang sejati itu mengarahkan kita pada perubahan hidup dan sikap adil bagi sesama.
Nabi Yesaya menegaskan bahwa puasa yang dikehendaki Allah adalah membebaskan orang tertindas, memberi makan kepada yang lapar, dan memberikan pakaian kepada yang telanjang (Yesaya 58:6-7). Tapi buah dari puasa seperti ini harus dimulai dengan pembaruan kesadaran akan “belongingness”; kesadaran akan dicintai dan dimiliki oleh Allah. Puasa dimaksudkan sebagai pembersihan ruang bathin seseorang yang paling dalam, sehingga ia merasa sepenuhnya dicintai dan dimiliki oleh Allah. Sehingga puasanya pertama-tama berkenan pada “Bapa yang berada di tempat yang tersembunyi.” Dengan melihat puasa sebagai bentuk pembaharuan hubungan dengan Kristus, Puasa mengarahkan kita kepada pengharapan. Dalam seruan Pra-paskah-nya baru-baru ini, Sri Paus Fransiskus mengingatkan seluruh Gereja akan makna Puasa.
Bahwa pertama Puasa adalah panggilan pertobatan sebagai peziarah yang sedang berjalan dalam mengejar
kesempurnaan hidup.
Kedua, dalam peziarah itu kita berjalan bersama dalam sebuah sinodalitas. Dalam perjalanan bersama itu kita tidak saling mementingkan diri sendiri tetapi saling mengerti dan saling peduli. Maka puasa dan pertobatan mesti membuat kita peduli satu sama lain.
Dan yang ketiga, puasa dan pertobatan sebagai sebuahziarah digerakan oleh sebuah janji yang penuh harapan akan hidup yang kekal. Masa Prapaskah sebagai masa pertobatan, sekalian merupakan waktu untuk bertumbuh dalam harapan.
Penutup: Menghidupi Semangat pertobatan selama masa Pra paskah Maka semangat pertobatan harus dihayati dalam kehidupan sehari-hari. Untuk itu, selama masa Pra Paskah ini :
1) Kita perlu meningkatkan kehidupan doa, sebab masa Prapaskah adalah kesempatan untuk memperdalam hubungan dengan Tuhan melalui doa yang lebih intens.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.