Opini
Opini: Scientia Potentia Est, Saatnya Kampus di NTT Mengubah Ilmu Jadi Aksi
Pengabdian kepada masyarakat harus diperkuat agar perguruan tinggi dapat memberikan dampak langsung bagi masyarakat.
Oleh: Dr. Deford Nasareno Lakapu, MM, CMT
Tenaga Pengajar Program Studi Magister Studi Pembangunan Universitas Nusa Cendana Kupang
POS-KUPANG.COM - Di tengah kebijakan efisiensi anggaran yang diterapkan pemerintah pusat, perguruan tinggi di Nusa Tenggara Timur (NTT) memiliki peran strategis dalam membangun daerah melalui pengembangan sumber daya manusia (SDM), riset terapan, dan inovasi berbasis potensi lokal.
Melki Laka Lena dan Johni Asadoma sebagai pemimpin baru di NTT harus mampu mengoptimalkan peran institusi pendidikan tinggi agar tetap dapat berkontribusi bagi pembangunan daerah meskipun dalam keterbatasan anggaran.
Hal ini sejalan dengan arahan Presiden Prabowo Subianto yang menekankan pentingnya pembangunan SDM sebagai kunci kemajuan bangsa, meskipun pemerintah sedang melakukan efisiensi besar-besaran terhadap belanja negara.
Kebijakan efisiensi anggaran yang dilakukan oleh pemerintah pusat mengharuskan berbagai sektor, termasuk pendidikan, untuk menyesuaikan diri dengan pengurangan alokasi dana tanpa mengorbankan kualitas layanan.
Dalam konteks ini, perguruan tinggi di NTT harus semakin kreatif dalam mengelola sumber daya yang tersedia agar tetap dapat menjalankan perannya sebagai agen perubahan sosial dan ekonomi.
Perguruan tinggi tidak hanya berfungsi sebagai pusat akademik, tetapi juga sebagai motor penggerak pembangunan daerah, terutama dalam mengatasi dua tantangan utama yang dihadapi NTT: stunting dan kemiskinan ekstrem.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2023, angka kemiskinan di NTT mencapai 20,23 persen, jauh lebih tinggi dibandingkan rata-rata nasional yang berada di angka 9,36 persen.
Sementara itu, prevalensi stunting di NTT masih berada di angka 35,3 persen, menjadikannya salah satu provinsi dengan angka stunting tertinggi di Indonesia.
Kedua permasalahan ini saling berkaitan erat, di mana kemiskinan ekstrem menyebabkan keterbatasan akses terhadap makanan bergizi, pelayanan kesehatan yang memadai, serta pendidikan berkualitas, yang pada akhirnya memperburuk kondisi kesehatan dan masa depan anak-anak di NTT.
Dalam teori pembangunan ekonomi, pendidikan dianggap sebagai investasi jangka panjang yang berkontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi dan peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Teori modal manusia yang dikemukakan oleh Gary Becker (1964) menegaskan bahwa pendidikan merupakan instrumen utama dalam meningkatkan produktivitas individu dan daya saing daerah.
Sementara itu, teori pembangunan endogen Paul Romer (1986) menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi suatu wilayah sangat bergantung pada akumulasi pengetahuan dan inovasi yang dihasilkan oleh institusi pendidikan tinggi.
Dengan pendekatan ini, perguruan tinggi di NTT harus mengambil langkah konkret untuk menjawab tantangan pembangunan daerah di tengah keterbatasan anggaran.
Salah satu langkah utama yang dapat dilakukan adalah memperkuat penelitian dan inovasi yang berfokus pada pengentasan stunting dan kemiskinan.
Perguruan tinggi dapat berperan dalam mengembangkan program intervensi berbasis komunitas yang bertujuan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat tentang pentingnya gizi dan kesehatan ibu serta anak.
Riset mengenai pangan lokal yang kaya nutrisi harus ditingkatkan agar dapat menjadi solusi jangka panjang dalam menangani permasalahan gizi buruk di NTT.
Selain itu, pengabdian kepada masyarakat harus diperkuat agar perguruan tinggi dapat memberikan dampak langsung bagi masyarakat.
Mahasiswa dan dosen dari berbagai disiplin ilmu dapat dilibatkan dalam program Kuliah Kerja Nyata (KKN) yang berorientasi pada penanganan stunting dan kemiskinan ekstrem.
Misalnya, mahasiswa dari fakultas kesehatan dapat melakukan sosialisasi tentang pentingnya gizi bagi ibu hamil dan anak, sementara mahasiswa dari fakultas pertanian dapat mengajarkan teknik bertani yang lebih produktif dan berkelanjutan bagi petani lokal.
Dalam menghadapi keterbatasan anggaran, perguruan tinggi juga harus lebih aktif dalam menjalin kemitraan dengan berbagai pihak.
Pemerintah daerah dapat bekerja sama dengan universitas untuk mengembangkan program berbasis riset yang dapat menjadi dasar kebijakan dalam menangani kemiskinan dan stunting.
Perguruan tinggi juga dapat menjalin kemitraan dengan sektor swasta untuk mendukung program-program intervensi yang berkelanjutan, seperti pemberian makanan tambahan berbasis pangan lokal atau program pemberdayaan ekonomi berbasis komunitas.
Reformasi kurikulum juga menjadi langkah penting dalam memastikan bahwa pendidikan tinggi di NTT mampu menghasilkan lulusan yang siap menghadapi tantangan pembangunan daerah.
Kurikulum yang mengintegrasikan ilmu pengetahuan dengan praktik lapangan akan memastikan bahwa lulusan memiliki keterampilan yang relevan untuk berkontribusi dalam pembangunan daerah.
Program pendidikan vokasi yang berbasis pada potensi lokal, seperti teknologi pangan dan agroteknologi, harus dikembangkan agar masyarakat memiliki keterampilan yang dapat meningkatkan taraf hidup mereka.
Digitalisasi pendidikan juga harus dioptimalkan untuk meningkatkan akses masyarakat terhadap pendidikan tinggi.
Dengan memanfaatkan teknologi daring dan sumber daya terbuka, perguruan tinggi dapat memperluas jangkauan pendidikannya ke daerah-daerah terpencil.
Pembelajaran berbasis teknologi tidak hanya mengurangi biaya operasional, tetapi juga memastikan bahwa lebih banyak anak muda di NTT dapat mengakses pendidikan berkualitas tanpa harus meninggalkan daerah mereka.
Selain strategi akademik, perguruan tinggi harus menggali sumber pendanaan alternatif untuk mendukung program-program mereka.
Salah satu cara yang dapat dilakukan adalah dengan membangun dana abadi pendidikan daerah yang dikelola secara transparan untuk mendukung riset dan beasiswa bagi mahasiswa kurang mampu.
Selain itu, jejaring alumni dapat dioptimalkan untuk mendukung pengembangan universitas melalui endowment fund atau crowdfunding untuk proyek-proyek akademik dan sosial yang memiliki dampak besar bagi masyarakat.
Potensi NTT yang kaya akan sumber daya alam dan budaya harus menjadi perhatian utama dalam strategi pengembangan pendidikan tinggi.
Dengan kekayaan maritim, pertanian, dan pariwisata, perguruan tinggi di NTT dapat mendorong riset dan inovasi berbasis potensi daerah untuk menciptakan lapangan kerja baru dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Pengembangan ekowisata berbasis komunitas, teknologi pascapanen, serta diversifikasi industri perikanan dan peternakan dapat menjadi solusi konkret dalam menciptakan ekonomi yang lebih inklusif dan berkelanjutan.
Keberhasilan pembangunan NTT di masa depan sangat bergantung pada kualitas SDM yang dihasilkan oleh perguruan tinggi.
Oleh karena itu, perguruan tinggi harus berperan sebagai pusat inovasi dan pemberdayaan masyarakat yang mampu menciptakan perubahan nyata di berbagai sektor.
Sebagaimana pepatah Latin mengatakan, Non scholae sed vitae discimus—kita belajar bukan untuk sekolah, tetapi untuk kehidupan.
Kepemimpinan baru di NTT memiliki peluang besar untuk memperkuat sinergi antara pemerintah, akademisi, dan dunia usaha demi menciptakan SDM unggul yang siap menghadapi tantangan masa depan.
Dengan strategi yang tepat dan kolaborasi yang erat, NTT dapat tumbuh menjadi salah satu daerah dengan perkembangan ekonomi dan pendidikan terbaik di Indonesia.
Sebagaimana kata filsuf Romawi, Seneca, Per aspera ad astra—melalui kesulitan menuju bintang.
Keterbatasan anggaran bukanlah penghalang, melainkan tantangan yang harus dijawab dengan inovasi, efisiensi, dan kerja sama lintas sektor.
Jika perguruan tinggi di NTT mampu memanfaatkan peluang ini, maka mereka akan menjadi motor utama pembangunan yang membawa NTT menuju kemajuan yang berkelanjutan. (*)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.