NTT Terkini

Regulasi untuk Mengatur Belis di NTT, Emi Nomleni Sebut Belum Waktunya 

Tetapi kalau dalam budaya yang lebih terbuka kepada perempuan itu menjadi sebuah kebanggaan karena perlakuan-perlakuan tersebut. 

Penulis: Michaella Uzurasi | Editor: Oby Lewanmeru
POS-KUPANG.COM/MICHAELLA UZURASI
BELIS - Wawancara eksklusif Ketua DPRD NTT, Emi Nomleni dan Direktris LBH APIK NTT, Ansy Damaris Rihi Dara oleh Korlip Pos Kupang Novemy Leo terkait belis di NTT. 

Laporan Reporter POS-KUPANG.COM, Michaella Uzurasi 

POS-KUPANG.COM, KUPANG - Ketua DPRD NTT, Ir. Emelia J. Nomleni menyebut belum waktunya regulasi dibuat untuk mengatur belis bagi masyarakat Nusa Tenggara Timur karena hal ini butuh proses sehingga yang bisa dilakukan adalah di masing-masing daerah belis menjadi sebuah kearifan lokal yang didiskusikan. 

Seperti apa pembicaraan dua tokoh perempuan di NTT, Emi Nomleni dan Direktris LBH APIK NTT, Ansy Damaris Rihi Dara? Berikut cuplikan wawancara eksklusif bersama Pos Kupang. 

N : Jika di daerah masing-masing mereka mau membuat hal yang kecil bersama tua-tua adat itu sah-sah saja? 

E : Bagi saya itu malah lebih baik. Kesepakatan antara tokoh adat, tokoh agama, tokoh masyarakat, oke kita punya belis, kita pertahankan ini tetapi dibicarakan karena di dalam belis pun ketika dua keluarga mau bertemu biasanya ada diskusi, misalnya diminta lima tapi saya punya tiga, boleh kah kita sepakat tiga? Di banyak tempat juga terjadi kesepakatan, regulasi di antara mereka karena masing-masing keluarga, kelompok itu punya aturan masing-masing.

Saya minta maaf kalau salah karena memang ini sangat sensitif, misalnya kita bicara Sumba, oh ini mesti kerbau lima kandang, satu kandang, dua kandang, dalam kandang berapa ekor tapi bayangan kita luar biasa sehingga bagi saya, memang nanti kaka Ansy ada pendampingan untuk yang berpotensi kekerasan berbasis gender di belis ini, mungkin itu harus kita diskusikan juga karena bagi sebenarnya ada budaya-budaya tertentu yang membuat perempuan itu ada di tingkat bawah yang selama ini kita perjuangkan sebagai posisi patriarkat di dalam masyarakat. Nah itu terbawa ketika belis ada, itu menjadi penguatan lagi.

Tetapi kalau dalam budaya yang lebih terbuka kepada perempuan itu menjadi sebuah kebanggaan karena perlakuan-perlakuan tersebut. 

Nah yang harus kita lakukan itu adalah bagaimana terus mengajak masyarakat untuk ada dalam kesetaraan. Ini perempuan saudaramu, ini keluargamu, ini calon istrimu. Bagaimana kamu bisa nyaman hidup di dalam kekerasan bersama dengan pendampingmu? Itu kan yang sebenarnya menjadi kekuatan kita, perjuangan kita itu ada di situ.

 Jadi budaya dan kondisi ini harus kita coba, memang tidak mudah karena ada sebuah kondisi lokal yang selama ini terpelihara, sedang dibawa pada kondisi kemajuan. Cara pandang kita banyak, cara pandang kita berbeda-beda.

Kalau dulu mungkin lebih tertutup karena media belum ada, belum ada orang gonjang ganjing dan sebagainya sehingga menjadi sangat subur dengan kondisi itu, nah hari ini terbuka. 


N : Artinya berarti kita juga bisa membuat peradaban baru berapa era kedepan terkait belis ini, kalau dulu dilahirkan dan hingga saat ini bisa? 

Baca juga: Secara Budaya, Belis Bukan Perdagangan 


E : Modernisasi ini kita tidak bisa tolak. Perubahan ini kita tidak bisa tolak. Kita berdiam diri pun mempertahankan itu pasti akan ada perubahan. Jadi soal peradaban itu setiap masa pasti akan ada peradaban baru yang seperti tadi, belis terjadi dalam adaptasi kondisi-kondisi, oke ini tetap ada, kita bicara tetapi ini lebih kepada bagaimana kita menjaga budaya ini. Saya juga tidak tahu bahwa suatu hari Moko bisa hilang, gading bisa hilang karena proses itu tidak ada lagi. Jadi kita punya tanggung jawab juga menjaga budaya seperti apa, mari kita lakukan untuk budaya itu berbasis pada kesetaraan dan tidak pada kekerasan. 


N : Anda setuju, bahwa untuk aturan nanti dulu, belum waktunya sementara di beberapa daerah mereka sudah memulai menetapkan hal-hal yang terkait dengan permintaan belis? 


A : Saya juga perlu menyampaikan bahwa persepsi kita tentang belis disini, saya kira secara harafiah, belis itu artinya nilai, nilai apa yang mau dikasih dalam konteks pernikahan itu terhadap perempuan.

Tentu nilai-nilai keadilan dan kesetaraan, seperti itu dari pandangan saya sehingga bagi saya, kalau demikian, seperti yang dikatakan, memang harus adaptif dan kita harus membicarakan karena harus disesuaikan dengan konteks hari ini dan ada bahagian tertentu yang sudah mulai membicarakan itu, saya mau sampaikan di sini bahwa yang namanya belis itu sesuatu pilihan dan sifatnya dinamis karena fakta menunjukkan bahwa ada orang juga menikah tanpa belis tapi hidupnya bahagia, adil, setara, tidak bercerai, ada yang menggunakan.

Belis itu kan simbolis, ketika diikuti secara ketat, secara purnabakti, semuanya diikuti tapi apakah itu juga menjamin kelanggengan, kebahagiaan, tujuan dari pernikahan itu? Kan tidak juga karena itu mari kita memberi nilai, belis itu harus ditarik kembali kepada nilai esensinya.

Memberi nilai, nilai apa? Nilai kekerasan kah? Anti kekerasan kah? Atau keadilan dan kesetaraan? Yang mau kita capai adalah nilai keadilan dan kesetaraan jadi ketika konteks belis itu kita lihat sekarang misalnya memberikan dampak yang tidak menunjukkan nilai-nilai keadilan dan kesetaraan maka itu harus dibicarakan. Itu harus didiskusikan kembali seperti yang disampaikan oleh pak Dedi Dan ma Emi tadi.

Dibicarakan karena kita juga adalah negara hukum yang mengakui ada masyarakat hukum adat, ada tua adat dan seterusnya dan kita hidup dalam sebuah komunal maka memang itu harus dibicarakan dari sana yang tadi saya bilang bagaimana gap generasi yang tua, yang membuat regulasi aturan adat itu, juga membuka diri untuk menyampaikan semua regulasi aturan adat itu kepada generasi berikut.

Gap-gap itulah yang ketika generasi baru mengikuti prosedur itu dia tidak paham apa yang terjadi, proses KDRT itu berjalan karena dia melihat saya sudah belis kau, jadi seperti kata beli barang atau hewan, bahkan ada yang ketika dia pukul isterinya, ditanya kenapa pukul, tidak saya pukul hewan saya. Begitu. Cara pandang keliru itu yang harus diedukasi.

Cara mengedukasi itu siapa yang paling berperan di sini? Saya kira kalau itu lahir dari konteks adat maka lembaga adat, tokoh adat harus bisa membicarakan itu secara kontinyu, tidak saja dalam konteks acara adat, perkawinan dan lain-lain.

Itu bisa dibicarakan tetapi karena kita lahir, hidup dan punya kebutuhan hidup secara komunal melestarikan interaksi sosial di dalam adat dan budaya maka saya kira itu sudah harus dibicarakan dari tingkat sekolah, masuk dalam kurikulum juga bicara tentang belis jadi anak itu dari kecil sudah tercerahkan jadi dia tidak lagi membully, melakukan kekerasan terhadap calon pasangannya ketika menikah karena dia punya pemahaman yang baik jadi ada edukasi yang kontinyu. 

Lembaga-lembaga adat harus dihidupkan, kalaupun sudah ada, harus membicarakan ini sehingga jangan sampai maksud yang mulia dari belis ini tergerus hilang.

Orang punya pilihan untuk tidak menggunakan mekanisme ini. Itu fakta. Banyak kok orang NTT yang menikah tanpa menggunakan belis karena merasa ribet.

Nah kalau kita mau lestarikan budaya ini kan baik sebenarnya tapi belis itu tidak identik dengan material saja tetapi ada nilai-nilai komunal, nilai-nilai persaudaraan, merawat kekeluargaan, merawat juga kemampuan sosial kita sebagai masyarakat untuk beradaptasi satu dengan yang lain, seperti itu jadi jangan sampai kita salah memandang kemudian mengklaim bahwa ini betul-betul sesuatu yang negatif, tidak. Makanya tadi saya bilang ini pilihan. 


N : Kak Emi, kurikulum lokal untuk menerapkan nilai-nilai itu agar ada anti kekerasan terhadap perempuan apakah bisa diterapkan di NTT? 


E : Saya setuju. Dari kurikulum lokal itu kan kita mulai dari tingkatan yang paling bawah, SD-SMP dan kewenangan itu ada di teman-teman di kabupaten/kota.

Saya diskusi dengan beberapa kepala daerah maupun teman-teman DPR, mulok ini kita butuhkan.

Kalau hari ini kita bicara belis yang bisa dimasukkan, saya kemarin bicara tentang bahasa yang kita masukkan sebagai muatan lokal untuk anak-anak di setiap daerah. Mungkin kita berbeda, namanya kita diskusi. Harus diluruskan bahwa belis itu bukan kekerasan terhadap perempuan. Berpotensi kekerasan terhadap perempuan, ya, supaya kita tidak bias.

Karena ada juga yang tidak belis tapi orang Kupang bilang tiap hari dia papoko dia pu bini. Sehingga yang kita mau diskusikan tentang belis ini adalah sebuah nilai yang kita anggap sebagai bagian dari sebuah budaya yang kita atur. 

Materinya bisa kita diskusikan. Saya sepakat kalau misalnya di setiap daerah ada kelompok adat mendiskusikan ini karena ketika kita masukkan dalam perda, aturan-aturan, itu kan kita mesti secara rinci berapa nilainya karena belis itu ada nilainya, kerbau lima ekor kah, dan harus dicatat juga.

Hari ini kan ada keterbukaan bahwa kemarin itu ada sejumlah nilai yang diminta oleh keluarga. 

Benar atau tidaknya kita tidak tahu tetapi selama ini kalau antara dua keluarga bicara belis itu kan tidak pernah terbuka. Tidak menjadi konsumsi publik, tapi menjadi konsumsi dua keluarga yang didiskusikan dan tanpa belis pun sebenarnya setiap peminangan itu kita lihat ada amplop-amplop yang diperuntukkan, ini untuk mama, air susu, ini To'o, itu belis lho.

Itu ada sebuah nilai yang laki-laki bawa kepada perempuan ketika melakukan peminangan. Tanpa kesepakatan pun juga itu ada. Nah ini yang sebenarnya kit diskusikan dan diskusi yang paling aman itu ada di titik kelompok adat. 


N : Mungkin mereka juga lebih tepat ketika mereka juga meneruskan sosialisasi tentang anti kekerasan dan sebagainya untuk calon pengantin? 


E : Justru ini sebenarnya tempat bagian bahwa belis ini kita peruntukkan untuk ada penghormatan bagi anak perempuan kita tetapi ya kamu laki-laki, karena begini, yang kita tahu ini ada belis tetapi ketika perempuan ini datang juga di laki-laki, dia bawa juga semua bahkan sampai gelar yang didapatkan orang tua menyekolahkan anak perempuannya walaupun dalam keterbatasan, itu juga ditulis.

Dia membawa ijazah. Jadi ini adalah sebuah proses yang bagi saya kompleks. Makanya ini butuh duduk bersama dan yang kita bicarakan hari ini adalah soal nilai, materi.

Materinya itu yang kita sepakati tetapi sebagai budaya, kondisi daerah, saya agak sedikit konvensional tradisional. Saya sangat menyukai budaya-budaya yang bagi saya hari ini kita masih bisa membicarakan tentang belis tapi apakah anak-anak kita kedepan, kita meninggalkan sesuatu untuk mereka.

Mungkin tidak penting lagi soal belis tetapi di manapun, bagi saya, ketika seorang anak laki-laki dan keluarga datang meminang seorang anak perempuan, ada sesuatu yang dibawa sebagai bagian dari penghargaan penghormatan terhadap keluarga perempuan.

Tidak saja di NTT. Di Jawa pun juga, artis yang modern pun dia bawa seserahan. Ada yang dibawa, ada yang ditinggalkan jadi bagi saya ini sesuatu yang menarik.

Cuma karena kacamata kita tidak tertransfer dengan baik pada generasi yang baru, ini akan menjadi bias makanya mulok bagi saya penting.

Ada orang-orang tua kita yang mungkin kita ajak, Mulok itu juga tidak harus belajar satu tambah satu sama ddngan dua, tetapi duduk berkumpul bersama dengan tokoh adat, tokoh masyarakat, bahkan juga kalau melibatkan tokoh agama bagi saya lebih baik jadi ada cara pandang dari segi agama, duduk untuk menyampaikan kepada anak-anak ini, termasuk yang kita bicara bahasa.

Hari ini kita memiliki kekayaan bahasa yang luar biasa tetapi bisa hilang kalau tidak dilestarikan dan didalam belis itu ada tutur-tutur adat yang dilakukan oleh orang-orang tua kita hanya memang kadang-kadang kita akan ada pada sebuah rasa ketika ada bahasa-bahasa yang sebenarnya tertuju pada seorang anak perempuan sebagai barang atau benda yang sedang ingin dibeli.

Nah ini yang mungkin narasi-narasi itu kita coba untuk batasi tetapi narasi-narasi penguatan tentang bagaimana kesetaraan. 


Saya dulu diceritakan oleh ibu saya, Bapak saya sering diminta untuk menjadi juru bicara pada waktu itu dan saat itu belis sangat kuat di mana-mana pada semua suku.

Satu waktu semuanya ribut dan keluarga perempuan mati-matian harus begini, jadi ibu saya bilang, kami menghormati itu. Tapi anak laki-laki kami pun juga menyusui dari ibunya jadi dia tidak tiba-tiba turun dari langit. Ibaratnya ibu saya bilang dia tidak ditiup dari batang pepaya terus jadi.

Anak laki-laki kami juga sama berharganya dengan anak perempuan bapak-mama. Tetapi yang kita lakukan ini adalah mari kita bersepakat sebagai keluarga  laki-laki dengan budaya dengan adat kami datang untuk meminta anak perempuan secara resmi dan itu akan menjadi tanggung jawab kita untuk kita juga menjaga anak perempuan ini sebagai bagian dari keluarga.

Saya ingat betul ibu saya seperti itu jadi bapak saya tidak ribut, ibu saya yang ribut. Bukan hanya anak perempuan yang minum air susu ibu. Anak laki-laki kami pun juga menyusu dari ibunya dan itu yang sampai sekarang terngiang di kepala saya. 


N : Bagaimana kakak Ansy? 


A : Ma Emi, ini yang namanya ketidakadilan gender, juga kekerasan berbasis gender. Kenapa? Kita membedakan seseorang karena gendernya?

Belis itu seolah-olah ditujukan untuk perempuan padahal melahirkan kekerasan berbasis gender karena laki-laki itu seolah-olah tiba-tiba turun dari langit.

Bukankah dia juga orang tua bekerja keras, mendidik, membesarkan dia hingga dia ada seperti itu, jadi kita harus melihat antara laki dan perempuan itu harus setara makanya tadi saya bilang, belis itu nilai, harus diadaptasikan, dilihat kembali, diformulasikan kembali cara pandangnya sehingga tidak membuat seolah-olah belis ini ditujukan kepada perempuan, kita beli, kita bayar, supaya dia bisa ikut masuk ke dalam keluarga kita. Jadi yang ma Emi sampaikan itu adalah dampak dari belis kepada ketidakadilan gender dan kekerasan dalam rumah tangga, kekerasan berbasis gender karena value-value yang tadi disampaikan itu.

Karena itu saya kira hari ini juga kenapa saya terus gencar bilang belis boleh ada terus dilanjutkan tapi harus adaptif. Tadi saya bilang gading, Moko, segala macam itu raib, tidak ada. Jadi kita adaptif dengan situasi hari ini, saya mengagumi ada proses dimana orang belis hari ini dalam bentuk sertifikat tanah, rumah dan seterusnya, uang tabungan, untuk kehidupan dua orang kedepan.

Jadi omong belis fokusnya di dua orang jangan sampai dalam konteks pernikahan, yang menjadi utama adalah belis atau adat istiadat kemudian dua orang ini menjadi subordinasi di belakangnya bukan kita support mereka berdua yang akan menikah tapi aturan adat ini yang memberatkan.

Itu fakta yang kami tangani akhirnya dua orang yang sudah menjalin relasi bahkan sampai sudah punya anak tidak jadi menikah karena urusan belis yang harus dipenuhi dulu. 

Yang kedua ada lagi isteri mengalami berbagai persoalan di dalam rumah tangga, kekerasan, macam-macam, itu hanya karena pemahaman "saya sudah belis kalian" kemudian dalam konteks bermasyarakat pun melihat bahwa belis itu ditujukan kepada perempuan karena konteks kepemilikan itu sehingga pemberiannya itu diasosiasikan pada bentuk kerja rumah tangga, lemari, pakaian, mesin cuci dan lain-lain, bukankah perempuan dan laki-laki punya kesempatan yang setara dan sama baik di ruang domestik maupun di ruang publik. Itu yang tadi saya bilang selain adaptif tapi juga ada penyesuaian melihat kembali bagaimana belis yang kita maknai sebagai pemberian nilai itu betul-betul adil gender, tidak melahirkan kekerasan baru, dan seterusnya, dan itu harus dikomunikasikan lintas generasi. Seperti itu. (uzu)

 

Ikuti Berita POS-KUPANG.COM lainnya di GOOGLE NEWS

Sumber: Pos Kupang
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved