NTT Terkini
Regulasi untuk Mengatur Belis di NTT, Emi Nomleni Sebut Belum Waktunya
Tetapi kalau dalam budaya yang lebih terbuka kepada perempuan itu menjadi sebuah kebanggaan karena perlakuan-perlakuan tersebut.
Penulis: Michaella Uzurasi | Editor: Oby Lewanmeru
Hari ini kan ada keterbukaan bahwa kemarin itu ada sejumlah nilai yang diminta oleh keluarga.
Benar atau tidaknya kita tidak tahu tetapi selama ini kalau antara dua keluarga bicara belis itu kan tidak pernah terbuka. Tidak menjadi konsumsi publik, tapi menjadi konsumsi dua keluarga yang didiskusikan dan tanpa belis pun sebenarnya setiap peminangan itu kita lihat ada amplop-amplop yang diperuntukkan, ini untuk mama, air susu, ini To'o, itu belis lho.
Itu ada sebuah nilai yang laki-laki bawa kepada perempuan ketika melakukan peminangan. Tanpa kesepakatan pun juga itu ada. Nah ini yang sebenarnya kit diskusikan dan diskusi yang paling aman itu ada di titik kelompok adat.
N : Mungkin mereka juga lebih tepat ketika mereka juga meneruskan sosialisasi tentang anti kekerasan dan sebagainya untuk calon pengantin?
E : Justru ini sebenarnya tempat bagian bahwa belis ini kita peruntukkan untuk ada penghormatan bagi anak perempuan kita tetapi ya kamu laki-laki, karena begini, yang kita tahu ini ada belis tetapi ketika perempuan ini datang juga di laki-laki, dia bawa juga semua bahkan sampai gelar yang didapatkan orang tua menyekolahkan anak perempuannya walaupun dalam keterbatasan, itu juga ditulis.
Dia membawa ijazah. Jadi ini adalah sebuah proses yang bagi saya kompleks. Makanya ini butuh duduk bersama dan yang kita bicarakan hari ini adalah soal nilai, materi.
Materinya itu yang kita sepakati tetapi sebagai budaya, kondisi daerah, saya agak sedikit konvensional tradisional. Saya sangat menyukai budaya-budaya yang bagi saya hari ini kita masih bisa membicarakan tentang belis tapi apakah anak-anak kita kedepan, kita meninggalkan sesuatu untuk mereka.
Mungkin tidak penting lagi soal belis tetapi di manapun, bagi saya, ketika seorang anak laki-laki dan keluarga datang meminang seorang anak perempuan, ada sesuatu yang dibawa sebagai bagian dari penghargaan penghormatan terhadap keluarga perempuan.
Tidak saja di NTT. Di Jawa pun juga, artis yang modern pun dia bawa seserahan. Ada yang dibawa, ada yang ditinggalkan jadi bagi saya ini sesuatu yang menarik.
Cuma karena kacamata kita tidak tertransfer dengan baik pada generasi yang baru, ini akan menjadi bias makanya mulok bagi saya penting.
Ada orang-orang tua kita yang mungkin kita ajak, Mulok itu juga tidak harus belajar satu tambah satu sama ddngan dua, tetapi duduk berkumpul bersama dengan tokoh adat, tokoh masyarakat, bahkan juga kalau melibatkan tokoh agama bagi saya lebih baik jadi ada cara pandang dari segi agama, duduk untuk menyampaikan kepada anak-anak ini, termasuk yang kita bicara bahasa.
Hari ini kita memiliki kekayaan bahasa yang luar biasa tetapi bisa hilang kalau tidak dilestarikan dan didalam belis itu ada tutur-tutur adat yang dilakukan oleh orang-orang tua kita hanya memang kadang-kadang kita akan ada pada sebuah rasa ketika ada bahasa-bahasa yang sebenarnya tertuju pada seorang anak perempuan sebagai barang atau benda yang sedang ingin dibeli.
Nah ini yang mungkin narasi-narasi itu kita coba untuk batasi tetapi narasi-narasi penguatan tentang bagaimana kesetaraan.
Saya dulu diceritakan oleh ibu saya, Bapak saya sering diminta untuk menjadi juru bicara pada waktu itu dan saat itu belis sangat kuat di mana-mana pada semua suku.
Satu waktu semuanya ribut dan keluarga perempuan mati-matian harus begini, jadi ibu saya bilang, kami menghormati itu. Tapi anak laki-laki kami pun juga menyusui dari ibunya jadi dia tidak tiba-tiba turun dari langit. Ibaratnya ibu saya bilang dia tidak ditiup dari batang pepaya terus jadi.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.