Opini

Opini: “Ende Baru” Menuju Birokrasi Efisien, Transparan dan Berkeadilan

Rakyat yang telah memenangkan Paket Deo-Do harus setia dan tekun mengawal ziarah pengabdian paket ini tetap dengan sikap kritis yang terjaga.

Editor: Dion DB Putra
DOK PRIBADI
Steph Tupeng Witin 

Oleh: Steph Tupeng Witin
Penulis Buku berjudul Politik Dusta di Bilik Kuasa (JPIC OFM, 2019)

POS-KUPANG.COM - Kita ucapkan proficiat kepada Bapak Yosep Benediktus “Tote” Badeoda dan Dominikus Minggu Mere yang dipercaya rakyat Ende menakhodai kepemimpinan selama rentang waktu 2025-2029.

Paket Deo-Do dengan tagline “Ende Baru” ini melangkah menuju Sao Ria di Jalan El Tari Ende dengan dukungan suara rakyat sangat signifikan. 

Kemenangan ini sekaligus membuka gerbang pembaruan birokrasi Ende menuju sebuah masa depan baru. 

Usai sudah momen euphoria kemenangan dan waktunya telah tiba untuk menggagas sebuah masa depan yang mesti bersinergi dengan semua pihak-termasuk yang kalah dalam Pilkada-dan segenap elemen-tanpa sekat primordial suku, agama, ras dan golongan-agar menyatukan pikiran dan energi untuk membangun Ende. 

Rakyat yang telah memenangkan Paket Deo-Do harus setia dan tekun mengawal ziarah pengabdian paket ini tetap dengan sikap kritis yang terjaga.

Kita mesti tidak lelah dan bosan untuk memberitahu pemerintah khususnya aparat birokrasi di Kabupaten Ende agar mewaspadai virus “politisasi birokrasi” yang tidak sekadar menggejala tapi terimplementasi secara konkret pada masa kepemimpinan sebelumnya.

Pemimpin birokrasi memang orang politik tapi rakyat butuhkan pemimpin politik yang kritis dan cerdas menempatkan politik itu pada ruang yang tegas dan tidak menjadikan birokrasi sebagai eksperimen politik yang dilumuri beragam kepentingan sesaat. 

Rakyat butuhkan pemimpin politik yang mesti kritis menjadikan birokrasi sebagai wahana pelayanan yang professional, efisien dan efektif bagi kepentingan rakyat. 

Orang Ende yang melek politik pasti tidak pernah lupa bahwa pada periode kepemimpinan sebelumnya, banyak kepala dinas adalah “titipan” dari para politikus sehingga menjadi “perpanjangan” tangan politik dalam kebijakan birokrasinya.

Kita mesti sadar bahwa pemerintah Indonesia hingga periode kepemimpinan saat ini belum mencapai tahap implementasi dikotomi politik dan administrasi. 

Fakta ini menegaskan bahwa para pemimpin politik yang dipercaya memimpin birokrasi pemerintahan hanya melarutkan diri dalam arus politik yang mendominasi pelaksaaan birokrasi tanpa pernah membuat dikotomi yang tegas di antara keduanya. 

Para pemimpin politik itu bukan orang bodoh. Banyak gelarnya, termasuk gelar honoris causa di banyak perguruan tinggi negeri ini. 

Para akademisimempelajari bahwa terdapat perbedaan antara administrasi dan politik. Oleh karena itu dibutuhkan batasan yang jelas mengenai perbedaan tersebut. 

Jelasnya, dikotomi tersebut juga dapat menjadi alat yang menguatkan regulasi-regulasi mengenai netralitas ke depannya. 

Ketika pemimpin politik membuat batasan yang tegas dan jelas antara politik dan administrasi, apparat birokrasi yang merupakan pegawai negeri sipil akan taat mengikuti jalur itu. 

Jika tidak, aparat sipil negara (ASN) yang sejatinya pelayan rakyat mengubah dirinya, bahkan menjadi munafik untuk melayani kepentingan politik pemimpinnya. Terciptalah jejaring kebodohan secara struktural dalam tubuh birokrasi.

Menurut Edison (2011), penguasa puncak di daerah merasa memiliki kewenangan penuh untuk memilih, menetapkan dan mengganti pejabat struktural yang akan membantunya dalam pemerintahan. 

Kewenangan konstitusional itu tertera dalam UU ASN Pasal 53 yang menjelaskan tentang kewenangan pembinaan manajemen ASN oleh kepala daerah. 

Perombakan secara besar- besaran di lingkungan jabatan struktural ketika kepala daerah baru terpilih adalah pemandangan biasa yang terjadi di berbagai daerah. 

Permasalahan ini menjadi semakin pelik ketika perombakan dilakukan tidak didasarkan pada kompetensi/kinerja melainkan lebih menekankan pada kedekatan politik. 

Padahal jika pemimpin berhasil menciptakan iklim etis dalam dinas sipil, hal itu memberikan pengaruh positif terhadap kinerja suatu organisasi (Sabrina, 2012).

Maka tidak heran bahwa mayoritas ASN yang tidak mampu mengekang gejolak hasrat berkuasa, lebih berorientasi membangun kedekatan politik dengan penguasa daripada membangun kompetensi dan kinerja untuk menjamin kariernya (Prasodjo & Rudita, 2014). 

Faktor yang memengaruhi birokrasi berpolitik adalah kuatnya ketokohan (personality) menanamkan pengaruh terhadap ASN, vested interest ASN untuk mobilitas karier secara cepat, lemahnya sosialisasi institusi, manipulasi tafsir regulasi, kuatnya hubungan patron-client, dan peran shadow bureaucracy. 

Selain itu, ada berbagai tekanan terhadap PNS dari para pemegang kekuasaan dalam bentuk: tawaran jabatan, demosi dan juga mutasi dari para calon yang maju dalam Pilkada tersebut. 

Tekanan ini sering terjadi dalam kasus Pilkada karena mindset PNS yang takut jika tidak memenuhi tekanan politik itu akan berdampak karier dia akan terhambat atau bahkan berhenti. 

Aparat nirokrasi yang menjadi ASN itu mestinya sadar diri dan eksistensinya sehingga tidak menjadi “bulan-bulanan” tekanan politik apa pun. Mereka adalah petugas negara yang bebas mengabdikan diri kepada rakyat, siapa pun pemimpin politik yang dipilih rakyat dalam Pilkada. 

Hanya ini yang umum terjadi: para pemimpin politik yang bertarung dalam Pilkada justru menghancurkan netralitas ASN dengan membangun relasi penuh janji politik yang menggiurkan hasrat ASN akan kuasa dan jabatan momental.

Penggerak Utama

Aparatur sipil negara (ASN) adalah penggerak utama birokrasi dan tulang punggung bangsa. Cita-cita Indonesia Emas 2045 harus didukung sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas dan berdaya saing. 

Salah satu prioritas kerja nasional tahun 2020-2024 adalah “Pembangunan SDM”, dengan sasaran meningkatkan sumber daya manusia yang berkualitas dan berdaya saing.

Memperkuat implementasi manajemen aparatur sipil negara berbasis sistem merit di lingkungan instansi pemerintah adalah upaya meningkatkan pengelolaan SDM aparatur itu. 

Dalam Road Map Pembangunan ASN 2020-2024, Indonesia berambisi untuk menciptakan pemerintahan berkelas dunia (World Class Beurocracy) yang didukung oleh SMART ASN dengan profil: integritas nasionalisme, profesionalisme, wawasan global, penguasaan IT dan bahasa asing, hospitality, networking, entrepreneurship.

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara mengamanatkan penerapan sistem merit, dimana kebijakan dan manajemen Aparatur Sipil Negara (ASN) harus berdasarkan pada kualifikasi, kompetensi, dan kinerja. Hal ini juga diberlakukan secara adil dan wajar dengan tanpa diskriminasi. 

Adapun tujuan penerapan sistem merit adalah memastikan jabatan di birokrasi pemerintah diduduki oleh orang-orang yang profesional, dalam arti kompeten dan melaksanakan tugas berdasarkan nilai dasar, kode etik dan kode perilaku ASN. 

Kellough (2005) menekankan sistem merit sebagai seperangkat kebijakan dan prosedur yang digunakan untuk memaksimalkan sebuah pekerjaan. 

Prinsip merit pada dasarnya ialah seorang pegawai harus diseleksi dan dipromosikan berdasarkan pada kemampuannya dalam melakukan pekerjaan.

Pelaksanaan pemerintahan membutuhkan aparat negara dan daerah yang tidak hanya patuh dan setia-termasuk kepada pemimpin yang memolitisasi birokrasi dengan iming-iming jabatan dan kuasa-tetapi cerdas dan kritis dengan konsisten pada jalur pengabdian yang murni. 

Idealisme ini terasa “asing” di tengah lautan birokrasi kita di negeri ini, apalagi khusus di Kabupaten Ende, yang telah lama terrendam bahkan tenggelam dalam gelombang politisasi birokrasi yang terlanjur menjadi budaya sangat buruk dalam tubuh birokrasi. 

Pemimpin politik yang akan memandu jalan roda kekuasaan pasti akan menghadapi tantangan manajemen ASN. 

Pertama, kapasitas ASN yang rendah sehingga perlu meningkatkan kapasitas untuk menghadapi perkembangan teknologi yang pesat melalui pelatihan dan pengembangan keterampilan digital.

Kedua, ASN perlu sekali memiliki integritas dan etika yang tinggi ketika berhadapan dengan praktik politisasi birokrasi dimana pemimpin politik sering memanfaatkan birokrasi untuk menaruh kepentingan dan memungut keuntungan politik dari setiap kebijakan. 

Integritas dan etika ini kita harapkan berdampak positif untuk meningkatkan kepercayaan masyarakan terhadap pemerintah. 

Ketiga, kebijakan yang cepat berubah dalam kepemimpinan politik pasti sangat membingungkan pelaku-pelaku di isntansi pemerintahan baik di pusat maupun di daerah sehingga diperlukan ASN yang cerdas dan cekatan mengikuti arus perubahan dan menggembleng diri agar menjadi lebih professional dalam kinerja.

Tantangan dan Harapan Birokrasi Ende

Birokrasi sering kali dipandang sebagai sebuah sistem yang rumit, lambat, dan tidak efisien. Birokrasi yang tidak responsif terhadap kebutuhan masyarakat dapat menyebabkan ketidakpuasan dan merusak kepercayaan publik. 

Namun, dengan kemajuan teknologi yang pesat, masa depan birokrasi memiliki potensi besar untuk berubah menjadi lebih efisien, transparan, dan berorientasi pada pelayanan publik yang lebih baik. 

Demi mewujudkan birokrasi yang ideal itu, bukan hanya soal memperbaiki proses administratif tetapi membangun sistem yang lebih responsif, terukur, dan dapat dipertanggungjawabkan.

Pertama, birokrasi yang efisien. Efisiensi dalam birokrasi bukan hanya soal mengurangi waktu dan biaya, tetapi juga tentang menciptakan sistem yang lebih cepat, mudah, dan dapat diakses oleh masyarakat (siapa buat apa, kapan dan bagaimana). 

Dengan menerapkan digitalisasi dan otomatisasi, proses yang selama ini memakan waktu bisa dipercepat secara signifikan. 

Sistem yang berbasis teknologi memungkinkan pengolahan data yang lebih cepat, pengambilan keputusan yang lebih tepat, serta pelayanan publik yang lebih responsif. 

Estonia, sebuah negara kecil di Eropa, telah berhasil menerapkan sistem e-residency yang memungkinkan penduduknya mengakses berbagai layanan publik secara online. 

Masyarakat tidak lagi perlu mengantre di kantor pemerintah atau mengisi formulir manual. Semua proses administratif dilakukan secara digital, dari pendaftaran usaha hingga pengajuan izin.

Kedua, transparansi dalam birokrasi menjadi kunci untuk membangun kepercayaan public terhadap pemerintah. 

Tanpa transparansi, masyarakat akan merasa bahwa proses pengambilan keputusan dan pengelolaan anggaran tidak jelas, yang membuka ruang bagi korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan. 

Teknologi, khususnya platform berbasis data terbuka, dapat menjadi alat yang efektif untuk memastikan akuntabilitas pemerintah. Contoh yang baik adalah penerapan “Open Data” oleh berbagai pemerintah daerah di dunia. 

Dengan platform ini, masyarakat dapat mengakses informasi mengenai penggunaan anggaran, pengadaan barang dan jasa, serta kebijakan yang diambil oleh pemerintah. 

Transparansi seperti ini tidak hanya membantu mengurangi potensi korupsi, tetapi juga meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pengambilan keputusan publik. 

Di masa depan, semakin banyak pemerintah yang akan menerapkan sistem transparansi berbasis teknologi, yang memungkinkan setiap langkah pengelolaan pemerintah dapat dipantau dan dipertanggungjawabkan secara real time oleh publik.

Ketiga, birokrasi berbasis teknologi memainkan peran yang semakin penting dalam transformasi birokrasi. 

Artificial intelligence (AI), big data, dan cloud computing adalah alat yang dapat digunakan untuk meningkatkan kinerja birokrasi dalam memberikan layanan publik yang lebih cepat dan akurat. 

AI, misalnya, bisa digunakan untuk mengotomatisasi tugas-tugas administratif yang berulang, seperti proses pembuatan dokumen atau analisis data. 

Di beberapa negara, konsep smart city sudah mulai diterapkan, yang memanfaatkan teknologi untuk mengintegrasikan berbagai layanan publik dalam satu platform. 

Singapura, dengan program Smart Nation-nya, adalah contoh nyata bagaimana teknologi dapat digunakan untuk mengoptimalkan pelayanan publik, dari transportasi hingga kesehatan. 

Masyarakat dapat mengakses berbagai layanan melalui aplikasi mobile yang terhubung dengan infrastruktur kota, memastikan pengalaman yang lebih efisien dan nyaman. 

Birokrasi yang berbasis teknologi ini memungkinkan adanya konektivitas yang lebih baik antara pemerintah dan masyarakat, sehingga meningkatkan kualitas pelayanan publik secara keseluruhan.

Idealisme membangun dan menata birokrasi yang efisien, transparan dan berbasis teknologi tentu saja akan menghadapi tantangan yang besar mulai dari dalam tubuh birokrasi. Kemapanan yang selama ini cenderung dianggap kewajaran akan mendapatkan gugatan yang dahsyat. 

Beberapa hambatan utama yang dihadapi antara lain adalah keterbatasan infrastruktur teknologi, kekurangan tenaga kerja terampil/SDM, pemerintah (kelompok oportunis) yang masih menghadapi resistensi terhadap perubahan. 

Birokrasi yang sudah terstruktur selama bertahun- tahun sering kali sulit untuk berubah, terutama ketika perubahan tersebut memerlukan investasi besar dalam teknologi dan pelatihan sumber daya manusia. 

Dalam konteks ini, penting untuk membangun budaya perubahan yang mendorong adopsi teknologi dan peningkatan kemampuan para ASN. 

Berkaitan dengan hal itu, kerja sama antara pemerintah, sektor swasta, dan masyarakat sangat penting. 

Sektor swasta dapat memberikan dukungan teknologi dan inovasi, sementara masyarakat perlu diberdayakan untuk memahami dan mendukung perubahan yang sedang terjadi.

Mewujudkan birokrasi yang efisien, transparan, dan berbasis teknologi adalah langkah penting menuju sebuah pemerintahan yang lebih baik dan pelayanan publik yang lebih memadai. 

Visi untuk birokrasi masa depan memerlukan komitmen dan konsistensi pemerintah untuk mengintegrasikan teknologi, mempercepat proses digitalisasi, serta menciptakan sistem yang lebih transparan dan responsif terhadap kebutuhan masyarakat. 

Transformasi ini memerlukan partisipasi aktif dari semua pihak, terutama untuk menciptakan pelayanan publik yang tidak hanya efisien, tetapi juga memberikan keadilan bagi seluruh warga negara. (*)

Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved