Opini

Opini: Care Economy, Peran Tak Terlihat dalam Perekonomian Berbasis Komunitas

Di Nusa Tenggara Timur (NTT), Care Economy memainkan peran yang signifikan dalam dinamika sosial ekonomi dan budaya masyarakat.

Editor: Dion DB Putra
DOK PRIBADI
Helga Maria Evarista Gero 

Oleh: Helga Maria Evarista Gero
Dosen Program Studi Sosiologi FISIP Undana Kupang - NTT

POS-KUPANG.COM - Care Economy atau ekonomi perawatan menjadi topik penting dalam diskursus pembangunan sosial dan ekonomi, terutama di daerah-daerah dengan budaya kolektif yang kuat seperti Nusa Tenggara Timur (NTT). 

Care economy, atau ekonomi perawatan, mengacu pada aktivitas ekonomi yang berfokus pada pemberian perawatan terhadap individu, baik dalam lingkungan rumah tangga maupun institusional. 

Konsep ini mencakup kerja berbayar maupun tidak berbayar yang dilakukan untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia, seperti perawatan anak, lansia, dan orang sakit. 

Aktivitas ini, meskipun esensial, sering kali tidak diakui dalam perhitungan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) atau kebijakan pembangunan ekonomi formal. 

Di Nusa Tenggara Timur (NTT), Care Economy memainkan peran yang signifikan dalam dinamika sosial ekonomi dan budaya masyarakat.

Peran Perempuan dalam Care Economy

Dalam konteks NTT, ekonomi perawatan erat kaitannya dengan struktur sosial yang berbasis pada pembagian kerja gender. Berdasarkan pandangan Nancy Fraser (1997), masyarakat kapitalis modern cenderung mengabaikan kontribusi perempuan dalam ekonomi perawatan yang tidak berbayar. 

Di NTT, perempuan memikul tanggung jawab besar dalam merawat anak-anak, orang tua, dan komunitas. Beban ini tidak hanya mengurangi kesempatan mereka untuk berpartisipasi dalam pekerjaan formal, tetapi juga mempertegas ketimpangan gender dalam akses terhadap sumber daya ekonomi.

Faktor sosial seperti tingkat pendidikan yang rendah, akses terbatas terhadap layanan kesehatan, dan pernikahan usia dini turut memperburuk beban perempuan dalam sektor ini.

Data dari Badan Pusat Statistik (2023) menunjukkan bahwa tingkat partisipasi kerja perempuan di NTT hanya sekitar 56 persen, dengan sebagian besar dari mereka bekerja di sector informal yang tidak memberikan jaminan sosial. 

Situasi ini memperlihatkan bahwa banyak perempuan di NTT terjebak dalam "perangkap kerja perawatan" yang tidak dihargai secara ekonomi.

Meskipun tugas-tugas ini sering dipandang sebagai kewajiban moral atau bagian dari budaya kolektif, penting untuk diingat bahwa kontribusi perempuan dalam ekonomi perawatan memiliki dampak sosial yang luas. 

Peran mereka mendukung kohesi sosial di komunitas-komunitas NTT yang menghadapi tantangan kemiskinan dan akses terbatas terhadap layanan kesehatan serta pendidikan. 

Dalam perspektif Bourdieu (1986), kapital sosial yang diciptakan melalui perawatan ini memperkuat jaringan solidaritas yang menopang keberlanjutan komunitas, meskipun tidak diakui secara formal.

Potensi yang Belum Dihitung

Di tingkat ekonomi, kontribusi dari Care Economy di NTT belum mendapat tempat dalam kebijakan pembangunan. 

Analisis Marilyn Waring dalam If Women Counted, aktivitas perawatan seringkali dianggap sebagai non-produkti karena tidak menghasilkan pendapatan langsung. 

Namun, di NTT, aktivitas ini justru perlu dilihat sebagai fondasi bagi perekonomian informal yang mendukung kehidupan sehari-hari, khususnya di daerah pedesaan.

Sebagai contoh, perawatan anak yang dilakukan oleh perempuan memungkinkan anggota keluarga lainnya bekerja di ladang, berdagang di pasar, atau mencari penghasilan lain. 

Namun, karena aktivitas ini tidak dihargai secara finansial, kontribusi perempuan seringkali tidak dianggap sebagai bagian dari pembangunan ekonomi. 

Hal ini selaras dengan kritik feminist economist yang menyatakan bahwa paradigma ekonomi arus utama sering gagal mengintegrasikan kerja perawatan ke dalam narasi pembangunan.

Lebih jauh lagi, Care Economy di NTT berpotensi menjadi sektor yang dapat dikembangkan untuk mendukung pengentasan kemiskinan. 

Misalnya, dengan memperkuat layanan perawatan berbasis komunitas, seperti pusat penitipan anak atau pelatihan untuk caregiver, pemerintah dapat menciptakan peluang kerja formal yang mengintegrasikan nilai-nilai lokal. 

Strategi ini akan memberikan penghargaan ekonomi terhadap pekerjaan perawatan sekaligus meningkatkan kualitas layanan yang diterima masyarakat.

Nilai Kolektivitas dalam Care Economy

Dari perspektif budaya, ekonomi perawatan di NTT berakar pada nilai-nilai kolektivitas yang menjadi ciri khas masyarakat lokal. 

Sistem adat seperti gotong royong dan subsidiaritas menunjukkan bahwa aktivitas perawatan adalah bagian integral dari struktur social masyarakat. 

Dalam pandangan Clifford Geertz, pola-pola perilaku ini mencerminkan sistem makna yang terinternalisasi dalam kehidupan sehari-hari masyarakat.

Namun, globalisasi dan modernisasi menghadirkan tantangan terhadap keberlanjutan nilai-nilai ini. 

Peningkatan urbanisasi, migrasi ke luar daerah, dan perubahan pola keluarga mulai menggeser pola tradisional dalam perawatan. 

Dalam konteks modernisasi dan migrasi tenaga kerja, banyak perempuan di NTT yang bekerja sebagai tenaga kerja migran di luar negeri, meninggalkan beban perawatan kepada anggota keluarga lainnya, seperti nenek atau saudara perempuan. 

Fenomena ini menciptakan defisit perawatan di tingkat lokal, yang berpotensi merusak struktur sosial komunitas. 

Masyarakat NTT menghadapi situasi di mana tanggung jawab perawatan yang sebelumnya dilakukan oleh komunitas perlahan bergeser menjadi tanggung jawab individu atau bahkan diabaikan.

Untuk mempertahankan keberlanjutan Care Economy berbasis budaya lokal, penting bagi pemerintah dan pemangku kepentingan untuk mengintegrasikan nilai-nilai tradisional ke dalam kebijakan sosial. 

Salah satu langkah konkret adalah mengembangkan program pelatihan yang mengkombinasikan nilai-nilai lokal dengan pendekatan modern dalam pemberian perawatan. 

Hal ini tidak hanya menjaga identitas budaya tetapi juga meningkatkan daya saing masyarakat lokal dalam menghadapi tantangan global.

Mengintegrasikan Care Economy ke dalam Kebijakan Pembangunan

Untuk memaksimalkan potensi Care Economy di NTT, pemerintah perlu mengadopsi pendekatan multisektoral yang melibatkan berbagai pemangku kepentingan, termasuk komunitas adat, lembaga pendidikan, dan sektor swasta. 

Beberapa langkah strategis yang dapat diambil sekaligus mendukung strategi 3R, Recognition (pengakuan), Reduction (pengurangan), Redistribution (redistribusi),  antara lain, 

(1) investasi dalam infrastruktur sosial atau dengan kata lain pemerintah dapat membangun fasilitas perawatan seperti penitipan anak atau pusat rehabilitasi yang terjangkau di daerah pedesaan; 

(2) penguatan pendidikan dan pelatihan dengan memberikan pelatihan kepada perempuan dan kelompok rentan lainnya untuk menjadi profesional dalam sektor perawatan, NTT dapat menciptakan lapangan kerja baru yang berkualitas, dan 

(3) integrasi nilai lokal dengan cara mempertimbangkan nilai-nilai budaya lokal, seperti gotong royong, dalam kebijakan yang dibuat untuk memastikan relevansi dan keberlanjutannya.

Dengan mengintegrasikan pendekatan sosial, ekonomi, dan budaya, Care Economy di NTT tidak hanya dapat diakui sebagai bagian penting dari perekonomian tetapi juga dikembangkan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. S

Sebagaimana diungkapkan oleh Amartya Sen (1999) dalam Development as Freedom, pembangunan yang inklusif adalah pembangunan yang memberikan kebebasan bagi individu dan komunitas untuk berkontribusi secara penuh dalam kehidupan ekonomi dan sosial. 

Care Economy, sebagai bagian dari pembangunan ini, bukanlah beban tetapi peluang bagi NTT untuk menciptakan model pembangunan berbasis komunitas yang adil dan berkelanjutan. 

Upaya ini merupakan bentuk komitmen bersama pemerintah dan stakeholder untuk memajukan peran perempuan dan melindungi hak-hak anak dalam ranah ekonomi sesuai dengan dokumen Peta Jalan atau Roadmap Ekonomi Perawatan 2025-2045.  (*)

Sumber: Pos Kupang
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved