Di Bawah Perlindungan Maria, Bunda Allah

Tahun Baru (New Year/Anno Nuovo) barangkali dapat dipandang dan direfleksikan sebagai “waktu” atau “saat” baru dalam menapaki jalan hidup.

Editor: Frans Krowin
POS-KUPANG.COM
RP. Fidel Wotan, SMM 

(Refleksi Awal Tahun Baru) RP. Fidel Wotan, SMM

Setiap kali mengawali Tahun Baru, manusia (dunia) memulai suatu episode baru dalam perjalanan hidupnya. Tahun Baru (New Year/Anno Nuovo) barangkali dapat dipandang dan direfleksikan sebagai “waktu” atau “saat” baru dalam menapaki jalan hidup yang sudah dimulai sebelumnya. Oleh karena ini adalah seperti hari atau waktu dari sebuah siklus kehidupan yang baru, maka patutlah dirayakan dengan sukacita, antusias dan penuh harapan. Demikian pula halnya Gereja Katolik, sebagaimana tradisi yang diwariskannya, pada awal Tahun Baru merayakan suatu liturgi khusus dengan memberi penghormatan istimewa kepada Maria Bunda Allah (Theotókos). Secara liturgis, setiap 1 Januari seluruh umat Katolik memulai Tahun Baru juga dalam nama Maria, Bunda Kristus, Bundanya. Merayakan keibuan Maria sebagai Bunda Allah dan Bunda semua umat beriman yang percaya pada Putranya di awal Tahun Baru sebetulnya mau memperlihatkan suatu kepastian yang akan menemani hari-hari hidup manusia Kristiani bahwa kita sekalian adalah putra-putri Allah dan sekaligus juga merupakan suatu kawanan umat yang hidup dalam tuntunan Maria, Ibunda dan Guru kehidupan rohaninya (bdk. Yoh 19,26-27; Marialis cultus 21). Dari sebab itu, mempercayakan diri pada bimbingan seorang “Ibu” sama artinya membiarkan diri hidup dalam asuhan, bimbingan dan didikannya. Itulah sebabnya, seorang Kristiani tidak akan pernah merasa sendirian dan merasa diri sebagai kaum yatim piatu! 

Allah itu Maha Baik sebab Ia berkenan mengutus Putra-Nya lahir dari seorang wanita (bdk. Gal 4:4). Fakta bahwa Allah yang menjadi manusia dan membiarkan nama-Nya selalu diingat dan disebut, itu terlaksana oleh karena seorang wanita, yang dengan hati yang mulia, mengizinkan hal itu terjadi. “Lahir dari seorang wanita”: dua kata ini mengandung seluruh misteri keibuan Maria. Ia adalah Bunda Allah, “Theotókos”, “Dei Genitrix”. Dalam Komunitas Gereja Perdana, di samping muncul suatu kesadaran yang mendalam di antara para murid bahwa Yesus adalah Putra Allah, tampak semakin jelas pula suatu kesadaran dan keyakinan bahwa Maria adalah Theotókos, Bunda Allah, dia yang melahirkan Allah yang menjadi manusia (Maria Deipara). Dari sini, Gereja kemudian mendefinisikan kebenaran keibuan ilahi Maria dalam Konsili Efesus (431), dan seluruh umat beriman menyambutnya dengan penuh sukacita. 

Maria telah dipilih Allah menjadi Bunda Tuhan. Dengan menerima tugas sebagai Bunda yang melahirkan Putra-Nya, apa yang menjadi kebundaan Maria tidak hanya dibatasi pada aspek biologis semata. Artinya kehadiran Maria sebagai “Ibu” tidak terpaku pada proses biologis dalam melahirkan anak. 

Dikatakan demikian karena menurut Jacques Bur kebundaan Maria sejatinya meliputi pula dimensi lainnya, yakni psikologis dan spiritual. Maria tidak hanya sekedar menjadi Bunda Allah begitu saja; dalam pemahaman bahwa Allah hanya memperoleh tubuh manusiawi-Nya melalui Maria dan selesai. Maria tidak hanya sekedar dijadikan alat impersonal Tuhan. Sama sekali tidaklah demikian. Kebundaan Maria justru mencakup aneka dimensi lain: jiwa, kehendak, akal budi, hati, dan seluruh hidupnya. 

Sebagai seorang “Ibu”, Maria tidak hanya melahirkan Allah, Yesus Kristus secara biologis, akan tetapi juga secara rohani melahirkan semua kita. Santo Louis-Marie de Montfort (1673-1716) dalam mahakarya mariologisnya berkata: “Seorang Manusia dan seorang manusia dilahirkan di dalam dia”, kata Roh Kudus: Homo et homo natus est in ea. 

Menurut tafsiran beberapa Bapa Gereja, manusia pertama yang dilahirkan di dalam Maria adalah Manusia-Allah, Yesus Kristus; yang kedua adalah manusia belaka, anak angkat Allah dan Maria” (Bakti yang Sejati kepada Maria [BS] no. 32). Dari sini menjadi jelas bahwa Maria tidak hanya melahirkan seorang “Pemimpin” atau “Kepala” tanpa anggota-anggotanya, demikian juga ia tidak melahirkan anggota-anggota tanpa Kepala. Jadi menurut teolog klasik ini, dalam tata rahmat, baik Sang “Kepala” maupun anggota-anggota lahir dari ibunda yang sama, yakni Perawan Suci Maria. Dia yang melahirkan “Kepala” dan anggota-anggota-Nya ini pada awal tahun baru (1 Januari) dihormati, dirayakan secara istimewa oleh Gereja Katolik sebagai Bunda Allah (Theotókos). 

Dengan mewartakan Maria Theotókos, Gereja menegaskan bahwa dia adalah “Ibunda Sang Sabda yang Menjelma, yang adalah Allah.” Faktanya, Maria adalah Bunda Yesus, “yang lahir dari seorang wanita” (Gal 4:4). Dia adalah Ibunda Sang Penebus dan Ibu rohani dari semua manusia justru karena dia adalah Ibu Sang Putra yang atas kehendak Allah, adalah Saudara kita. Dia adalah rahim umat manusia yang telah ditebus. Misteri keibuan ilahinya, yang dirayakan Gereja pada awal Tahun Baru (1 Januari), mengandung suatu karunia rahmat yang berlimpah yang dibawa oleh setiap keibuan manusia, sedemikian rupa sehingga kesuburan rahim Perawan Suci Maria selalu dikaitkan dengan berkat Allah. Bunda Allah adalah orang pertama yang diberkati dan Dialah yang membawa berkat tersebut. Dia adalah wanita yang menyambut Yesus ke dalam dirinya sendiri dan melahirkan-Nya bagi seluruh umat manusia (bdk. Yes 7:14; Luk 1:26-38; Gal 4:4). 

Perayaan Hari Raya Maria Bunda Allah pada 1 Januari merupakan suatu ajakan untuk menghidupkan kembali devosi sejati umat Kristiani kepada Maria, sekaligus juga menjadi suatu kesempatan untuk mempercayakan seluruh hidup pada bimbingan seorang Ibu, Maria, seorang yang tahu dengan baik bagaimana menyimpan segala perkara di dalam hatinya dan merenungkan segala peristiwa yang terjadi dalam hidupnya (bdk. Luk 2:19). Dia menyinari jalan hidup manusia sebagai tanda penghiburan dari harapan yang pasti, seperti yang ditegaskan oleh Konsili Vatikan II (bdk. Lumen gentium no. 68). “Penghiburan” karena hidup kita sekalian selalu ditemani oleh kasih-sayang seorang “Ibu” yang setia dan kuat; “harapan” karena dia adalah “perantara” dari semua rahmat dan menjadi perantara bagi kita untuk sampai pada tujuan hidup surgawi. 

Pada awal Tahun Baru, Maria, Bunda Allah memberkati kita seperti seorang Ibu yang senantiasa siap memberkati anak-anaknya yang harus berangkat dalam suatu perjalanan. Tahun Baru dapat diibaratkan seperti sebuah “ziarah”, yakni suatu perjalanan, peziarahan yang disinari dengan Cahaya dan Rahmat Tuhan. Kiranya ini menjadi sebuah “ziarah kedamaian” bagi setiap orang, khususnya bagi dunia kita yang selalu rakus dan haus akan kekuasaan, dunia yang serakah akan kekayaan, dunia yang suka bertikai, suka berperang dan selalu berusaha menyingkirkan sesamanya dan merampas hak-hak dan kebebasan orang lain. Menyambut tahun 2025, kita diajak oleh Bapa Suci, Fransiskus untuk menghidupi tahun Yubileum 2025 yang dicanangkannya: “Peregrinantes in Spem” (Pilgrims in Hope – Peziarah dalam Pengharapan) sebagai bagian dari hidup kita. Tahun Yubileum adalah saat istimewa bagi kita untuk menyadari hidup sebagai peziarahan yang menguduskan. Kita ditantang untuk menghadapi aneka tantangan hidup dengan iman dan harapan bukan menghindarinya. 

Dengan berdoa mohon perdamaian bagi dunia maka arti dari perayaan 1 Januari tetap memperlihatkan kedalaman maknanya, di mana 8 hari setelah Natal, ketika Gereja, seperti Perawan Maria, menunjukkan pada dunia Yesus yang baru lahir (neonatus), Sang Pangeran Perdamaian, Gereja pun merayakan Tahun Baru pada 1 Januari sebagai “Hari Perdamaian Dunia” sebagaimana yang dinyatakan Paus Paulus VI pada 1 Januari 1968. Bagi Paulus VI, hari khusus yang didedikasikan untuk “Perdamaian Dunia” di sini bukanlah sebuah perayaan eksklusif umat Katolik, akan tetapi bersifat terbuka bagi dia yang mau mengupayakan perdamaian dunia bersama. 

Tahun Baru menjadi sebuah “titik/pijakan baru” bagi setiap insan dan semua keluarga dalam mengukir sejarah masa depannya yang masih terbentang luas. Tentunya ini juga dapat menjadi suatu “ziarah-perjalanan” yang damai dan aman bagi siapa saja yang telah mempercayakan hidup pada bimbingan Tuhan dalam dan melalui Maria, Bunda Allah. Santo Bernardus dari Clairvaux (1090- 1153) meyakinkan kita hal-hal ini dengan kata-katanya yang bernas: “Ingatlah, ya Perawan Maria yang paling suci, belum pernah terdengar bahwa tak ada seorang pun yang berlindung padamu telah engkau tinggalkan.” 

Semoga seluruh umat manusia yang merayakan Tahun Baru bersama dengan Santa Perawan Maria yang dirayakan Gereja hari ini tetap dituntun oleh Pencipta kehidupan di sepanjang tahun ini melalui perantaraan dan perlindungan Maria, Bunda-Nya yang suci (Maria Theotókos). Selamat Tahun Baru. (*)

Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved